tirto.id - Terlalu banyak film drama yang berlatar belakang New York. Anda bisa menyebut Annie Hall (1977), Manhattan (1979), When Harry Met Sally (1989), Frankie and Johnny (1991), Nick & Norah's Infinite Playlist (2008), sampai Frances Ha (2012).
Dalam film-film itu, New York berperan tak sekadar jadi latar, tapi juga episentrum cerita yang menentukan tindakan-tindakan para pemerannya.
New York dan romansa adalah dua hal yang saling berkelindan, kira-kira begitulah pesan yang hendak disampaikan pembuat film. Tinggal di kota besar seperti New York, dengan bermacam rupa karakter manusia di dalamnya, bisa membuat Anda berkesempatan untuk mendapatkan cerita cinta yang berwarna pula.
Deretan gedung pencakar langit, jalanan yang basah sehabis hujan menyapu dengan derasnya, sampai kafe-kafe minimalis yang tersebar di setiap hampir sudut kota membuat jatuh cinta—dan patah hati—di New York jadi momen-momen yang mustahil terlupakan.
Mencoba Sekuat Aslinya
Kesan itulah yang muncul dari film seri Modern Love yang diproduksi oleh Amazon Prime Video dan tayang perdana pada 18 Oktober silam. New York menjadi pusat dari segala cerita yang termaktub dalam Modern Love.
Lahirnya Modern Love dalam bentuk film seri sendiri sebetulnya adalah hal yang menarik. Modern Love diadaptasi dari kolom mingguan yang tayang di The New York Times—dengan judul sama—selama berumur 15 tahun. Dari yang semula hanya berwujud teks, Modern Love perlahan menjelma ke wujud lain seperti podcast dan video grafis di YouTube, sebelum akhirnya diolah menjadi film seri di Amazon.
Secara garis besar, Modern Love merangkum pelbagai kisah cinta dan relasi antar manusia. Membaca setiap cerita di Modern Love yang pada dasarnya adalah kolom curhat itu tak ubahnya membaca pengalaman diri sendiri: begitu personal dan nyambung dengan pengalaman banyak orang.
Ada kisah tentang bagaimana seorang perempuan kehilangan cinta masa kecilnya karena konflik di Bosnia dan kemudian dipertemukan lagi dalam kondisi yang berbeda—serta tak terduga. Ada pula cerita seorang dokter yang gagal kawin setelah pacaran 12 tahun dan menemukan kedamaian hati di tengah pasien kanker. Anda juga bisa menemukan cerita mengenai perempuan 70 tahun yang merasakan jatuh cinta seperti saat ia masih muda.
Keberagaman kisah itulah yang tetap dibawa Modern Love saat ditayangkan dalam bentuk film seri. Delapan episode yang ada menggambarkan bagaimana cinta dimaknai tidak hanya berwujud pada relasi dua orang (romantis), tetapi juga secara universal.
Masing-masing episode menawarkan kisah yang tak umum. Seperti episode “Take Me as I Am, Whoever I Am” yang mengisahkan perjuangan penderita bipolar bernama Lexi (Anne Hathaway) dalam menghadapi karier dan asmaranya. Atau bagaimana relasi seorang calon ibu tunggal dengan pasangan gay dalam menyambut buah hati yang akan lahir di episode “Hers Was a World of One”.
Namun, bagi saya, yang terbaik tetaplah episode "When the Doorman Is Your Main Man". Episode ini bercerita mengenai hubungan antara Maggie (Cristin Milioti) dengan penjaga pintu apartemen tempat ia tinggal, Guzmin (Laurentiu Possa).
Bagi Maggie, Guzmin bukan sekadar doorman biasa. Guzmin adalah sahabat, sosok ayah, sekaligus laki-laki yang diam-diam menaruh perasaan kepada dirinya—meski ia tahu keinginan untuk memiliki Maggie tak akan pernah terwujud.
Keduanya menciptakan hubungan yang kuat, hangat, dan, yang terpenting, paham kapan harus membuka maupun menutup tangan. Guzmin, misalnya, tak memaksa Maggie untuk tetap tinggal di New York ketika ia ditawari pekerjaan di Los Angeles. Atau, contoh lainnya, Guzmin tak berusaha keras untuk jadi figur ayah bagi anak Maggie. Ia memilih menjadi “teman” yang selalu hadir ketika dibutuhkan.
Hal itulah yang membuat episode pertama Modern Love punya kekuatan tersendiri ketimbang episode lainnya. Kisah antara Guzmin dan Maggie dibungkus secara pas, tanpa klise maupun drama berlebih. Semua seperti sudah berada pada tempat dan waktu yang semestinya.
Gambaran ini pula yang menjadi nyawa Modern Love selama belasan tahun terbit. Selain terhubung dengan pengalaman pribadi, kisah-kisah dalam Modern Love juga tak picisan.
Menyoal Definisi Cinta
Modern Love bukan sajian pertama yang memakai pendekatan antologi untuk menyampaikan cerita di dalamnya. Dunia film telah menelurkan banyak antologi bertemakan cinta seperti Love Actually (2003), Paris, Je t’aime (2006), New York, I Love You (2008), sampai He's Just Not That Into You (2009). Keempat film tersebut punya konstruksi cerita yang sama yang dibangun dari perbedaan cara pandang tentang cinta.
Penafsiran akan cinta bagi setiap orang sudah pasti berbeda-beda. Ada yang melihat cinta dari kenangan pahit, ada juga yang memandangnya secara positif. Ada yang meyakini cinta harus diupayakan sekeras mungkin, ada pula yang percaya bahwa cinta hanya perkara waktu. Cinta bisa membuat orang terbuka cakrawala pikirannya dan cinta dapat membikin orang bodoh tak kepalang.
Benang perbedaan itulah yang membuat cinta selalu menarik untuk dikupas dari berbagai sisi. Didedah secara habis sampai kita (penonton) berkesimpulan: “Cinta ada di sekitar kita, disadari atau tidak”. Inilah yang juga coba dilakukan Modern Love versi film seri. Delapan episode yang dibuat berupaya menawarkan cinta dari banyak perspektif.
Sayangnya, eksekusi Modern Love gagal berjalan dengan maksimal. Modern Love versi film seri belum cukup cakap untuk menerjemahkan versi teksnya. Ada banyak lubang yang ditinggalkan dalam upaya memahami cinta pada Modern Love versi film seri.
Yang kentara adalah soal durasi. Durasi 30 menit—atau kurang—untuk setiap episode membuat eksplorasi cerita tidak memuaskan. Ini terlihat, misalnya, dalam episode "Hers Was a World of One".
Tema yang diangkat di episode tersebut sangat menarik. Tentang bagaimana pasangan gay berusaha untuk memiliki momongan dari seorang ibu muda yang (memilih untuk jadi) gelandangan. Nyatanya, durasi yang pendek kurang bisa membikin cerita berkembang. Kesempatan untuk menjajaki dinamika konflik setelah anak lahir tak dimanfaatkan. Padahal, momen ini menyediakan ruang untuk menjajaki tema cinta di tengah situasi yang tak ideal.
Dari segi cerita, hanya episode “When the Doorman Is Your Main Man” yang kiranya punya kekuatan cukup proporsional. Lainnya? Mungkin tidak. Seperti yang tersaji dalam episode “Take Me as I Am, Whoever I Am.”
Menjelang akhir cerita, Lexi digambarkan bisa menerima kondisinya. Ia menghubungi satu per satu anggota keluarga dan teman, lantas menjelaskan bahwa ia mengidap bipolar. Tapi, yang jadi ganjalan, tak ada satu pun adegan yang memperlihatkan Lexi mengontak Jeff (Gary Carr), lelaki yang ditaksirnya. Pertanyaannya: bila Lexi bisa terbuka dengan orang lain, mengapa tidak dengan Jeff?
Padahal, sejak awal, Lexi begitu tertarik dengan Jeff sampai-sampai ia mengajaknya untuk sarapan bersama (beberapa menit setelah kenalan) hingga kencan. Kepingan ini, oleh sutradara, dihilangkan begitu saja tanpa sedikitpun penjelasan.
Satu hal yang menarik dari Modern Love (versi The New York Times) adalah kemampuannya untuk menjaga pandangan pembaca akan perkara cinta tetap membumi. Cerita soal cinta, di setiap kolom yang terbit, tidak mengajak orang untuk berfantasi serta hanya membayangkan kepingan-kepingan yang indah belaka.
Cinta dalam Modern Love juga berarti tentang perpisahan, kepahitan, kepedihan yang berkepanjangan, sampai keputusan untuk merelakan. Namun demikian, elemen-elemen itu seperti berkurang puluhan persen ketika Modern Love beralih rupa menjadi film seri. Yang kita simak adalah segala hal yang baik soal cinta, segala yang pasti soal cinta, dan bualan bahwa “semua akan indah pada waktunya”.
Editor: Windu Jusuf