tirto.id - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merilis trailer film The Santri via Youtube, Senin (9/9/2019). Seperti namanya, film yang digarap bareng Livi Zheng ini mengangkat cerita dengan latar belakang pesantren.
Film yang akan dirilis Oktober ini mengulas nilai dan tradisi pembelajaran di pondok pesantren yang mandiri, sederhana, toleran, dan cinta Tanah Air. Ia juga akan menceritakan intoleransi hingga terorisme.
Kritik langsung muncul segera setelah trailer tayang. Menantu Rizieq Shihab, Muhammad Hanif Al Athas, tidak merasa perlu menonton utuh filmnya di bioskop nanti untuk menyatakan menolak.
“Karena tidak mencerminkan akhlak dan tradisi santri yang sebenarnya,” ujar Hanif dalam imbauan yang diterima reporter Tirto melalui Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212, Slamet Maarif.
Menurut Hanif, santri yang sebenarnya adalah orang yang berpegang teguh dengan tali Allah yang kuat, mengikuti sunnah Rasul, dan teguh pendirian setiap saat. Dan The Santri dianggap tidak mencerminkan itu.
Front Pembela Islam (FPI) bahkan menganggap The Santri adalah film liberal. Soalnya di sana ada adegan pacaran, membiarkan laki-laki dan perempuan bersama, serta membawa tumpeng ke gereja. Film itu juga melanggar syariat, vonis mereka.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Wasekjen PBNU) sekaligus produser eksekutif The Santri Imam Pituduh lantas merespons penolakan ini dengan meminta FPI menontonnya terlebih dulu.
“Tunggu dan tonton The Santri Oktober nanti. Baru dilihat apakah ada pertentangan [dengan Islam] atau tidak,” kata Imam saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (17/9/2019).
Kritik itu tak tepat disampaikan sekarang, kata Imam, karena trailer itu tidak menggambarkan isi film secara utuh.
Imam bahkan mengajak kelompok yang tak sependapat dengan substansi film berdiskusi. “Kalau penasaran, datang. Bedah scene plot dan diskusikan bareng-bareng hukum agamanya seperti apa.”
Isi film sebenarnya menggambarkan tiga cinta, kata Imam: cinta kepada sesama muslim, cinta kepada sesama warga negara, dan cinta kepada sesama manusia tanpa melihat identitas.
Adegan santriwati mengantar tumpeng ke gereja, yang jadi sasaran kritik FPI, terinspirasi dari budaya saling kirim makanan, kata Imam. Dalam masyarakat Jawa, budaya yang disebut “ater-ater” itu punya makna dalam: kepedulian antarsesama tanpa memandang latar belakang identitas.
“Liberal yang berlebihan gimana? Rasul mencontohkan, setiap hari menyuapi pengemis buta beragama Yahudi. Bukan sekadar dibawakan tumpeng ke gereja. Rasul menyuapi. Itu yang harus dicontoh,” tutur dia.
Serangan Politik?
Kritikus film Hikmat Darmawan menduga penolakan dari FPI itu berbau politis.
“Ini lapisnya banyak, jadi FPI memprotes filmnya atau sengaja atau tidak sengaja menyerang NU? Karena, kan, FPI sebagai ormas tumbuh tidak dari pesantren tradisional, dia lebih dari fenomena urban religion. Urban religion-nya juga konteksnya Jakarta, bukan kota lain,” tuturnya.
“Saya cukup curiga ada unsur politiknya dari FPI karena menyerang NU-nya,” ujar Hikmat.
Dalam konteks politik praktis, dua organisasi keagamaan ini memang punya orientasi yang berbeda. FPI, bahkan sejak 2016 lalu, dikenal sebagai ormas oposisi pemerintah. Pada Pilpres 2019 mereka memutuskan mendukung Prabowo Subianto.
Sementara NU sebaliknya. Meski tidak lewat pernyataan resmi, mereka tampak lebih condong mendukung Joko Widodo. Wakil Jokowi bahkan seorang ulama NU yang disegani, Ma'ruf Amin. Warga NU juga disebut lebih condong memilih Jokowi ketimbang Prabowo.
Dugaan motif politis semakin kentara karena kritik yang disampaikan FPI tampak mengada-ada. Adegan pacaran, misalnya, semestinya tidak dikritik karena lewat itulah pesan positif bisa disampaikan secara lebih gamblang.
Tapi bukan berarti The Santri tidak bisa dikritik. Pemilihan Livi Zheng sebagai sutradara misalnya, patut dipertanyakan. Menurutnya NU sebaiknya memilih sutradara yang betul-betul kompeten, sehingga tujuan pembuatan film bisa tercapai.
“Nah yang harus dilihat, NU itu mau mengatakan apa dengan The Santri? Apa cuma proyek-proyekan saja, habisin dana, pokoknya dibikin? Kita, kan, belum tahu, belum nonton. Tapi itu [pertanyaan] yang harus diajukan ketika produk semahal film keluar,” tuturnya.
Menurut Hikmat, para pembuat film dan penolak film sebaiknya memiliki parameter terukur dalam melakukan penilaian.
“Sebuah film itu, kalau saya tanya, relevansi kulturalnya apa? Dan [jawabannya] harus terukur. [Misalnya] punya relevansi kultural tinggi, tapi relevansi sosial rendah. Atau relevansi sosial tinggi, tapi relevansi kulturalnya rendah. Ini maunya apa dengan The Santri?" kata dia.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Abdul Aziz