tirto.id - Dalam penyelesaian sengketa pers antara Livi Zheng (sebagai pengadu) dan Tirto (sebagai teradu) pada 9 September 2019, Dewan Pers menilai “serangkaian artikel teradu melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik karena menyajikan berita yang tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang dan menghakimi.” Sebagai lembaga penyiaran yang terikat dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, di mana Dewan Pers diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik, Tirto menerima penilaian Dewan Pers dan memohon maaf kepada Livi Zheng dan masyarakat. [Lihat Dokumen Risalah Penyelesaian Nomor: 74/Risalah-DP/IX/2019 di sini dan sini.]
===========
“Silakan menonton film saya, 22 Agustus nanti tayang serentak di Indonesia. Semua terjawab di situ,” kata Livi Zheng, enam hari sebelum filmnya tayang.
Sayangnya, tak ada yang bagus dari Bali: Beats of Paradise, film terbaru Livi Zheng. Tetapi, saya bisa menceritakan kisah yang lebih bagus.
Rabu pagi, 1 November 2017, saya gugup bakal bertemu Edwin, sutradara favorit saya. Lima menit sebelum jam 10 pagi, pesan dari Edwin masuk ke ponsel saya: “Adam. Saya sudah di Kinosaurus.” Edwin merujuk bioskop alternatif di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, persis di belakang toko buku Aksara.
Dua tahun lalu, nama Edwin mungkin asing bagi sebagian besar penonton Indonesia. Film-filmnya tak pernah muncul di bioskop komersial. Mencari informasi tentang Edwin di internet tak akan semudah mencari tahu Riri Riza atau Mira Lesmana, misalnya. Sumber-sumber informasi berbahasa Indonesia yang merujuk nama Edwin tidak datang dari media-media arus utama di Indonesia.
Meski begitu, Edwin sudah harum di luar negeri.
Pada 2005, lewat film pendek ketiganya, Kara, Anak Sebatang Pohon, Edwin adalah sutradara Indonesia pertama yang masuk program Director’s Fornight di Festival Film Cannes—salah satu festival film paling prestisius. Film berdurasi 7 menit ini juga tayang di Festival Film Rotterdam. Di Indonesia, ia menyabet Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2004.
Tak cuma piawai meracik film pendek, dua film panjang Edwin berikutnya dirayakan. Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) adalah penerima penghargaan FIPRESCI International Critics’ Prize 2009, memenangkan NETPAC Award pada Golden Horse Film Festival, serta tayang di Buenos Aires Festival Internacional de Cine Independiente dan Busan International Film Festival.
Sementara Postcard from the Zoo (2012) berhasil masuk kompetisi utama Berlin International Film Festival (Berlinale)—satu dari tiga festival film terbesar dan tertua di dunia.
Namun, di atas semua prestasi itu, saya telah menonton film-filmnya di bioskop alternatif dan bisa berkata begini: Edwin punya kekuatan meracik cerita.
Berbeda dengan Livi Zheng, sutradara Bali: Beats of Paradise, sebelum bertemu, saya mengumpulkan data sebagai bahan wawancara. Saya menemukan nama Livi di media-media arus utama jauh lebih mudah ketimbang Edwin, meski saya sama sekali belum pernah menonton satu pun filmnya.
Bahkan muskil untuk mencari nama Livi Zheng tanpa embel-embel “Oscar” dan “Hollywood” di mesin pencari. Masalahnya, embel-embel itu meragukan.
Saat info itu muncul sumir-sumir, sekitar 2015, beberapa media menelannya bulat-bulat: Livi masuk daftar pendek nominasi Film Terbaik Oscar 2015 lewat Brush with Danger. Kesannya, ia sejajar dengan Birdman, Boyhood, American Snipper, The Grand Budapest Hotel, Selma, Theory of Everything, Whiplash, dan The Imitation Game. Padahal, lebih tepat bila ditulis: Livi mendaftarkan film pertamanya dalam seleksi Oscar 2015.
“Mendaftarkan” dan “masuk” memang sepertinya cuma perkara pilihan kata. Belakangan saya tahu, kekuatan Livi yang lebih besar terletak pada tim promosi dan publisis yang langsung dipantau bapaknya sendiri.
Plot Twist dari Bali: Beats of Paradise
Kecermatan—atau lebih pas disebut kelihaian—meracik kata dari potongan-potongan informasi juga bisa kita dapati dari promosi Bali: Beats of Paradise.
Contoh paling gampang adalah pengesahan “It’s entertaining” dariLA Times dalam trailer film Beats. Padahal, kalimat lengkapnya adalah kritik, alih-alih pujian: “It’s entertaining but slight—“Film ini menghibur tapi sedikit saja.” Apakah itu bohong? Jawabannya boleh ya atau tidak, tapi jelas tujuan memotong ulasan itu demi kepentingan pemasaran.
Trik serupa dipakai untuk memperkenalkan Judith Hill, penyanyi RnB asal Hollywood, yang dilabeli “Pemenang Grammy Award.” Padahal, faktanya tidak sesederhana itu buat menjelaskan piala yang didapatkan penyanyi latar Michael Jackson dan Stevie Wonder itu.
Judith Hill tidak menang tunggal. Ia meraih Piala Grammy untuk Musik Film Terbaik, kategori yang sebetulnya tidak dibuat untuk penyanyinya, melainkan pembuat musik video. “Artists who are the focus of nominated films may not always be eligible for a Grammy themselves, depending on the type of film and the level of involvement of those artists in making the film.”
Atas penghargaan itu, Hill berkongsi dengan penyanyi Darlene Love, Merry Clayton, Lisa Fischer; sutradara video Morgan Neville; dan dua produser video: Gil Friesen, serta Caitrin Rogers.
Livi memilih menyembulkan sekelumit fakta dan tidak menyajikannya secara terang. Apakah salah?
Bayangkan seperti ini saat Anda menonton Beats: Judith Hill yang ditulis sebagai pemenang Grammy itu cuma diberi ruang seuprit buat menjelaskan pengalaman bermusiknya, tanpa penjelasan bagaimana Penghargaan Grammy itu diperolehnya. Rasanya bukan lagi macam sayur tanpa garam, rasanya kepengin pergi ke luar bioskop.
Apakah alasannya mungkin Livi takut dokumenternya akan terlalu panjang?
Hal itu terlintas di kepala saya ketika menonton Beats. Tapi, saat film benar-benar berhenti, rutukan itu tak bisa lagi ditahan dalam mulut saya. Beats amat sebentar. Hanya 56 menit. Itu juga digabung dengan pengakuan sejumlah pejabat pada awal film: Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Maritim Luhut Pandjaitan, dan Kapolri Tito Karnavian. Ditambah pemutaran video musik Queen of the Hill, kolaborasi musisi gamelan Nyoman Wenten dan Judith Hill.
Bolong-bolong ceritanya banyak sekali sampai-sampai saya tak bisa betul-betul fokus pada cerita hidup Nyoman Wenten, yang membawa gamelan ke Amerika Serikat. Plot utamanya dibangun serba mendadak: keinginan sekelebat Judith Hill, entah dengan motivasi apa, berkolaborasi dengan Wenten, dan obsesi mereka disutradarai Livi Zheng.
Ya, benar. Beats memang bercerita tentang gamelan, tapi intinya proses behind the scenes Livi Zheng mengerjakan proyek pembuatan musik video. Apakah ia bukan dokumenter? Tidak begitu juga. Tapi, yang jelas, film-film jenis begini lebih sering kita tonton dalam acara khusus di MTV, bukan bioskop.
Saya tak akan melanjutkan catatan yang saya tulis di ponsel selama menonton Beats. Misalnya, betapa kesal menonton jawaban Livi tentang kesulitan proses pembuatan Queen of the Hill, yang ia jawab begini: “Buat musiknya, punya koreografi, dan merekamnya.”
Saya juga enggan berpanjang-lebar tentang betapa aneh kritik pola pikir kolonial yang dituding seorang wanita Amerika Serikat di film itu terhadap bangsa Indonesia bila disandingkan konsep “meminta validasi barat” yang ditonjolkan Beats di sekujur film.
Sebetulnya saya coba membahas itu dalam pertemuan pertama kali saya dengan Livi Zheng. Orang yang langkahnya sudah jauh, pikir saya, biasanya punya perspektif lebih luas untuk diperbincangkan.
Saya puas menguliti patriarki ketika berbincangan dengan Edwin. Saya terkagum-kagum dengan penjabaran Nia Dinata menjelaskan konservatisme memengaruhi bisnis film di Indonesia. Beberapa bulan lalu, saya dibikin salut oleh Mira Lesmana tentang komitmen serius menciptakan industri film bebas pelecehan dan kekerasan seksual.
Namun, bertemu dengan Livi dan menonton salah satu filmnya, saya tak menemukan satu pun gagasan.
“Indonesia seperti apa yang hendak Anda tampilkan dalam film?”
“Kekayaan Indonesia seperti pemandangan, makanan, kebudayaan, kesenian, banyak banget. Keragamannya,” kata Livi kepada saya, dua pekan lalu.
“Apa perbedaan tantangan dalam membuat film di Indonesia dengan di AS?”
“Di Indonesia terlalu banyak lokasi yang bagus jadi bingung memilihnya. Mau semua tapi enggak bisa,” jawab Livi.
Mungkin Livi memang terlalu muda. Ia lebih muda setahun dari Damien Chazelle saat mendapatkan Oscar pertama kali sebagai sutradara terbaik lewat La La Land. Artinya, Livi masih punya waktu.
Bali: Beatsof Paradise jelek. Tapi, bukan berarti masa depan karier Livi Zheng juga ikut jelek.
===========
Hak Jawab Livi Zheng
Pada 13 September 2019, pukul 13:48, redaksi menerima surel hak jawab dari pihak Livi Zheng. Melalui kuasa hukum Abraham Simatupang & Lawyers Law Firm, diwakilkan oleh Hulman Jufri Oktario Simatupang, Livi Zheng menyatakan artikel ini "tidak akurat serta bohong."
a. Tirto menulis: "Bahkan muskil untuk mencari nama Livi Zheng tanpa embel-embel “Oscar” dan “Hollywood” di mesin pencari. Masalahnya, embel-embel itu meragukan."
Padahal definisi film Hollywood adalah film yang diproduksi di Amerika, dan film Livi Zheng memang diproduksi di Amerika.
b. Tirto tidak akurat dan dapat juga dilihat kutipan ini:
"Saat info itu muncul sumir-sumir, sekitar 2015, beberapa media menelannya bulat-bulat: Livi masuk daftar pendek nominasi Film Terbaik Oscar 2015 lewat Brush with Danger. Kesannya, ia sejajar dengan Birdman, Boyhood, American Snipper, The Grand Budapest Hotel, Selma, Theory of Everything, Whiplash, dan The Imitation Game. Padahal, lebih tepat bila ditulis: Livi mendaftarkan film pertamanya dalam seleksi Oscar 2015.
“Mendaftarkan” dan “masuk” memang sepertinya cuma perkara pilihan kata. Belakangan saya tahu, kekuatan Livi yang lebih besar terletak pada tim promosi dan publisis yang langsung dipantau bapaknya sendiri."
Padahal setiap tahun ribuan film dibuat, tapi hanya beberapa ratus yang bisa masuk bioskop. Dan dari beberapa ratus yang masuk bioskop, tidak semua bisa memenuhi kriteria Oscar untuk berkompetisi dalam ajang bergengsi ini. Di website Oscar 323 Feature Films In Contention for 2014 Best Picture Oscar sepertinya hanya 2 film yang berhubungan dengan Indonesia yang masuk daftar itu, yaitu The Raid 2 dan karya Livi Zheng, Brush with Danger. Bisa di cek langsung di website ini:
Livi Zheng tidak memiliki tim publisis di Indonesia seperti yang diberitakan Tirto. Jadi, statement ini adalah kebohongan: “Livi yang lebih besar terletak pada tim promosi dan publisis yang langsung dipantau bapaknya sendiri.”
e. Dalam artikel ini Tirto juga tidak akurat dalam menulis berita, seharusnya Bali: Beats of Paradise, bukan sekadar Beats, seperti berikut ini: "Hal itu terlintas di kepala saya ketika menonton Beats. Tapi, saat film benar-benar berhenti, rutukan itu tak bisa lagi ditahan dalam mulut saya. Beats amat sebentar. Hanya 56 menit. Itu juga digabung dengan pengakuan sejumlah pejabat pada awal film: Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Maritim Luhut Pandjaitan, dan Kapolri Tito Karnavian. Ditambah pemutaran video musik Queen of the Hill, kolaborasi musisi gamelan Nyoman Wenten dan Judith Hill."
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam