Menuju konten utama

Omong Kosong Citra 'Hollywood' Livi Zheng

Bukan kepada Livi Zheng, kita patut angkat topi kepada publisisnya.

Omong Kosong Citra 'Hollywood' Livi Zheng
Ilustrasi: Citra Livi Zheng di Media. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dalam penyelesaian sengketa pers antara Livi Zheng (sebagai pengadu) dan Tirto (sebagai teradu) pada 9 September 2019, Dewan Pers menilai “serangkaian artikel teradu melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik karena menyajikan berita yang tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang dan menghakimi.” Sebagai lembaga penyiaran yang terikat dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, di mana Dewan Pers diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik, Tirto menerima penilaian Dewan Pers dan memohon maaf kepada Livi Zheng dan masyarakat. [Lihat Dokumen Risalah Penyelesaian Nomor: 74/Risalah-DP/IX/2019 di sini dan sini.]

===========

Livia Notohardjo, lebih dikenal Livi Zheng, muncul di publik tanah air dengan nama langsung semerbak. Ia kembali ke Indonesia usai merantau di Los Angeles, Amerika Serikat, melalui karpet merah dengan embel-embel "Hollywood". Filmnya, Brush with Danger, “berhasil” lolos seleksi nominasi Academy Award bersama 322 film lain pada 2015.

Siapa yang bisa menolak pesona “prestasi anak bangsa” yang berkilauan macam itu?

Maka, ketika siaran pers mengenai gadis Blitar dengan sederet prestasi perfilman itu disebar, hampir seminggu dua kali, media menelannya mentah-mentah. Livi disambut gempita. Prestasi Livi dirayakan. Livi dielu-elukan sebagai sineas muda dari Indonesia yang menginspirasi dan mampu "menembus Hollywood".

Livi, atau siapa pun di belakangnya, tahu betul bahwa Hollywood adalah kunci dari segala perkara perfilman duniawi.

Akan tetapi, benarkah Livi menembus Hollywood?

Sebaiknya kita tak perlu terburu-buru. Boleh jadi Brush with Danger termasuk salah satu film Hollywood. Film itu diproduksi di Amerika Serikat oleh Sun and Moon Films, rumah produksi berbasis di Amerika Serikat.

Livi, secara kebetulan, jika tak ingin dibilang disengaja, memang tinggal di Los Angeles. Ia tinggal di mansion mewah dengan alamat 4715 Los Feliz Boulevard, kawasan super elite di LA dengan nilai properti hampir 2,5 juta dolar. Hal itu tentu memudahkannya mendapat label sutradara yang memproduksi film di Hollywood. Wong, ia tinggal di sana.

Tapi, apakah hal itu serta merta membuatnya menjadi sineas Hollywood? Jawabannya: belum tentu.

Hollywood, kawasan di LA, California, dalam dimensi kesineasan, adalah suatu komunitas: Anda perlu menempuh jalan terjal dan panjang dan membawa kualitas bagus agar dapat memasuki lingkaran super elitenya.

Istilah yang mungkin lebih tepat buat Livi Zheng adalah LA-based filmmaker atau sineas yang bertempat tinggal di LA. Namun, demi mendongkrak nilai jual, nama Hollywood disematkan. Tidak salah, memang, tapi juga tidak tepat.

Tak cuma embel-embel “Hollywood”, Livi memakai manuver lebih berbahaya: menyematkan diri dengan Piala Oscar, ajang bergengsi industri Hollywood dan film dunia.

Maka, klaim Brush with Danger masuk seleksi nominasi Oscar membuat Livi makin terlihat super keren. Kendati sebagian media dan pihak mulai mencium sesuatu yang amis pada klaim tersebut, toh ia tetap bergeming.

Selayaknya pesan yang disampaikan dengan cara diteruskan, informasi mengalami distorsi. Fakta Brush with Danger lolos seleksi administratif nominasi Oscar itu—sejatinya bisa dipenuhi hampir semua film, bagaimanapun kualitasnya—berubah narasi menjadi “masuk nominasi Oscar”. Dan, Livi tak pernah mengklarifikasinya. Begitulah cara ia menjaga citra “Oscar” pada filmnya.

Belum lagi perkara The Legend of The East, film yang diproduserinya yang menyabet penghargaan Madrid International Film Festival untuk kategori film berbahasa asing pada 2014. Rupanya festival itu merupakan pseudo-festival atau festival bodong.

Citra yang sedemikian aduhai itu tentu tak lengkap tanpa campur tangan media. Agar lebih meyakinkan, Livi selalu menyertakan pemberitaan-pemberitaan luar negeri dalam setiap promo film atau karyanya.

Dalam promo Bali: Beats of Paradise, misalnya, secara konsisten media mengutip ulasan dari Los Angeles Times yang menyebut film dokumenter itu: “It’s entertaining”.

Padahal, dalam ulasan hanya tiga paragraf yang ditulis seseorang bernama Kimber Myers, justru lebih banyak kritik ketimbang pujian. Kalimat lengkapnya: It’s entertaining but slight, particularly as it bulks up with the post-credits inclusion the video. (“Film ini sesungguhnya punya sedikit sisi hiburan. Tapi, hal itu pun tidak jadi maksimal karena sutradara memutuskan mengakhiri film dengan menayangkan video klip garapannya.”)

Mesin publisis di belakang Livi Zheng juga menyertakan kliping berita dari portal online manapun tanpa memedulikan kredibilitas. Misalnya Zimbabwe News, yang bahkan bukan portal media sungguhan.

Terang sudah: mesin humas Livi Zheng memanfaatkan perangai masyarakat Indonesia yang gampang silau dengan sesuatu dari luar negeri, apalagi dengan embel-embel “mengharumkan nama bangsa”, “Hollywood”, dan “Oscar”.

Campur Tangan Klan The Hok Bing

Jika deretan prestasi masih belum cukup menggaet simpati publik, jurus berikutnya adalah melodrama, cerita perjuangan penuh keringat dan kekecewaan serta penolakan. Publik suka kisah motivasional macam itu.

Di beberapa wawancara, seperti di NET TV pada program Satu Indonesia, Livi bercerita sering diremehkan saat memulai karier di Hollywood. “Mereka bilang akan sulit. Pertama aku perempuan, Asia, dan muda. Udah susah,” katanya.

Cerita itu ditambahkan dengan kisah kemandiriannya yang ia bilang sendiri sudah tertanam sejak remaja kendati lahir dari keluarga kaya.

“Aku sudah bekerja sejak tingkat 10 (setara kelas satu SMA). Sama sekali tidak dibantu keluarga untuk karierku di film,” jawab Livi dalam kuliah umum di salah satu kampus swasta di Jakarta, pekan lalu, yang kami datangi.

Audiens terlihat kagum. Dalam imajinasi mereka, sangat mungkin, tergambar bayangan macam ini: Perempuan muda Indonesia, berprestasi, mampu menaklukkan Hollywood lantaran kerja kerasnya tanpa bantuan siapa pun.

Namun, faktanya berbicara lain. Rumah produksi Sun and Moon Films, yang memproduksi Brush with Danger dan Bali: Beats of Paradise, adalah milik Lilik Juliati alias Lili The Hok Bing, yang tak lain adalah ibu Livi.

Sementara pada wawancara dengan marketeers.com, Livi mengaku mendirikan Sun and Moon Films pada 2012. Namun, dalam wawancara dengan kami, Livi mengubah pernyataannya sendiri: “Aku hanya bekerja di Sun and Moon Films.”

Kami bertemu Mawardi, bukan nama sebenarnya, mantan asisten Livi, yang bercerita bahwa segala bentuk publisitas mengenai Livi harus dengan persetujuan sang ayah, Gunawan Witjaksono atau The Hok Bing—biasa dipanggil 'Pak Bing' oleh karyawannya.

“Pak Bing bisa merevisi 20 kali untuk satu siaran pers saja. Dia perhatikan sampai titik komanya. Semua konten di media sosial Livi juga harus persetujuan dia,” ujar Mawardi.

Mawardi bercerita kepada kami bagaimana Livi menjawab pertanyaan-pertanyaan media dan harus selalu didampingi Sinta Kurniati Arifin, manajer Livi dan sekretaris Gunawan. Sinta diduga pimpinan PT Negara Agung Film, rumah produksi Bali: Beats of Paradise, di Indonesia.

“Kalau pertanyaannya belum pernah di-brief, Livi enggak akan jawab. Karena kalau salah ngomong, dia bisa diomelin ayahnya,” lanjut Mawardi.

Mawardi berkata mantan bosnya itu, dan seluruh staf promo Brush with Danger, berkantor di NAM Centre Hotel, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Infografik Citra Livi Zheng

Infografik Citra Livi Zheng. tirto.id/Lugas

‘Clueless Director’

Nyatanya, Livi Zheng tak lebih dari anak muda dengan talenta biasa saja, yang kebetulan anak orang super kaya sehingga punya privilese ke Hollywood.

Itu dikemukakan oleh Surti, bukan nama sebenarnya, yang berdomisili di Los Angeles.

Kolega Surti pernah bekerja dengan Livi di set film. Ia menyebut Livi sangat tidak profesional. “Dia kayak enggak tahu mau ngapain sebagai director. Banyak kru yang ngelus dada karena dia kaya anak kecil baru lulus kuliah yang bikin film. Leadership skillnya nol,” kata Surti.

“Kru bertahan kerja hanya karena satu alasan: duitnya banyak. Dia bahkan bisa sewa lokasi dengan harga berapa pun tanpa nawar. Contohnya waktu sewa lokasi dengan kisaran harga 5-10 ribu dolar AS,” kata Surti.

Persepsi Surti boleh jadi berbanding terbalik dengan anggapan orang-orang di Indonesia. Livi tampak berupaya mencegah khalayak untuk berpikir kritis tentang dirinya dengan cara jadi pembicara tamu di beberapa kampus. Ikhtisar pembicara publik itu menunjukkan setidaknya ia pernah jadi pembicara sesi kuliah umum di 29 kampus di Indonesia, di antaranya Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta).

Pada 21 Agustus lalu, kami menghadiri kuliah umum Livi di auditorium IPMI Business School, Kalibata, Jakarta Selatan. Sebagian besar audiens di ruangan setengah lingkaran itu diisi oleh para pejabat kampus, alumni, dan orang-orang dari luar institusi. Usia mereka jauh di atas Livi. Ibaratnya, Livi cocok memanggil mereka dengan sebutan paman, bibi, atau bahkan Oma dan Opa.

Sebenarnya, Livi tidak membicarakan topik yang istimewa atau baru. Ia memutar slide presentasi berisi serba-serbi Bali: Beats of Paradise—yang sudah dipublikasikan di media-media. Tapi, para hadirin tampak terpukau memandang Livi.

Ketika sesi tanya jawab, mereka antusias mengacungkan tangan, melangkah ke depan dan menyampaikan kekaguman.

"Orangtuamu pasti bangga punya anak seperti kamu. Kita harus banyak belajar dari Livi,” komentar dari salah satu audiens.

Livi menerima ucapan kagum dengan senyum tersipu, menggoyang-goyangkan badan, merapikan rambut—gestur yang ia tunjukkan selama berdiri di depan hadirin.

Setiap pertanyaan bernuansa, “Apa resep sukses?”, Livi menjawab dengan nada percaya tinggi yang ditahan-tahan, seakan-akan ia tersipu manja, lalu tertawa tipis.

Dan, Livi menikmati pujian-pujian itu.

Namun, ekspresinya bisa berubah mendadak saat ada pertanyaan seperti: “Kok bisa Julia Gouw memutuskan jadi produser Anda hanya dalam waktu 20 menit?”, “Bagaimana cerita detail pertemuan dengan Balai Pustaka sampai-sampai Anda bisa diminta garap Sabai nan Aluih.”

Pertanyaan itu hanya bisa dijawab Livi: “Tanya langsung ke orangnya.”

"Hmm… I am not really sure. I guess I met them in Kemendikbud.”

Ucapannya pelan, kepalanya menunduk, jarinya memelintir rambutnya yang lurus.

Toh, babak Livi mengisi satu acara pewicara publik itu bisa terlewatkan.

Yang terang: ketidakbecusannya sebagai sutradara berbanding lurus pula dengan kemampuan akting, baik dia maupun adiknya, Ken Wiratheda Zheng, yang bermain dalam Brush with Danger. Wajah kakak-adik ini nongol di hampir semua karya film mereka.

Seperti pada Brush with Danger, di mana ia berperan sebagai tokoh utama, Alice. Lalu pada Bali: Beats of Paradise, Laksamana Cheng Ho, hingga Vibrant Jakarta yang sebenarnya hanya video promo pariwisata DKI Jakarta.

Rencana lebih ajaib: Livi akan berperan dalam proyek teranyarnya bersama Produksi Film Negara dan Balai Pustaka berjudul Sabai Nan Aluih. Dalam film itu, Livi yang berwajah oriental akan memerankan tokoh utama yang orang Minang.

Apa kata Livi kepada kami?

“Aku hanya akan bermain if I fit the role,” katanya.

===========

Hak Jawab Livi Zheng

Pada 13 September 2019, pukul 13:48, redaksi menerima surel hak jawab dari pihak Livi Zheng. Melalui kuasa hukum Abraham Simatupang & Lawyers Law Firm, diwakilkan oleh Hulman Jufri Oktario Simatupang, Livi Zheng menyatakan artikel ini "tidak melakukan check & recheck."

a. Judul artikel merupakan opini yang secara sengaja dan sadar untuk menjatuhkan reputasi Livi Zheng.

Kata “omong kosong” adalah opini yang sangat dilarang oleh Kode Etik Jurnalistik. Dari judul ini sudah menggiring pembaca bahwa Livi Zheng omong kosong. Padahal sebenarnya Livi Zheng tidak pernah menyampaikan sesuatu yang bohong/ omong kosong. Semua disampaikan oleh Livi Zheng sebagaimana faktanya.

Berita ini ditulis dengan sengaja tidak menguji kebenaran informasi dan mengabaikan check and recheck. Nama Livi Zheng yang sudah dikenal luas dengan Livia Notohardjono, padahal nama ini tidak dipakai dan tulisannya pun tidak benar. Maksud Tirto jelas untuk menghancurkan reputasi Livi Zheng.

Dari karakter semua artikel dan judulnya, kita dapat meringkas artikel ini bukan untuk memberitahu atau mencerahkan publik informasi dengan cara yang adil dan seimbang—fungsi utama media berita; tetapi digunakan sebagai kendaraan untuk membunuh karakter Livi Zheng. Terlebih lagi artilel ini tidak mengandung fakta—tanggung jawab utama dari Kode Etik Jurnalistik dan media berita; melainkan berisi kebohongan dan kebohongan ini tidak dilindungi di bawah kebebasan berbicara di negara mana pun termasuk Indonesia. Ia adalah fitnah. Jelas Tirto telah mengkhianati kepercayaan publik dengan memberikan kebohongan dan melanggar Kode Etik Jurnalistik dengan tujuan pembunuhan karakter.

Definisi film Hollywood adalah yang film yang diproduksi di AS. Jadi, Livi Zheng adalah sutradara Hollywood, karena film-filmnya diproduksi dan didistribusi di AS. Tidak ada kebohongan yang disampaikan Livi Zheng.

Tirto perlu mengetahui bagian tersulit menembus industri film AS adalah mendapatkan distribusi bioskop. Setiap tahun ribuan film dibuat, tapi hanya beberapa ratus yang bisa masuk bioskop.

Dan dari beberapa ratus yang masuk bioskop, tidak semua bisa memenuhi kriteria Oscar untuk berkompetisi dalam ajang bergengsi ini. Di website Oscar 323 Feature Films in Contention for 2014 Best Picture Oscar, sepertinya hanya 2 film yang berhubungan dengan Indonesia yang masuk daftar itu, yaitu The Raid 2 dan karya Livi Zheng, Brush With Danger.

Film Livi Zheng, Brush with Danger, masuk ke dalam list Oscar 323 Feature Films In Contention for 2014 Best Picture Oscar karena mereka memenuhi persyaratan Academy Awards dan judul Brush with Danger bisa dilihat di daftar Reminder List of Productions Eligible for the 87th Academy Awards.

Tulisan ini secara keseluruhan berhamburan opini penulis seperti: “semerbak”, “media menelannya mentah-mentah”, dan “dielu-elukan”. Mestinya penulis mampu/bisa membedakan mana fakta dan mana opini pribadi. Ini jelas ada maksud Tirto, yaitu menyajikan berita yang tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang dan menyebarkan kebohongan.

b. Dalam berita itu juga disebutkan: "Tapi, apakah hal itu serta merta membuatnya menjadi sineas Hollywood? Jawabannya: belum tentu."

Kata-kata ini menggiring pembaca untuk meragukan Livi Zheng dan menghakimi. Padahal Livi Zheng memang memproduksi film Hollywood sebagaimana penjelasan di atas.

c. Kutipan Berita: "Selayaknya pesan yang disampaikan dengan cara diteruskan, informasi mengalami distorsi. Fakta Brush with Danger lolos seleksi administratif nominasi Oscar itu—sejatinya bisa dipenuhi hampir semua film."

Statement ini adalah statement salah. Dari ribuan film yang diproduksi di Amerika hanya beberapa ratus yang bisa memenuhi kriteria Oscar seperti penjelasan di atas.

d. Kutipan artikel: "Belum lagi perkara The Legend of The East, film yang diproduserinya yang menyabet penghargaan Madrid International Film Festival untuk kategori film berbahasa asing pada 2014. Rupanya festival itu merupakan pseudo-festival atau festival bodong."

Livi tidak memenangkan festival ini.

Di samping itu Madrid International Film Festival adalah sebuah festival yang tidak bodong dan sudah berdiri 8 tahun.

Tirto menyajikan berita yang tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang dan menyebarkan kebohongan.

e. Dalam artikel ini juga disebutkan Livi pernah diliput Zimbabwe News. Padahal Livi Zheng tidak pernah mengetahui dan menyertakan Zimbabwe News. Kami sudah mencari di google dan meng-click link Zimbabwe News, tidak bisa ditemukan. Ada kesengajaan dari Tirto untuk mengaitkan Livi Zheng dengan Zimbabwe News. Hal ini menunjukkan adanya iktikad buruk dari Tirto.

f. Tirto juga menyebut: "Terang sudah: mesin humas Livi Zheng memanfaatkan perangai masyarakat Indonesia yang gampang silau dengan sesuatu dari luar negeri, apalagi dengan embel-embel “mengharumkan nama bangsa”, “Hollywood”, dan “Oscar”."

Ini tuduhan tidak berdasar dan pernyataan salah. Kami tahu bangsa Indonesia adalah bangsa yang cerdas dan kritis. Tidak mudah silau terhadap sesuatu dari luar negeri.

g. Tulisan Tirto yang tidak benar juga terdapat dalam potongan tulisan ini yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Potongan tulisan itu sebagai berikut:

Kami bertemu Mawardi, bukan nama sebenarnya, mantan asisten Livi, yang bercerita bahwa segala bentuk publisitas mengenai Livi harus dengan persetujuan sang ayah, Gunawan Witjaksono atau The Hok Bing—biasa dipanggil 'Pak Bing' oleh karyawannya.

“Pak Bing bisa merevisi 20 kali untuk satu siaran pers saja. Dia perhatikan sampai titik komanya. Semua konten di media sosial Livi juga harus persetujuan dia,” ujar Mawardi.

Mawardi bercerita kepada kami bagaimana Livi menjawab pertanyaan-pertanyaan media dan harus selalu didampingi Sinta Kurniati Arifin, manajer Livi dan sekretaris Gunawan. Sinta diduga pimpinan PT Negara Agung Film, rumah produksi Bali: Beats of Paradise, di Indonesia.

“Kalau pertanyaannya belum pernah di-brief, Livi enggak akan jawab. Karena kalau salah ngomong, dia bisa diomelin ayahnya,” lanjut Mawardi.

Kolega Surti pernah bekerja dengan Livi di set film. Ia menyebut Livi sangat tidak profesional. “Dia kayak enggak tahu mau ngapain sebagai director. Banyak kru yang ngelus dada karena dia kaya anak kecil baru lulus kuliah yang bikin film. Leadership skillnya nol,” kata Surti.

“Kru bertahan kerja hanya karena satu alasan: duitnya banyak. Dia bahkan bisa sewa lokasi dengan harga berapa pun tanpa nawar. Contohnya waktu sewa lokasi dengan kisaran harga 5-10 ribu dolar AS,” kata Surti.

Persepsi Surti boleh jadi berbanding terbalik dengan anggapan orang-orang di Indonesia. Livi tampak berupaya mencegah khalayak untuk berpikir kritis tentang dirinya dengan cara jadi pembicara tamu di beberapa kampus. Ikhtisar pembicara publik itu menunjukkan setidaknya ia pernah jadi pembicara sesi kuliah umum di 29 kampus di Indonesia, di antaranya Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta).

Ini adalah kebohongan besar dari Tirto yang sengaja dengan niat buruk yaitu menyajikan berita yang tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang dan beritikad buruk.

Persepsi Surti tidak dapat memberikan gambaran yang jelas tentang pekerjaan Livi. Dengan menggunakan deskripsi yang tidak jelas dan tidak akurat, jelas bahwa persepsi Surti hanyalah isapan jempol dari imajinasi Tirto.

Surti menggunakan istilah-istilah yang tidak jelas seperti “kepemimpinan yang buruk” atau bahwa Livi Zheng tidak tahu apa-apa. Pernyataan ini adalah pembentukan opini yang membunuh karakter Livi Zheng.

Baca juga artikel terkait LIVI ZHENG atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri & Joan Aurelia

tirto.id - Film
Reporter: Restu Diantina Putri, Joan Aurelia & Aulia Adam
Penulis: Restu Diantina Putri & Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam