Menuju konten utama

MKD Sebut Pasal 245 UU MD3 Tidak Akan Halangi Proses Hukum

Posisi MKD dalam memberi pertimbangan seperti yang dimaksud oleh pasal 245 ayat 1 adalah untuk menjaga marwah DPR.

MKD Sebut Pasal 245 UU MD3 Tidak Akan Halangi Proses Hukum
Sejumlah anggota fraksi Nasdem melakukan Walk-Out pada Rapat Paripurna pengambilan keputusan revisi UU MD3 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id -

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai salah satu subjek dalam Pasal 245 ayat 1 hasil perubahan UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 membantah pasal tersebut bisa menghalangi proses hukum terhadap anggota dewan.

Hal ini disampaikan oleh Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad yang juga menyatakan posisi MKD dalam memberi pertimbangan seperti yang dimaksud oleh pasal 245 ayat 1 adalah untuk menjaga marwah DPR.

"Kami [MKD] di UU MD3 diwajibkan memberi pertimbangan, kita beri. Soal diikuti atau tidak, itu terserah presiden," kata Dasco, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/2/2018).

Dalam pasal itu disebutkan, pemeriksaan anggota DPR harus melalui izin tertulis presiden atas pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Lagi pula, kata Dasco, pasal 245 ayat 1 hanya mengatur terkait pemberian pertimbangan MKD untuk dugaan tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota DPR, sedangkan untuk tindak pidana khusus tidak perlu.

Karena, kata Dasco, selama ini banyak laporan tindak pidana umum kepada anggota DPR yang tujuannya untuk mengkriminalisasi tanpa berdasar fakta. Sementara, bila semua panggilan dipenuhi akan mengganggu kinerja DPR.

"Jadi ini kalau dia [anggota DPR] merasa dirugikan, dia bisa minta ke MKD untuk mengkaji apakah laporan itu benar atau tidak," kata Dasco.

Dasco menyatakan MKD akan mengatur tata cara dalam memberikan pertimbangan kepada penegak hukum. "Nanti batas waktu berikan pertimbangan akan dibuat. Kami enggak mau disangkakan bahwa kewenangan ini bisa kita pakai untuk memperlambat proses hukum," kata Dasco.

Terpisah, peneliti Formappi, Lucius Karus menilai pasal 245 ayat 1 berpeluang melemahkan upaya penegakan hukum oleh kepolisian dan KPK. "Undang-undang ini bisa dipakai ketika mereka merasa terpojok dengan kasus hukum tertentu," kata Lucius kepada Tirto, Selasa (13/2/2018).

Karena, menurut Lucius, imunitas anggota DPR yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 adalah ketika melaksanakan tugasnya, bukan untuk membentengi diri dari kasus-kasus hukum yang menjerat mereka.

Lagi pula, kata Lucius, pasal tersebut terbukti berlawanan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU XII/2014 pada 22 September 2015 lalu yang memutuskan telah merekonstruksi mekanisme "izin MKD" menjadi "izin Presiden".

"Hubungan dengan presiden dengan adanya pasal ini bisa tidak harmonis karena rekomendasi dari MKD itu bagaimanapun bunyinya bahasa politiknya nanti itu akan selalu berarti presiden diminta untuk mengikutinya," kata Lucius.

Ada pun pasal 245 ayat 1 berbunyi, ""pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)."

Pasal ini termasuk dari 14 poin yang diubah dalam revisi UU MD3 dan telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR, Senin (12/2/2018).

Baca juga artikel terkait UU MD3 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dipna Videlia Putsanra