tirto.id - Quentin Tarantino membuktikan bahwa untuk jadi sukses modal utama yang diperlukan adalah tekad kuat, keyakinan tinggi, dan sering-seringlah bertindak nekat.
Sejak 1986, manakala berumur 23 tahun, tak punya gelar sarjana sonder tempat tinggal, ia berupaya keras mewujudkan mimpinya di dunia film. Selain mengambil peran sebagai aktor serabutan, Tarantino juga mencoba membangun reputasinya di kursi penyutradaraan.
Berkali-kali Tarantino mengirimkan naskahnya ke berbagai rumah produksi di Hollywood dan berkali-kali pula ia harus mengalami penolakan dengan alasan yang sama: cerita bikinannya dianggap terlalu frontal, keras, dan vulgar.
Namun, alih-alih menyerah begitu saja dan memilih banting setir jadi penjaga bar di Sunset Strips, misalnya, Tarantino justru termotivasi untuk mematangkan diri. Setiap hari ia menonton, mengamati dengan cermat, dan menganalisa banyak judul film koleksi Video Archives━tempatnya bekerja━untuk inspirasinya kelak.
Usaha Tarantino rupanya membuahkan hasil. Pada 1992, debut film panjangnya berjudul Reservoir Dogs rilis. Film tentang enam orang bandit yang dipenuhi adegan tembak, darah, serta kata-kata kasar ini langsung menuai respons meriah di Sundance Film Festival. Para kritikus pun juga tak luput memberikan pujiannya.
Meski demikian, Reservoir Dogs bukanlah kesuksesan besar bagi Tarantino. Kesuksesan itu datang dari Pulp Fiction yang diputar pertama kali di Cannes Film Festival pada 12 Mei 1994, tepat hari ini 25 tahun lalu.
Media-media memuji habis-habisan dengan menyebutnya sebagai “film paling berpengaruh dekade 1990-an” atau “penemuan baru dalam sinema Amerika”. Penjualan tiket laris manis di pasaran sehingga membuat bos-bos Tarantino untung 214 juta dolar, dan yang tak kalah penting: film ini langsung diganjar Palme d’Or di Cannes dan Oscar untuk kategori Naskah Asli Terbaik.
Untuk ukuran film yang merayakan hampir semua kebodohan para kriminal di jalanan Los Angeles, Pulp Fiction menang banyak━sampai sekarang.
159 Halaman yang Bikin Terkejut
Mark Seal, dalam “Cinema Tarantino: The Making of Pulp Fiction” yang diterbitkan Vanity Fair (2013), mencatat bahwa Tarantino merumuskan segala ide dan konsep tentang Pulp Fiction di sebuah apartemen satu kamar di Amsterdam selama tiga bulan terakhir tahun 1992.
Dalam film terbarunya itu, Tarantino ingin membikin semacam omnibus, terdiri dari tiga kumpulan cerita, yang terinspirasi karya Raymond Chandler dan Dashiell Hammett di Pulp Magazine.
Sewaktu naskah jadi, kondisinya masihlah berantakan: ditulis dalam selusin buku catatan sekolah, ratusan halaman yang acak-acakan, serta tulisan tangan yang tak jelas apa maksudnya. Agar naskahnya lebih laku dijual serta layak dilihat orang lain, Tarantino meminta bantuan kawannya, Linda Chen, untuk menyunting dan merapikan semua hal yang dianggap melenceng dari koridor.
“Tulisan tangannya mengerikan. Ia buta huruf fungsional. Aku menemukan rata-rata sekitar 9.000 kesalahan tata bahasa di tiap halaman. Setelah aku perbaiki, ia akan mengembalikannya lagi jika ada yang salah,” jelas Linda.
Pada Mei 1993, yang ditunggu pun akhirnya rampung: skenario versi terbaru dengan tebal 159 halaman. Di sampulnya, Quentin meminta Chen untuk menuliskan, ‘MEI 1993 DRAFT TERAKHIR,’ yang menandakan bahwa ia tidak akan menerima atau melakukan revisi lebih lanjut.
Setelah naskah siap, yang ditempuh setelahnya adalah mencari penyandang dana. Tarantino, atau lebih tepat film-filmnya, masih sulit memperoleh tempat di hati para pemodal di studio-studio besar. Mereka menilai film Tarantino kelewat brutal dan tak laku di pasaran.
Akan tetapi, asumsi itu tidak berlaku bagi Bob dan Harvey Weinstein, yang tengah menjalankan roda bisnis Miramax, perusahaan yang menelurkan film-film indie macam Sex, Lies, and Videotape, Heavenly Creatures, dan Clerks. Kedua orang ini, khususnya Harvey, sangat tergila-gila dengan naskah Tarantino. Tanpa pikir panjang, mereka bersedia mengongkosi produksi Pulp Fiction.
Keputusan mereka tak keliru.
Salah satu elemen ikonik dari Pulp Fiction adalah bagaimana film ini menggunakan pendekatan cerita yang non-linier. Dengan membelah narasi dalam film, Tarantino seperti menjauhkan penonton dari pola konvensional film pada umumnya.
Bila sebuah cerita biasanya dibagi atas awal, tengah, dan akhir, maka tidak dengan Pulp Fiction━di mana terdapat tiga cerita terpisah yang tidak punya keterkaitan satu dan lainnya.
Kendati berdiri sebagai entitas tunggal, Tarantino tetap berupaya menyediakan benang merah agar setiap segmen terasa seperti bagian dari satu dunia. Benang merah ini muncul lewat karakter pendukung: Vincent Vega (John Travolta), misalnya, yang menghabiskan sebagian besar waktunya sebagai karakter utama, tiba-tiba beralih peran jadi “cameo” singkat dalam babak “The Gold Watch” yang menampilkan karakter petinju bernama Butch Coolidge (Bruce Willis).
Pendekatan ini membuat Pulp Fiction tidak bertutur tentang satu karakter atau cerita, melainkan sepotong suasana hati yang dirancang untuk membangkitkan nuansa Los Angeles. Di akhir setiap segmen, momentum cerita terhenti dan film memulai ulang di tempat lain, dengan orang lain, serta pada titik waktu yang tidak ditentukan.
Bagaimanapun, sukses atau tidaknya Pulp Fiction sebetulnya tak kelewat dipikirkan secara serius oleh Tarantino. Baginya, film yang baik adalah film yang mampu menerjemahkan hasrat maupun fantasinya yang bertumpu pada kekerasan, darah, dan umpatan-umpatan kasar nan konyol. Jika itu sudah terpenuhi, maka surga seperti turun di tangan Tarantino.
Ini tergambar jelas ketika ketua dewan juri Cannes 1994, Clint Eastwood, mengumumkan Pulp Fiction sebagai pemenang Palme d’Or. Para penonton langsung menjadi liar. Setelah Tarantino dan para pemerannya bergegas ke atas panggung, seorang wanita berteriak, “Pulp Fiction is shit!”
Tarantino diam, membentuk gestur tembakan dengan jari, serta kemudian berkata: “Aku bikin film bukan untuk menyatukan orang. Aku bikin film untuk memisahkan orang.”
Editor: Nuran Wibisono