tirto.id - Sejumlah organisasi keagamaan merespons Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker, sebelumnya Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka). Ada yang bulat menolak, ada pula yang 'abu-abu'.
Muhammadiyah paling tegas menolak. Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan RUU Ciptaker telah dikaji berkali-kali oleh organisasinya. Dari sana mereka mengambil sikap “menolak secara resmi, secara tegas, lugas,” kata Busyro kepada reporter Tirto, Minggu (23/8/2020).
Muhammadiyah mengatakan RUU ini melanggar melanggar prinsip dan etika demokrasi sebab dalam pembahasannya tak pernah melibatkan masyarakat sipil. Naskah akademik RUU tersebut juga dinilai cacat. “Naskah akademiknya itu amburadul. Amburadulnya pada bangunan filosofi, sosiologis, dan yuridis.”
Pasal-pasalnya juga dinilai mengancam semua aspek kehidupan, keberlangsungan sumber daya alam dalam arti luas, kemudian aspek perizinan yang rawan sogok.
Ribuan pasal dalam RUU tersebut mencakup 11 klaster, yakni Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi.
Muhammadiyah juga khawatir salah satu akibat dari penerapan RUU ini, yaitu sentralisasi kekuasaan ke pemerintah pusat. Hal ini memunculkan potensi kekuasaan yang otoriter dan bisa mengarah ke fasisme, kata Busyro.
Busyro juga menyebut RUU ini berpotensi menimbulkan kemarahan rakyat. Buntutnya polisi akan melakukan tindakan represif. “Polisi makin di atas angin, itu nanti akan semakin represif dan over reaktif,” ujarnya.
Atas semua alasan tersebut PP Muhammadiyah telah mengirim surat ke Presiden Joko Widodo dan DPR. Surat tertanggal 8 Juni 2020 itu meminta eksekutif dan legislatif tidak melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU Ciptaker. Namun surat resmi itu tak pernah digubris. “Keduanya tidak ada respons, minimal secara administratif sebagai standar minimal etika birokrasi,” kata Busyro.
Ormas Islam lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), memang belum mengambil sikap resmi sebagaimana Muhammadiyah. Namun beberapa kali petinggi organisasi ini telah menyampaikan pernyataan keras.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj misalnya, sempat mengatakan, “versi pemerintah, RUU ini untuk menciptakan pekerjaan seluas-luasnya. Tetapi kok malah berpotensi merugikan buruh? Undang-undang itu harus melindungi warga negara. Setiap ada yang merugikan rakyat, saya pastikan akan bela,” kata Said saat menerima kunjungan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia NU (K-Sarbumusi), Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), 27 Februari 2020.
Reporter Tirto menghubungi Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Minggu (23/8/2020), untuk bertanya soal sikap resmi PBNU. Ia lantas meminta reporter Tirto menghubungi Ketua Bidang Hukum, Ham dan Perundang-undangan PBNU Robikin Emhas. Robikin juga kemudian menunjuk orang lain. Ia meminta kami menghubungi Wakil Ketua Umum PBNU Mochammad Maksum Machfoedz.
Maksum mengatakan pernyataannya mengenai RUU Ciptaker selama ini hanya merepresentasikan latar belakang akademiknya sebagai guru besar teknik pertanian UGM. Apa-apa yang ia sampaikan tak mewakili PBNU. “Bukan hasil pembahasan di PBNU. Sama sekali saya tidak pernah klaim bahwa itu suara lembaga PBNU,” kata Maksum, Minggu (23/8/2020).
Pada April lalu, ia mengatakan RUU Ciptaker ini sarat dengan aneka kezaliman, dan oleh karenanya “tidak harus dilanjutkan.”
Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) juga belum menyatakan sikap tegas. Ketua Umum PGI Gumar Gultom merekomendasikan koleganya untuk memberikan pernyataan saat dihubungi reporter Tirto, Senin (24/8/2020).
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Henrek Lokra mengatakan awalnya mereka telah memberikan penilaian bahwa RUU ini tak memihak masyarakat kecil. Namun, dalam perkembangannya, PGI mendapatkan banyak masukan baru. Oleh karena itu mereka lakukan kajian lagi.
“Minggu depan kami akan sampaikan hasil kajian. Kami akan fokus pada beberapa klaster. Apakah tolak sama sekali, belum sampai pada keputusan itu,” kata dia kepada reporter Tirto.
Meski demikian, ia menegaskan saat ini sebaiknya pemerintah “fokus pada penanganan COVID-19 ketimbang seperti kemarin, mengejutkan publik dengan mengesahkan RUU Minerba, misalnya.”
Sebelumnya, 16 Juli 2020 lalu, Koordinator Komisi Hukum PGI Jhonny Simanjuntak menyatakan menolak RUU tersebut. Jhonny menyebut RUU Ciptaker sebagai instrumen imperialis dan neokolonialis dalam menaklukkan sumber daya alam, tanah air, dan manusia Indonesia. Untuk menggagalkannya, asosiasi pendeta seluruh Indonesia menggalang penolakan di daerah-daerah.
“Yang bisa menyejahterakan Indonesia adalah rakyatnya sendiri. Investor adalah pembantu yang harus kita kontrol. Tapi omnibus law RUU Cilaka membuat kita dikontrol investasi dan modal asing. Ide tentang Indonesia sebagai rumah bersama akan kacau dan jadi impian kosong,” kata Jhonny.
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas dalam sejumlah kesempatan juga memberikan pernyataan agar RUU ini dihentikan karena hanya akan melanggengkan ekonomi kapitalistik.
“Omnibus law tidak boleh lolos menjadi UU tanpa disesuaikan terlebih dahulu dengan jiwa dan semangat dari Pancasila dan UUD 1945 […] Go to hell buat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi kalau itu hanya akan dinikmati oleh segelintir orang sementara rakyat banyak di negeri ini hanya akan mendapat ampas-ampasnya saja,” kata Anwar pada 19 Juni, seperti dilansir dari Kompas.
Namun saat reporter Tirto menghubungi Anwar, Minggu (23/8/2020), ia menegaskan pernyataan itu bukan sikap MUI.
Ia lantas meminta reporter Tirto untuk menghubungi Ketua MUI Bidang Hukum dan Perundang-undangan Basri Bermanda. Basri, yang bergabung dalam tim kajian RUU Ciptaker MUI, mengatakan dalam RUU ini memang ada hal-hal yang perlu diperbaiki, namun ada sebagian yang patut diapresiasi. Kajian itu lantas disampaikan ke DPR.
“Kami lihat yang mana yang dirasa baik dan bermanfaat, tapi mana yang memberi ruang kepada kapitalistik kami tolak. Kami usul diperbaiki,” kata Basri.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino