tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 227 dan 229 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dua pasal itu terkait dengan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Dalam putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Majelis berpendapat pemohon uji materi bukan pihak yang dirugikan atas keberadaan kedua pasal itu.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Anwar saat membacakan putusan tersebut seperti dilansir dari laman resmi MK, Rabu (23/5/2018).
Penggugat Pasal 227 dan 229 UU Pemilu adalah Martinus Butar Butar dan Risof Mario. Mereka mengajukan gugatan karena merasa kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut penggugat, bakal capres dan cawapres harusnya mengantongi syarat mendapat restu dari 50 persen+1 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Syarat itu tak diatur dalam beleid yang ada.
“Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu tersebut nyata-nyata tidak menunjukkan adanya kedaulatan dalam identitas orang-orang Indonesia asli. Dan hal demikian adalah kerugian bagi warga negara Indonesia dari orang-orang Indonesia karena telah mengesampingkan kedaulatan dalam identitas orang-orang Indonesia asli,” bunyi dasar permohonan penggugat.
Penggugat yakin mekanisme restu DPD kepada bakal capres atau cawapres mampu mencegah terjadinya upaya menghilangkan jati diri orang Indonesia asli.
Mereka ingin pencalonan presiden dan wakilnya di pemilu telah melalui proses seleksi DPD RI. Restu DPD, menurut penggugat, bisa diberikan dalam sidang yang digelar khusus membahas bakal capres dan cawapres.
“Dalam sidang tersebut DPD berhak memberikan restu atau persetujuan kepada siapa saja yang menurut DPD adalah bakal calon yang memiliki bobot dan bibit, atau kapasitas personal yang dapat diyakini akan menjaga kelestarian Indonesia dalam kedaulatan orang-orang Indonesia asli sebagaimana makna Kemerdekaan Republik Indonesia,” ujar mereka.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih