Menuju konten utama
Misbar

Bonding: 15 Menit tentang Gay, BDSM, dan Topeng Sosial

Bonding menegaskan bahwa hidup ideal bukan lahir karena mengikuti omongan orang.

Bonding: 15 Menit tentang Gay, BDSM, dan Topeng Sosial
Film Bonding. FOTO/Netflix

tirto.id - Januari silam, Netflix mengeluarkan serial yang cukup menyenangkan berjudul Sex Education. Kisahnya berkutat pada kehidupan remaja cupu bernama Otis Milburn (Asa Butterfield). Otis anak pemalu dan ia hanya punya satu teman, Eric Effoing (Ncuti Gatwa), yang tengah berusaha untuk membuka orientasi seksualnya.

Siapa sangka kehidupan remaja Otis yang membosankan berubah jadi seru setelah ia bertemu Maeve Wiley (Emma Mackey), perempuan badung nan cerdas, dan bersepakat untuk membikin klub konsultasi … seks. Singkat cerita, klinik Otis-Maeve pun ramai disambangi. Di gedung tua samping sekolah yang sudah tak terawat, Otis menjalani aktivitasnya: menerima keluh kesah muda-mudi yang kesulitan orgasme hingga yang bingung meningkatkan gairah di ranjang.

Yang bikin Sex Education menarik adalah kemampuannya mengolah hal-hal yang intim, sensitif, serta mungkin tabu untuk diperbincangkan, menjadi sesuatu yang ringan dan jenaka. Lewat karakter Otis, persoalan seks bukan lagi perkara yang menjijikkan atau menyeramkan. Seks adalah persoalan yang tak dapat kita hindari.

Selang beberapa bulan, Netflix kembali merilis serial yang temanya tak jauh-jauh dari perkara seks dalam pusaran dinamika muda-mudi perkotaan. Judulnya Bonding. Kali ini, Netflix mengemasnya dengan lebih vulgar, berani, cerdas, dan, yang paling penting, tetap memancing gelak tawa.

Tabu Dibicarakan

Ada tujuh episode di season pertama. Semua episode disutradarai oleh Rightor Doyle. Cerita Bonding berpusat pada dua karakter, Tiff (diperankan Zoe Levin) dan Pete (Brendan Scannell). Mereka sudah bersahabat sejak SMA, namun sempat putus komunikasi setelah kelulusan. Waktu akhirnya kembali mempertemukan mereka dengan kondisi yang jauh berbeda.

Hari-hari Tiff disibukan dengan urusan perkuliahan. Namun, di balik kehidupan yang ‘normal’ itu, tiap malam Tiff bekerja sebagai dominatrix━perempuan yang mengambil peran dominan dalam subkultur BDSM (Bondage, Domination, Submission, Masochism). Ia melayani pria dan perempuan yang ingin mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara-cara ekstrem, tanpa harus bersentuhan secara fisik.

Beda Tiff, beda pula Pete. Tak seperti Tiff yang berani mengambil risiko, Pete terjebak dalam ketakutan. Ia takut tampil open mic di depan umum. Ia enggan menjalin relasi dengan pria lain, meski sudah coming out━mengaku bahwa dirinya seorang gay. Namun, kehidupan Pete perlahan berubah ketika ia bertemu lagi dengan Tiff. Pete diajak bergabung dengan bisnis Tiff sebagai asisten.

Bagi sebagian orang, menyaksikan tontonan bertema BDSM tentu meninggalkan perasaan bergidik ngeri. Melihat orang dicambuk, diikat tangannya, dan ‘disiksa’ pelan-pelan demi meraih orgasme membuat saya bertanya-tanya. Komunitas seperti itu memang ada dalam masyarakat dan Bonding kian menegaskan eksistensinya.

Bonding mengajak penonton menyelami bagian-bagian yang asing namun nyata di masyarakat. Di tangan Doyle, topik fantasi seksual yang sangat liar (dan menyeramkan) dikemas secara sederhana tanpa banyak drama. Doyle menggambarkan fantasi tersebut apa adanya; tak dilebih-lebihkan dan tak dikurangi takarannya.

Dalam perspektif Bonding, peran dominatrix yang dilakukan Tiff berbeda dengan pekerja seks sebagaimana umumnya. Tiff selalu menekankan bahwa dirinya tak melakukan apa yang dilakukan pekerja seks: ia berkuasa atas tubuhnya sendiri dan menolak tunduk pada keinginan klien. Baginya, ia hanya menjalankan peran fasilitator━merealisasikan fantasi seksual di kepala klien. Bila terdapat sesuatu yang dianggapnya melecehkan pekerjaan dan dirinya, Tiff tak akan segan-segan menghentikan si klien.

Tiff tinggal dalam masyarakat yang memandang rendah pekerja seks dan dominatrix. Kondisi inilah yang membuat Tiff harus menutup-nutupi bagian dari dirinya yang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Masing-masing episode dalam Bonding berlangsung sekitar 15 menit. Durasi ini punya sisi kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, penonton tak akan banyak melihat hal-hal klise sepanjang season. Kekurangannya, dengan durasi yang super-pendek itu, banyak aspek dari cerita yang kurang maksimal untuk digali.

Ini terlihat betul manakala Doyle luput menjelaskan mengapa Tiff terjun ke dunia bahwa tanah BDSM. Tak diceritakan pula mengapa relasi antara Tiff dan Pete sempat memburuk━dan dengan begitu mudahnya kembali akur lagi. Hal-hal semacam itu, sekalipun tidak mengganggu jalannya alur, tetap saja bikin penonton bertanya-tanya.

INFOGRAFIK Bonding
INFOGRAFIK Bonding

Menolak Kompromi

Masyarakat membuat Tiff dan Pete tak leluasa berekspresi. Mereka bersembunyi dalam topeng, serta meyakini bahwa semua baik-baik saja━padahal tidak.

Kendati begitu, keduanya berupaya mencari bentuk hidup yang “ideal” versi masing-masing. Tiff bertemu dan jatuh hati pada sosok Doug (Micah Stock), teman satu kelasnya di kampus. Sementara Pete menjalin relasi dengan Josh (Theo Stockman) yang ia jumpai di kedai kopi, tempat ia bekerja paruh waktu.

Inilah yang kemudian menjadi poin penting dalam Bonding. Kedua karakter dihadapkan pada tuntutan hidup yang ideal versi masyarakat. Menjadi gay maupun seorang dominatrix bukanlah sesuatu yang bikin nyaman sebab mereka, sekali lagi, terbentur pada norma-norma sosial masyarakat yang sulit diajak berkompromi.

Dengan Bonding, Doyle hendak mempertanyakan━lebih tepatnya mengkritik━seperti apa hidup ideal itu sebenarnya? Apakah hidup ideal harus berpijak pada punya pekerjaan normal, tak neko-neko, serta mengikuti aturan main tak tertulis masyarakat? Jika memang kriteria ini yang mesti ditaati, tentu Pete dan Tiff tak akan pernah bisa memperoleh hidup yang ideal.

Namun, Bonding tak ingin tunduk pada syarat-syarat semacam itu. Alih-alih menuruti kehendak publik, Tiff dan Pete pada akhirnya meyakini jalan mereka sendiri. Mereka tak peduli omongan orang; mereka cuma ingin bahagia atas pilihannya dengan menjadi dominatrix ataupun gay.

Karena untuk mereka, omongan orang tak selamanya bikin hidup jadi benar.

Baca juga artikel terkait NETFLIX atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf