tirto.id - Ketika saya berumur 17 tahun, saya meninggalkan rumah membawa banyak keyakinan milik ibu saya. Beberapa keyakinan itu saya senangi dan peluk hingga sekarang—cara meletakkan sendok dan garpu sehabis makan dan bagaimana semestinya tingkah seorang laki-laki di bawah tekanan, misalnya—tetapi sebagian yang lain, terus terang saja, tak habis-habis membikin saya sengsara.
Saya membenci wortel karena rasanya mengingatkan saya kepada bau sampah dapur. Namun, berkat keyakinan bahwa ia dapat menjaga dan meningkatkan kualitas penglihatan, dan ia penting bagi orang-orang yang kerap menghabiskan waktu di depan layar elektronik, saya melahapnya secara rutin, dalam bentuk apa pun yang disajikan ibu saya, tanpa pernah menunjukkan tanda-tanda penderitaan.
“Cobalah meniru kakakmu,” kata Ibu kepada adik saya suatu kali. “Kalau perkara makanan saja kau rewel, bagaimana dengan urusan-urusan yang lebih sulit?”
Jarak dari rumah membuat saya merasa lebih relaks, dan perasaan relaks itu melahirkan keberanian buat memeriksa keyakinan-keyakinan, bahkan membongkarnya jika mereka terbukti keliru.
Pertama, layar elektronik rupanya tidak merusak penglihatan.
Pada 1960an, menurut situs Scientific American, General Electric (GE) menjual sejumlah televisi berwarna yang menghasilkan radiasi dalam jumlah gila-gilaan, sekitar 100 ribu kali lipat jumlah yang dianggap aman oleh lembaga kesehatan federal Amerika Serikat. GE segera menarik barang-barang cacat itu dan memperbaikinya, tetapi kabar tentangnya telanjur menyebar seperti kebakaran dan, akhirnya, malih rupa jadi mitos yang awet.
Menonton televisi, menurut Dr. Lee Duffner dari American Academy of Ophthalmology yang dikutip oleh situs itu, tidak bakal menyebabkan cidera fisik pada mata. Ditonton dari jauh maupun dekat, layar elektronik akan membikin mata lelah. Namun, kelelahan bukan penyakit dan orang hanya perlu tidur buat mengenyahkannya.
Kedua, ibu saya, sebagaimana banyak orang lain di planet ini, telah melebih-lebihkan hubungan antara wortel dan penglihatan yang baik.
Benar bahwa wortel mengandung karoten dan tubuh manusia mengubah karoten menjadi vitamin A, juga bahwa vitamin A punya peran penting bagi penglihatan manusia. Ia membuat retina jadi lebih kebal terhadap virus dan bakteri, mengurangi risiko infeksi, dan menghambat degenerasi makula (bagian paling sensitif dan kaya sel fotoreseptor pada retina).
“Kornea bisa hilang jika tubuh tidak memperoleh pasokan vitamin A yang memadai. Setiap tahun, diperkirakan bahwa ada 250 ribu hingga 500 ribu anak yang menjadi buta karena kekurangan vitamin A,” tulis Dina Fine Maron dari Scientific American.
Tetapi wortel bukan satu-satunya sumber vitamin A. Gary Heiting dari allaboutvision.com menyatakan bahwa ubi jalar, bayam, melon oranye, dan kale sebagai sumber-sumber lain karoten yang baik. Selain itu, ada pula sumber-sumber hewani yang menghasilkan retinol (bentuk lain vitamin A) dalam jumlah besar, yaitu daging sapi, hati ayam, dan keju.
Menurut daftar National Nutrient Database for Standard Reference yang diterbitkan Departemen Pertanian Amerika Serikat (2009), kebutuhan harian manusia atas vitamin A ialah 5.000 IU, sedangkan sekaleng jus wortel mengandung 45.133 IU vitamin A, atau lebih dari sembilan kali lipat kebutuhan harian kita. Bahkan, satu wortel mentah menyediakan 12.028 IU vitamin A. Dan tentu ada banyak sekali pilihan lain jika kita tak menyukai wortel, mulai dari ubi jalar (28.058 IU) hingga dua potong hati ayam (5.224 IU).
Lantas, mengapa umumnya orang membicarakan wortel, bukan ubi jalar, misalnya, sebagai prasyarat untuk memperoleh penglihatan yang sehat?
Boleh jadi anggapan itu berhubungan dengan propaganda Inggris dalam Perang Dunia ke-2.
“Dalam Blitzkrieg 1940, pesawat-pesawat pembom Jerman kerap menyerang malam hari. Untuk mempersulit mereka, pemerintah Inggris mengeluarkan aturan pemadaman listrik,” tulis Fine Maron. “Dan angkatan udara Inggris (RAF) menanggulangi serangan Jerman dengan bantuan teknologi radar terbaru. Radar itu, Airborne Interception Radar (AI), digunakan angkatan udara Inggris sejak 1939, sanggup menandai pesawat-pesawat Jerman bahkan sebelum mereka memasuki Selat Inggris.”
Namun, untuk menutupi keberadaan radar itu, Kementerian Informasi dan Kementrian Pangan Inggris menyediakan alasan lain bagi kesuksesan angkatan udara: wortel. Mereka mengabarkan bahwa pilot-pilot Inggris mempunyai penglihatan malam yang amat baik karena mereka rajin melahap wortel, terutama John Cunningham yang berhasil menembak jatuh 20 pesawat Jerman (19 di antaranya terjadi pada malam hari).
Menurut John Stolarczyk, kurator World Carrot Museum, yang dikutip Smithsonian, kemungkinan besar propaganda itu bertujuan untuk membodoh-bodohi pihak militer Jerman. “Tidak ada bukti apakah mereka tertipu,” katanya. “Tetapi ada beberapa kabar burung tentang pemerintah Jerman yang mencekoki pilot-pilot mereka dengan wortel, seakan mereka percaya.”
Di sisi lain, rakyat Inggris memakan propaganda itu bulat-bulat. Poster-poster dengan slogan “wortel menjaga kesehatanmu dan membuat penglihatanmu lebih baik pada saat pemadaman” beredar di mana-mana.
“Demam wortel” itu semakin parah ketika Jerman merusak jalur suplai pangan ke Inggris dan membuat negara itu kekurangan gula, bacon, dan mentega. Kementrian Pangan Inggris lantas mengkampanyekan swasembada pangan. Keluarga-keluarga didorong untuk menciptakan kebun sayur rumahan dan menggunakan resep masakan berbahan dasar produk-produk kebun tersebut.
“Ini adalah perang pangan. Setiap baris sayur di para-para mengurangi ketergantungan kita pada pengiriman. Pertempuran 'fron dapur; mustahil dimenangkan tanpa pertolongan kebun dapur. Tidakkah sejam di kebun lebih baik ketimbang sejam dalam antrian?” ujar Lord Woolton, Menteri Pertanian Inggris masa itu, pada 1941.
Menurut Stolarczyk, kampanye itu amat berhasil sehingga pada 1942 Inggris mempunyai surplus wortel sebanyak 100 ribu ton, dan pemerintah Inggris mesti ikut mencarikan cara buat mengolahnya. Salah satu selebaran “Resep Masa Darurat” yang disebarkan Kementerian Pangan, misalnya, mencantumkan resep untuk puding, marmalade, kue, dan flan berbahan dasar wortel.
Jika benar demikian asal-usul mitos wortel dan penglihatan, orang-orang yang membenci wortel tentu berhak jengkel kepada pemerintah Inggris. Namun, tidakkah kemungkinan bahwa dari hari ke hari ada sepotong sejarah dunia di atas meja makan kita menerbitkan rasa senang—karena, misalnya, berkat itu kita jadi merasa terhubung dengan perkara penting—dan membuat kita ingin memaafkan mereka?
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti