tirto.id - Setahun lalu, sebagai pembicara di George W. Bush Presidential Center, Jeff Bezos menyatakan dirinya sangat takut terhadap kecerdasan buatan umum (general Artificial Intelligence). Namun, ia menegaskan pengembangan AI perlu digalakkan, khususnya penciptaan narrow AI alias kecerdasan buatan yang melekat pada kerja spesifik.
Baginya, kekhawatiran terhadap AI merupakan sesuatu yang berlebihan. “AI yang bisa menggantikan kita atau membunuh kita adalah hal yang sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan,” ucap Bezos.
AI, dalam penjabaran yang paling sederhana, merupakan algoritma super-cerdas, yang istilahnya dicetuskan pada 1956 oleh seorang ilmuwan bernama John McCarthy. Technopedia menyebut AI sebagai “bidang ilmu komputer yang menekankan pembuatan mesin cerdas yang bisa bekerja dan bereaksi seperti manusia.”
Sebagai seseorang yang memiliki kekayaan sekitar $160 miliar dan menjadi pemimpin salah satu perusahaan besar dunia, memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan Bezos, termasuk AI. Namun, pandangan ini tidak berlaku bagi sebagian pekerja Amazon.com, perusahaan yang berada dalam kuasanya.
LaporanThe Vergemenyebutkan bahwa para pekerja di gudang Amazon, yang bertugas mengemasi barang yang hendak dikirim ke konsumen, dibayang-bayangi pemecatan oleh sistem berbasis kecerdasan buatan bernama time off task (TOT).
Dalam dokumen (PDF) yang diperoleh The Verge atas Undang-Undang Kebebasan Informasi Amerika Serikat, pekerja Amazon yang bertugas mengemasi barang dituntut untuk bekerja secara teliti dan efisien. Untuk mengontrol seberapa efisien para pekerja bekerja, Amazon menciptakan sebuah matriks bernama Proprietary Production, yang menjadi basis utama sistem TOT mengambil keputusan.
Dengan matriks itu, pekerja diberi rating, seperti pada pengemudi ride-sharing. Besar-kecilnya rating ditentukan melalui objective goal, yakni target kerja pengemasan barang yang dibebankan pada masing-masing pekerja. Pekerja senior, misalnya, dituntut lebih keras dibandingkan pekerja baru.
Dengan rating tersebut, TOT akan menilai apakah pekerja dapat terus bersama Amazon atau menghentikannya, dengan memberi surat peringatan dalam tempo 14 hari terlebih dahulu.
Yang mengerikan, selain mengukur kinerja berbasis rating, TOT punya kemampuan lebih: memecat pekerja Amazon secara langsung. Dalam dokumen yang didapat The Verge itu, disebutkan bahwa jika pekerja terlambat 30 menit hingga 1 jam, ia akan mendapatkan peringatan tertulis pertama. Jika terlambat 1 hingga 2 jam, pekerja memperoleh peringatan tertulis terakhir. Dan, jika terlambat lebih dari 2 jam, pekerja otomatis diberhentikan.
Aksi pecat-memecat yang dilakukan TOT bisa terjadi secara otomatis, tanpa campur tangan manusia yang bertindak sebagai supervisor. Manajer para pekerja pengemasan barang pun tidak punya kuasa memanipulasi rating. Meski demikian, Amazon, dalam pernyataannya, menyatakan bahwa supervisor dapat mengambil alih atau menganulir keputusan yang dibuat TOT.
Sejak Agustus 2017 hingga September 2018, tercatat 300 pekerja Amazon diberhentikan dengan alasan tidak efisien. Gudang penyimpanan Amazon di Baltimore mempekerjakan sekitar 2.500 orang. Artinya, lebih dari 10 persen pekerja raksasa e-commerce itu dipecat oleh AI.
“Pekerja-pekerja Amazon itu dipantau dan diawasi robot,” kata Stacy Mitchell, Wakil Direktur Institute for Local Self-Reliance, institusi yang getol mengkritik Amazon atas keputusan perusahaan menggunakan sistem yang tidak berpihak pada manusia.
Menurut Mitchell, sistem yang dibuat Amazon buat pekerjanya hanya melihat orang-orang—yang ikut membantu Bezos menjadi orang terkaya dunia—sebagai angka bukan manusia.
Sistem TOT dianggap tidak manusiawi. Kebutuhan dasar pekerja Amazon, untuk beribadah hingga buang, air seakan dihiraukan. Selain itu, dalam waktu-waktu tertentu, pekerja gudang Amazon berada dalam kondisi peak season, misalnya pada Cyber Monday dan Black Friday (semacam Harbolnas di Indonesia).
Dalam waktu itu, pekerja gudang dituntut kerja ekstra. Sebagaimana dilaporkan Vox, pekerja setidaknya harus mengemas 60 barang tiap harinya dan bekerja hingga 10 jam lamanya.
Ulah Amazon dengan sistem yang diciptakannya tidak hanya sekali terjadi. Pada 2018, Reuters menerbitkan laporan tentang sistem perekrutan pekerja Amazon berbasis machine learning. Alih-alih membantu memilihkan calon pekerja berkualitas, sistem tersebut malah “membenci perempuan” alias bias gender.
Sistem perekrutan berbasis machine learning dikembangkan Amazon sejak 2014. Sistem dikembangkan di salah satu pusat penelitian milik Amazon di Edinburgh. Untuk membuatnya, Amazon membangun grup khusus, didukung 500 komputer. Tujuan pembuatan sistem ini sederhana: memudahkan tim HRD mencari calon pekerja ideal bagi Amazon.
Setiap calon yang melamar diberi rating dengan rentang satu hingga lima. Pemberian rating didasari beberapa indikator, seperti pengalaman kerja hingga kemampuan yang dimiliki.
“Sesungguhnya semua perusahaan menginginkan ini,” kata salah seorang sumber yang dikutip Reuters. “Mereka benar-benar menginginkannya mesin di mana ada 100 CV yang masuk, dan sang mesin menempatkan lima teratas. Lalu, kami mempekerjakan lima teratas itu."
Sayangnya, guna memberikan saran calon pekerja terbaik, machine learning Amazon itu menggunakan data para pegawai Amazon 10 tahun terakhir sejak 2014. Di sanalah awal bias gender bermula.
Pada dekade itu, Amazon didominasi pekerja laki-laki. Akibatnya, data yang diolah machine learning lebih akrab dengan laki-laki. Machine learning lantas memberi nilai lebih kecil bagi pelamar perempuan. Amazon berkilah. Mereka menyatakan sistem perekrutan berbasis machine learning itu sudah tidak digunakan.
Kekhawatiran atas AI banyak digaungkan, termasuk oleh para pelaku teknologi. Elon Musk, pemimpin Tesla dan SpaceX, adalah salah satunya.
“AI memiliki risiko lebih besar dibandingkan Korea Utara,” kata Musk. “Kompetisi superioritas di bidang AI sangat mungkin menjadi penyebab Perang Dunia III. AI merupakan risiko paling mendasar bagi kepunahan peradaban manusia.”
Senada dengan Musk, Yoshua Bengio, ilmuwan yang memperoleh Turing Award, menegaskan bahwa AI memang mengkhawatirkan. Ia memberi penekanan pada AI yang dikembangkan di laboratorium militer, organisasi keamanan, atau perusahaan swasta yang bekerja pada pemerintah.
AI yang dikembangkan di tempat-tempat itu sukar diprediksi dan dipantau. Pada sebagian kasus, menurut Bengio, “AI secara fundamental adalah alat bagi penguasa mempertahankan kekuasaan, juga meningkatkannya.” Tempat-tempat itu bisa saja menciptakan killing machine berbasis AI untuk memuluskan kekuasaan.
Meski mengkhawatirkan, pemanfaatan AI terus berkembang. Hal ini bisa dilihat dari pendapatan yang diperoleh perusahaan penyokong sistem AI.
Merujuk data yang dipaparkan International Data Corporation (IDC), AI dan cognitive computing memperoleh pendapatan hingga $12,5 miliar pada 2017, meningkat 59,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut diprediksi akan terus meningkat seiring dengan kian masifnya penggunaan AI.
Editor: Maulida Sri Handayani