tirto.id - Generasi ini biasa menjadi bahan jualan para politisi ketika menghadapi pemilihan umum. Generasi itu tidak lain adalah milenial, kelompok umur yang lahir antara tahun 1980-2000. Mereka kerap disebut dalam tiap pidato politik dan disanjung sebagai tumpuan perekonomian Indonesia di masa depan.
Julukan itu disematkan semata-mata karena jumlah populasi generasi milenial yang kini mendominasi piramida penduduk Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah warga yang dikategorikan usia milenial mencapai 63,5 juta jiwa. Namun, sebelum beranjak menjadi tumpuan perekonomian negara, generasi milenial kini masih terlilit persoalan mendasar: kesulitan memiliki rumah.
Kondisi semakin pelik dengan penyebaran virus COVID-19 yang berdampak pada turunnya pendapatan. Survei BPS menunjukkan masyarakat Indonesia dari segala kelompok pendapatan mengalami penurunan pendapatan.
Masyarakat dengan pendapatan kurang dari Rp1,8 juta paling terdampak. Sekitar 70,53% kelompok pendapatan ini mengaku mengalami penurunan pendapatan. Lalu, sebanyak 46,77% kelompok masyarakat dengan pendapatan Rp1,8 juta hingga Rp3 juta. Kaum menengah dengan pendapatan Rp3 juta hingga Rp4,8 juta dan Rp4,8 juta hingga Rp7,2 juta masing-masing mengalami penurunan pendapatan bulanan hingga 37,19 % dan 31,67%.
Di tengah kelesuan ekonomi ini, Sugara Yoppindra, mantan pekerja di salah satu stasiun televisi nasional, memilih untuk tidak terlalu memikirkan soal kepemilikan rumah. Ia mengaku menunda minat untuk memiliki rumah agar mampu membayar kebutuhan lain dalam jangka waktu dekat ini.
“Prioritas utama gue saat ini untuk modal nikah dulu. Belum terpikir untuk membeli rumah sih sampai sekarang,” ujar Yoppi (14/12)
Kendati demikian, Yoppi tetap menyediakan proporsi budget untuk membeli hunian. Hal itu ia dapat melalui investasi reksa dana. “Ada proporsi untuk rumah, masuknya gue ke nabung reksa dana, tapi masih kecil dan baru sebatas itu,” kata Yoppi.
Terhalang Pandemi, Terlilit Bunga
Meski sebagian kalangan milenial belum menaruh porsi besar untuk properti, pengembang rupanya tetap getol menyasar milenial sebagai pangsa pasar utama.
Pandemi rupanya tidak menyurutkan aktivitas pengembang untuk tetap menawarkan klaster baru bagi calon konsumen. Di penghujung 2020 ini, Summarecon membidik calon konsumen dari kalangan milenial dengan meluncurkan klaster baru yang dinamakan Baroni. Dilansir dari akun Instagram resmi @Summarecon_Serpong, terdapat tiga tipe hunian di klaster ini yang dibanderol mulai Rp1,1 miliar rupiah.
Dalam memuluskan penjualan, Summarecon juga tidak ketinggalan memberikan keuntungan lebih bagi calon konsumen dengan membagikan voucher belanja senilai Rp10 juta. Strategi khusus juga diterapkan oleh PT Sinarmas Land. Emiten ini memberikan potongan harga bari calon konsumen sebesar 25% serta paket bonus hingga Rp300 juta.
Gencarnya strategi kedua emiten tersebut jelas bertujuan mendongkrak kembali pertumbuhan harga properti. Menurut Survei Harga Properti Residensial (SHPR) dari Bank Indonesia (BI), harga properti bergerak melambat pada kuartal tiga dengan hanya tumbuh 1,51% secara year on year (yoy). Pertumbuhan lebih baik dicatatkan pada triwulan kedua 2020 yang menyentuh 1,59% yoy. Capaian triwulan II 2020 juga lebih baik jika dilihat dari volume penjualan. Hal ini tercermin dari penjualan properti di kuartal II yang terkontraksi 25,60% yoy, sementara triwulan berikutnya mencatatkan kontraksi yang lebih dalam hingga menyentuh 30,93% yoy.
BI membeberkan beberapa faktor yang menyebabkan turunnya penjualan properti. Faktor yang paling signifikan mempengaruhi masyarakat untuk mengurungkan niatnya membeli properti ialah adanya pandemi dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mendapat 21,78% suara responden.
Selain menurunnya pendapatan, kesempatan melihat langsung lokasi hunian juga ikut mempengaruhi turunnya minat calon konsumen. Google Mobility Index yang dirilis pada 7 Desember 2020 silam menyebut sejak bulan Mei peningkatan pergerakan manusia ke area pemukiman hanya meningkat 8% di Indonesia.
Faktor lain yang dinilai BI paling memengaruhi penjualan properti ialah kondisi suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sebanyak 16,12% responden sepakat memilih tingginya suku bunga KPR yang melatarbelakangi enggannya membeli properti.
Bank Indonesia sebagai bank sentral pada November silam telah coba menekan perbankan untuk menurunkan bunga kreditnya. Rapat Dewan Gubernur (RDG) menyepakati 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. BI juga menetapkan untuk menurunkan tingkat suku bunga dopiest facility dan bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 3% dan 4,5%
Kendati demikian, tingginya risiko kredit diklaim perbankan menahan untuk lebih menurunkan suku bunga kreditnya. Pada November 2020, Bank Mandiri memberikan bunga 4,59% tetap satu tahun, 5,99% tetap tiga tahun, 8,88% tetap 10 tahun, dan 9,99% tetap 10 tahun. Sementara itu, Bank BRI per 6 November 2020 menetapkan suku bunga KPR sebesar 9,90%.
Ekonom Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi melihat, lambatnya pergerakan menurunkan suku bunga kredit di level perbankan sebagai faktor yang justru menghambat pemulihan sektor industri properti. Menurutnya, persepsi perbankan soal risiko KPR terlalu tinggi.
“Saya kira itu alasan perbankan saja. Risiko kredit KPR lebih kecil dan kalaupun bermasalah rumahnya masih bisa disita. Persepsi risiko terhadap KPR terlalu tinggi. Itu justifikasi saja untuk menerapkan suku bunga tinggi,” kata Acuviarta ketika dihubungi Tirto, Senin (14/12).
Menengok data OJK, rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) pada September 2020 mencapai 3,15%. Rasio itu dinilai Acuviarta masih relatif rendah dari batas maksimum NPL yang ditetapkan OJK sebesar 5%. Sementara perbankan masih menahan suku bunga, peluang kepemilikan rumah bagi masyarakat menengah ke bawah semakin menipis.
“Perbankan saat ini kurang adaptif menghadapi krisis. Kita tahu syarat pemulihan ekonomi itu bunga yang rendah. Kalau suku bunga kredit masih tinggi, daya beli masyarakat, terutama milenial yang mendominasi kelas pekerja tidak akan naik,” terang Acuviarta.
Sementara suku bunga kredit masih kompetitif, program sejuta rumah yang digodok pemerintah tidak mencapai target dengan realisasi hanya 667.554 unit, 75% rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan 25% lainnya rumah untuk Non-MBR. Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin mengakui hasilnya memang tidak mencapai target.
Capaian ini, menurut Acuviarta, dapat menjadi catatan tentang peliknya upaya pemerintah menyediakan hunian bagi masyarakat menengah ke bawah. Ada sejumlah hal yang dinilai Acuviarta membuat program pengadaan rumah di Indonesia sulit mencapai target.
“Pertama, dukungan penuh dari sektor keuangan, yakni perbankan. Saat krisis seperti ini sudah seharusnya menjalankan relaksasi, restrukturisasi, dan didukung penurunan suku bunga. Biar sektor properti tumbuh lagi,” katanya.
Selain itu, berbelitnya perizinan menjadikan proyek pembangunan perumahan menjadi tersendat. Masalah yang paling mencuat soal ini ialah soal Rencana Tata Ruang (RTR) di level Pemerintah Daerah (Pemda) yang disadari Acuviarta kerap berubah sehingga menyulitkan pihak pengembang.
Peluang Pemulihan Sektor Properti
Sejalan dengan menurunnya daya beli di sektor properti, jumlah simpanan masyarakat di perbankan mengalami kenaikan. Melihat data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) November 2020, kenaikan simpanan yang paling signifikan terjadi di kalangan menengah ke atas.
Menurut data LPS pada November 2020, semua kelompok simpanan Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami kenaikan. Penghimpunan DPK yang mengalami pertumbuhan tertinggi ada di kalangan simpanan lebih dari Rp5 Miliar dengan pertumbuhan 14,% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan signifikan juga terjadi di kalangan simpanan Rp200 juta hingga Rp500 juta dan Rp500 juta hingga Rp1 Miliar yang mencatatkan pertumbuhan 10,1% dan 9,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kelompok masyarakat inilah yang harus dilirik sebagai pangsa pasar potensial di awal 2021 mendatang. “Potensi segmentasi ini (kalangan menengah ke atas) sangat tinggi. Pelaku industri harus segera bergerak agar pemulihan sektor ini semakin cepat dan tentu dengan bantuan pemerintah untuk memastikan kepastian ekonomi di tahun depan,” pungkas Acuviarta.
Editor: Windu Jusuf