Menuju konten utama

MK Akan Bacakan Putusan Uji Materi UU Pemilu, UU MK, dan KUHAP

Pemohon dari perkara pengujian UU Pemilu adalah Martinus Butarbutar dan Risof Mario.

MK Akan Bacakan Putusan Uji Materi UU Pemilu, UU MK, dan KUHAP
Arief Hidayat didampingi Hakim MK Anwar Usman dan Suhartoyo memimpin sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Mahkamah Konstitusi, Selasa (24/10/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan untuk perkara pengujian tiga pasal pada Rabu (23/5/2018) hari ini. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Agenda sidang pada hari Rabu ini adalah pleno pengucapan putusan pengujian Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu," ujar juru bicara MK Fajar Laksono melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Rabu (23/5/2018).

Adapun pemohon dari perkara pengujian UU Pemilu ini adalah Martinus Butarbutar dan Risof Mario yang menganggap bahwa Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu telah merugikan hak-hak konstitusional pemohon karena tidak menyertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penentuan Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Wapres).

Menurut pemohon, DPD adalah utusan daerah yang diakui secara konstitusi, dan mewakili seluruh rakyat di daerah tersebut.

Pasal-pasal a quo dikatakan pemohon tidak mengakomodasi kedudukan konstitusional orang-orang bangsa Indonesia asli sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UUD NRI 1945 yang mengakui sejarah berdirinya negara Indonesia oleh orang-orang Indonesia asli.

Pemohon berpendapat bahwa jika UU Pemilu hanya memberikan syarat sebagaimana tertuang dalam Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu, siapa pun bisa menjadi presiden bukan berdasarkan kedaulatan rakyat, melainkan berdasarkan kedaulatan partai politik.

Dalam sidang perbaikan permohonan, para pemohon mengajukan adanya putusan sela atau provisi sebelum MK menjatuhkan putusan akhir untuk perkara uji UU Pemilu.

Selain UU Pemilu, MK juga akan membacakan putusan uji materi Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Uji materi Pasal 57 UU MK diajukan oleh perorangan warga negara Indonesia bernama Muhammad Hafidz. Pada sidang pendahuluan pemohon mendalilkan bahwa Pasal 57 ayat (3) UU MK berpotensi merugikan hak konstitusionalnya.

Menurut pemohon terdapat potensi tidak tanggapnya para pihak terkait dalam menindaklanjuti setiap putusan MK dalam suatu perkara, sehingga berpotensi menimbulkan kekosongan hukum.

Pemohon mengatakan pihaknya telah beberapa kali mengajukan permohonan uji materi undang-undang di Mahkamah dan permohonannya dikabulkan, namun oleh pihak terkait putusan Mahkamahh tersebut tidak segera ditindaklanjuti.

Pemohon menyebutkan bahwa dalam putusannya, MK juga memberikan tafsiran konstitusional terhadap norma yang terkandung dalam pasal atau ayat yang diuji tersebut.

Oleh sebab itu, pemohon menilai bahwa keberadaan putusan MK yang bersifat final dan mengikat atas pengujian norma haruslah juga dianggap sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sementara itu, uji materi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diajukan oleh Sutarjo yang berprofesi sebagai advokat.

Dalam sidang pendahuluan pemohon menyatakan bahwa pihaknya merasa keberatan dengan beberapa ketentuan dalam KUHAP terkait tidak diperlukannya izin dari pengadilan apabila aparatur negara mengeluarkan perintah penangkapan dan penahanan.

Pemohon menganggap situasi ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur negara. Menurut pemohon, hal tersebut telah dialami oleh dirinya yang harus menjalani penahanan yang dilakukan oleh penyidik Polda Jatim terhadap pemohon.

Pemohon menganggap penahanan yang dilakukan penyidik terhadapnya sangat merugikan hak konstitusional pemohon sebagai advokat yang mempunyai hak imunitas dalam menjalankan profesinya.

Pemohon mengatakan bahwa kewenangan penahanan adalah mutlak milik hakim, bukan penyidik maupun jaksa penuntut umum.

Sutarjo juga mengatakan bahwa setiap tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan adalah suatu tindakan perampasan hak asasi manusia.

Baca juga artikel terkait MAHKAMAH KONSTITUSI

tirto.id - Hukum
Sumber: antara
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra