Menuju konten utama

DPR Lampaui Kewenangan Jika Tatib Berujung Kuasa Copot Pejabat

Ada logika kesimpulan yang meloncat dari kepala anggota DPR saat merasa bisa mencopot pejabat dengan evaluasi berkala.

DPR Lampaui Kewenangan Jika Tatib Berujung Kuasa Copot Pejabat
Sejumlah Anggota DPR berjalan usai mengikuti Rapat Paripurna DPR Ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025). Rapat Paripurna DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.

tirto.id - Langkah lembaga legislatif merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib (Tatib) yang memberikan kewenangan baru untuk mengevaluasi secara berkala dan merekomendasikan pencopotan pimpinan lembaga atau pejabat, memantik polemik. Tak ayal, kewenangan DPR dinilai semakin melebar sebab mampu berujung memberhentikan pejabat yang sudah menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Aturan itu tertuang pada Pasal 228A dalam versi revisi Peraturan DPR Nomor 1/2020 terkait Tatib.

Usulan revisi Peraturan DPR soal Tatib ini mendadak muncul pada Senin (3/2/2025). Wacana ini pertama kali dilemparkan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD). Hari itu juga, pimpinan DPR menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) dan menentukan pembahasan revisi Tatib DPR di Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Pembahasan revisi Tatib DPR rampung dalam waktu kurang dari 3 jam. Seluruh fraksi partai politik Senayan menyetujui perubahan Tatib DPR dalam pembahasan Baleg DPR. Esoknya, Selasa (4/2/2025), revisi Tatib DPR langsung disahkan lewat Rapat Paripurna DPR.

Sayangnya, kewenangan DPR dalam Tatib justru dipandang menunjukkan ketidakpahaman wakil rakyat terhadap sistem ketatanegaraan. DPR dinilai sejumlah ahli hukum dan legislatif, melampaui kewenangan mereka dan mencoba merusak tatanan negara hukum demokrasi.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, melihat DPR memang ingin menyusup memperluas kewenangannya lewat Peraturan Tatib DPR. Namun, hal itu seharusnya tidak bisa dilakukan sebab Tatib mestinya cuma mengatur materi tata kelola internal DPR. Sebab, DPR cuma punya kewenangan dalam melakukan fit and proper test dalam memilih pimpinan di sejumlah instansi.

“Ketika seorang hakim atau komisioner atau pejabat publik apa pun yang sudah dipilih oleh DPR, hubungannya putus. Kemudian pejabat itu masuk rezim peraturan undang-undang lainnya,” ucap Bivitri kepada wartawan Tirto, Kamis (7/2/2025).

Ketidakpahaman ini dilihat Bivitri sebagai kesalahan berlogika dan bernalar secara kolektif yang dilakukan anggota DPR. Pejabat yang dipilih melalui proses uji patut dan kelayakan di Senayan, tidak memiliki relasi mandatory dengan DPR. Para pejabat tersebut bukan utusan dari DPR di lembaga-lembaga negara.

Sebab, kata Bivitri, proses yang dilakukan adalah rezim pemilihan, bukan menunjuk utusan. Maka, DPR telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga legislatif apabila memaksa dapat melakukan evaluasi dan merekomendasikan pencopotan pejabat secara berkala.

Jika begitu, maka DPR bisa secara rutin melakukan mekanisme recall pimpinan lembaga-lembaga seperti Polri, TNI, BIN, KPU, Bawaslu, KPK, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan banyak lagi. Semua pimpinan lembaga tersebut jadi terasa berada dalam genggaman DPR.

“Menurut saya ini melanggar konstitusi karena keluar betul dari fungsi-fungsi DPR, bahkan melanggar kemandirian kekuasaan kehakiman yang juga ditulis Undang-Undang Dasar kita di Pasal 24,” sambung Bivitri.

Menurut Bivitri, kuasa untuk melakukan evaluasi dan merekomendasikan pencopotan bukan termasuk dalam fungsi pengawasan DPR terhadap lembaga negara. Ini sekaligus menjadi bantahan terhadap Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, yang beralasan demikian ketika menjelaskan alasan DPR memasukan kewenangan tersebut dalam Tatib. Pasalnya, DPR itu hanya bisa melakukan fungsi pengawasan kelembagaan dan tidak lebih dari itu.

Misalnya, ketika ada pimpinan KPK memperlihatkan kinerja yang kurang bagus, DPR dapat memanggil pimpinan tersebut dan melakukan klarifikasi persoalan ini. Hal ini merupakan hak dan wewenang DPR melakukan fungsi pengawasan. Namun, DPR tak bisa tiba-tiba berhak merekomendasikan pencopotan pejabat tersebut hanya karena ketidaksesuaian personal.

Terlebih, pencopotan pimpinan lembaga di tengah masa jabatnya berpotensi kental dengan unsur politis. Bivitri mengingatkan soal perkara Hakim Konstitusi Aswanto yang dicopot dari MK sebab dinilai Komisi III DPR sering membandel. Aswanto dinilai mengecewakan lantaran kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR.

“Negara hukum itu sebenarnya kan prinsip pembatasan kekuasaan dan hak asasi manusia. Kekuasaan DPR harus dibatasi, dia bukannya tak terbatas,” jelas Bivitri.

Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan, pejabat yang tidak lagi bekerja secara layak di bidangnya dapat digantikan oleh orang lain yang lebih layak. Ia beralasan kewenangan ini demi kepentingan publik. Dengan itu, hasil fit and proper test bisa dievaluasi secara berkala oleh DPR.

“Apakah yang bersangkutan itu masih dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Nah, kalau tidak kan kita harus kemudian lakukan mekanisme agar yang bersangkutan dapat digantikan oleh yang lebih layak dalam menjalankan tugas-tugas negara," kata Dasco di Kompleks MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2/2025).

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyoroti ini sebagai ketidakpahaman anggota legislatif terhadap aturan tata kelola negara. Menurutnya ada logika kesimpulan yang meloncat dari kepala anggota DPR saat merasa bisa mencopot atau mengganti pejabat dengan evaluasi berkala.

Pasalnya, Tatib DPR secara hierarkis berada di bawah perundang-undangan yang mengatur mekanisme pemberhentian pejabat instansi atau lembaga negara. Ini merupakan kekeliruan pola pikir DPR karena sudah menegasikan secara sadar tatanan hierarkis aturan hukum.

“Kalau kita bicara soal cara berpikir perundang-undangan yang benar, dalam suara hirarki, ya harusnya undang-undang yang dijadikan sebagai dasar, bukan tatib,” jelas Castro, sapaan akrabnya, ketika dihubungi wartawan Tirto.

Castro menilai revisi Tatib DPR dengan kewenangan besar itu tak lahir dalam ruang kosong. Ia mencurigai adanya motif politis untuk menyandera pimpinan instansi penegak hukum dan lembaga yudikatif seperti KPK dan MK.

Menurut Castro, pencopotan hakim konstitusi atau pimpinan KPK hanya bisa dilakukan saat pejabat meninggal dunia atau terbukti melakukan perbuatan pidana yang tercela. Sebab dua pimpinan lembaga itu sudah dipilih lewat uji patut dan kelayakan yang memiliki sifat tetap.

“Enggak bisa Tatib dijadikan sebagai dasar menegasikan keberadaan undang-undang. Jadi salah besar cara berpikiran anggota-anggota DPR itu,” tegas Castro.

Merusak Tatanan Demokrasi

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, menjelaskan bahwa secara yuridis normatif, Tatib DPR yang baru direvisi itu bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

Patut dicurigai hal ini sebagai upaya mengacaukan check and balances atau keseimbangan kekuasaan antarlembaga negara dalam kerangka negara hukum demokratis. Dalam konteks ini, Tatib DPR berpotensi berdampak pada pejabat dalam beberapa lembaga negara.

Padahal, Pasal 185 jo Pasal 190 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, telah mengatur tentang Pengajuan dan Pemberian Persetujuan atau Pertimbangan atas Calon untuk pengisian jabatan. Di dalamnya, DPR RI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi di tengah jalan maupun memberhentikan sejumlah pimpinan lembaga atau pejabat negara yang telah dipilih DPR melalui rapat paripurna.

Menambah kewenangan melalui tata tertib adalah tindakan melampaui kewenangan. Lebih mendasar dari itu, konsekuensi pengesahan Tatib DPR yang direvisi ini merupakan tindakan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige over heids daad) karena sudah menentang aturan dalam Undang-Undang MD3.

“Bahwa Indonesia menganut prinsip demokrasi yang memisahkan antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiganya tidak saling mencampuri namun saling mengawasi untuk menciptakan check and balances,” kata Arif kepada wartawan Tirto, Kamis.

Tatib DPR akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian dalam sistem ketatanegaraan yang menganut check balances kekuasaan lembaga negara. Menambah kewenangan baru berupa evaluasi dan rekomendasi pemberhentian pejabat lembaga negara, memposisikan seolah DPR memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan lembaga negara yang lainnya.

Apalagi, DPR bisa mengangkat dan memberhentikan pimpinan lembaga cabang kekuasaan lain kapanpun tanpa ukuran yang jelas. Hal ini tentu bertentangan dengan sistem demokrasi konstitusional yang menganut pemisahan kekuasaan yang setara antarcabang kekuasaan untuk dapat saling mengawasi.

Revisi Tatib DPR sangat bertolak belakang dengan urgensi DPR menyusun regulasi yang memastikan ruang aspirasi dan mekanisme kontrol rakyat atas implementasi dari masukan publik dapat terealisasi. Bahkan jika terdapat anggota DPR yang gagal menjalankan aspirasi publik, semestinya harus berani meregulasi mekanisme recall atau pemberhentian anggota legislatif oleh konstituen untuk digantikan anggota DPR lain dari Dapil yang sama.

“Sayangnya DPR yang berasal dari berbagai partai politik sebagai institusi yang memiliki kewenangan tampaknya enggan diprotes atau dikritik apalagi untuk mengatur sistem reccal tersebut,” terang Arif.

Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, merasa DPR tidak hanya ingin memperluas kewenangan, namun berniat menundukkan lembaga lainnya seperti MK, KPK, hingga KPU. Kholil menduga ini berhubungan dengan dendam politik DPR secara kolektif yang sering dirugikan oleh sepak terjang MK. Puncaknya akibat dari putusan yang menghapus presidential threshold beberapa waktu yang lalu.

Keputusan DPR, kata Kholil, terkesan politis dan arogan. DPR secara terang-terangan ingin lebih berkuasa bahkan terhadap kelembagaan yudikatif. Langkah yang diambil DPR dapat berbahaya bagi stabilitas politik, keamanan, keadilan dan perlindungan hak-hak individu.

DPR punya andil besar apabila pejabat yang mereka ajukan ke Presiden memiliki kinerja yang buruk. Artinya, fit and proper test yang dilakukan DPR tidak berlangsung efektif. Maka, DPR seharusnya memperbaiki mekanisme fit and proper test supaya pejabat publik yang dihasilkan berintegritas. Bukan malah menggerogoti kewenangan lembaga negara lainnya dengan merusak sistem ketatanegaraan.

“DPR dapat merusak keseimbangan kekuasaan yang telah dibagikan konstitusi kepada 3 cabang kekuasaan,” ucap Kholil kepada wartawan Tirto.

Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, menjelaskan bahwa Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, mengenai pencopotan pejabat nantinya akan ditindaklanjuti pimpinan tertinggi lembaga tersebut seperti Presiden bagi kepala lembaga ataupun Komisi Yudisial bagi hakim Mahkamah Agung. Bob mengatakan usulan pencopotan pejabat, adalah bentuk konsekuensi atas kewenangan DPR yang dapat melantik pejabat.

Bob menegaskan DPR bertanggung jawab mengevaluasi atas pejabat pilihannya tersebut. Ia bersikukuh DPR memiliki kewenangan melakukan upaya evaluasi dan pencopotan.

“Kami melakukan evaluasi karena kami punya kewenangan atas fit and proper test atau uji kelayakan kita bisa meloloskan calon itu,” kata Bob di Kompleks MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).

Baca juga artikel terkait DPR RI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz