tirto.id - Jam menunjukkan pukul 14.30 ketika Edwin baru saja selesai mengisi panel di gelaran ARKIPEL, sebuah festival film dokumenter dan eksperimental yang diselenggarakan di Goethe-Institut, Menteng, Jakarta Pusat. Siang itu ia berpenampilan kasualmengenakan kemeja biru bergaris, sepatu hitam, jins, dan tas ransel.
Sebagaimana tampilannya, pembawaan Edwin juga cukup sederhana. Tak ada terlihat jejak star syndrome sekalipun reputasinya di dunia film begitu mentereng: meraih penghargaan di NETPAC Award, Asian Film Awards, sampai Festival Film Indonesia—ketiganya mengapresiasi kemampuan Edwin sebagai dalang cerita.
“Jakarta panas banget beberapa hari terakhir,” tuturnya kepada Tirto di teras belakang Goethe-Institut. “Jadi, kita santai aja, ya, ngobrolnya.”
Nama Edwin melambung di bioskop arus utama sekitar dua tahun silam. Film panjangnya, Posesif, ditanggapi secara positif oleh penonton dan Festival Film Indonesia yang mengganjarnya Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik.
Posesif adalah film tentang drama remaja tentang romansa dua insan bernama Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Mariano). Sepintas, Anda mungkin menganggap film ini sama seperti film remaja pada umumnya yang terlampau picisan. Namun, berkat sentuhan Edwin, Posesif lebih dari itu; ia menggunakan kisah cinta remaja untuk mempermasalahkan hal yang lebih besar.
Cinta dalam Posesif adalah ruang relasi beracun yang membuat kedua pihak kehilangan nalar. Edwin melontarkan kritik terbuka terhadap budaya patriarki dalam masyarakat kita.
Bahasa Edwin: Film Pendek
Sudah sejak belia Edwin akrab dengan film. Ia melahap film-film produksi Hollywood, terutama silat. Meski menyukai film, di pikiran Edwin belum terbersit pikiran dan cita-cita untuk jadi sutradara.
Ketertarikan tersebut terus dirawat sampai Edwin mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Petra, Surabaya. Kali ini, minatnya akan film berkembang besar. Sampai akhirnya, Edwin memutuskan untuk mengambil sekolah film di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) selepas menyaksikan Daun di Atas Bantal (1998) garapan Garin Nugroho.
“Setelah lulus dari [jurusan] desain grafis, saya lalu ingin belajar animasi. Tadinya mau ke [Universitas] Trisakti. Tapi, saya lewat deadline. Akhirnya, saya memilih ke IKJ,” aku Edwin.
“Di IKJ, saya tau kalau ada sekolah film dari Daun di Atas Bantal. Kemudian, saya ingin lihat [sekolah film itu bagaimana] dengan pergi ke IKJ. Saya pun tertarik. Yang tadinya saya ingin belajar animasi, saya belok ke film.”
Bagi Edwin, film menyediakan kesempatan belajar yang seru lagi mengasyikkan. Film, dalam perspektif Edwin, memberi “banyak ide bagus.” Pilihan Edwin rupanya tak keliru. Di IKJ, Edwin mendapatkan ekosistem yang mendukung keinginannya.
“Film diomongin secara seru di IKJ. Terlebih di luar kelas. Temen-temen sangat bersemangat ketika membicarakan film. Mau enggak mau, semangat itu nular juga ke saya. Ini yang lantas bikin saya ingin menyeriusi film,” terangnya.
Karier Edwin diawali dengan film pendek. Pada 2002, ia membuat A Very Slow Breakfast. Dua tahun berselang, Dajang Soembi: Perempoean jang Dikawini Andjing dirilis, dan disusul Kara, Anak Sebatang Pohon (2005). Film yang disebut terakhir bahkan berhasil lolos ke Cannes serta diputar dalam sesi Director's Forthnight.
Edwin memilih film pendek sebagai pintu perjalanan kariernya. Menurutnya film pendek adalah “bahasa dalam mencari bentuk sinematiknya sendiri”. Dengan menggarap film pendek, Edwin merasa memperoleh kesempatan untuk terus berlatih mematangkan gaya.
“Walaupun film pendek seringkali punya bahan yang mentah, yang basic, ia selalu jadi medium yang powerful untuk proses kreatif saya,” ujar sutradara kelahiran 1978 ini.
Bahasa itulah yang lalu ia pakai dalam menapakai karier berikutnya: film panjang. Bisa dibilang, film panjang Edwin merupakan versi penyempurnaan dari film pendeknya. Ia berhasil mempertahankan bahasa di film pendek agar tetap punya benang merah dengan film panjangnya.
Walhasil, film-film panjang Edwin dapat bergerak lentur dan bebas menyesuaikan kebutuhan kreatifnya. Dalam satu waktu, ia bisa menyutradari film yang absurd dan sureal macam Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) dan Postcards from the Zoo (2012). Namun, di waktu yang lain, ia berani keluar dari zona nyamannya untuk menggarap film populer seperti Posesif (2017) serta Aruna dan Lidahnya (2018) yang diadaptasi dari novel karya Laksmi Pamuntjak.
Film-film panjang Edwin merangkum beragam percakapan: entah tentang rumah, Jakarta, hingga persoalan identitas sebagai orang Tionghoa.
“Itu tidak bisa dilepaskan dari perjalanan hidup saya sendiri, terutama ketika saya berada di Jakarta. Di kota ini, saya punya kesempatan banyak untuk eksplorasi ide. Modal utamanya di situ,” tegasnya.
Bikin film pendek jalan, bikin film panjang pun setali tiga uang. Pertanyaannya: apakah Edwin mesti mengorbankan satu hal demi mendapatkan hal lainnya?
“Bagi saya pribadi, ide mengorbankan [sesuatu] itu enggak ada, termasuk soal idealisme. Film-film saya bisa beragam karena saya tahu mau bikin apa,” jawabnya.
Dan rasanya, Edwin akan terus paham apa yang jadi keinginannya.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara