tirto.id - Bagi sejumlah masyarakat, tema kesehatan reproduksi dan pendidikan seksual adalah perkara tabu untuk dibicarakan dengan anak-anak. Para orang tua terkadang memilih mengajarkan anak-anaknya perihal hidup sehat dan bagaimana seharusnya bergaul yang baik, alih-alih membicarakan perkara alat reproduksi dan bagaimana mereka merawat serta menghargai tubuhnya sendiri.
Sulaiman, mahasiswa Manajemen yang berusia 23 tahun mengamini hal tersebut. Kepada Tirto, ia bercerita pengalaman belajar masa kecilnya mengenai kesehatan reproduksi justru bermula dari obrolan dengan teman laki-lakinya. Kegiatan Palang Merah Remaja (PMR) semasa SMP sedikit banyak membantunya memberikan pendidikan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi.
“Saya terlahir di keluarga yang sangat konservatif, di mana perkara seksualitas adalah hal yang tabu untuk sekedar menjadi bahan pembicaraan,” ceritanya.
Mengandalkan internet untuk mencari pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi jelas belum bisa karena Sulaiman hidup pada era teknologi internet belum berkembang sepesat sekarang.
“Bahkan untuk akses video porno antarremaja saat itu hanya bisa sebatas via infrared dan bluetooth, berbeda dengan saat ini, di mana setiap pemegang gadget bisa mengakses seluruh hal yang mereka mau,” tutur Sulaiman.
Pendidikan seksual tidak melulu perkara penetrasi dan hubungan dua orang saja. Materi utama yang seharusnya diketahui setiap anak adalah bagian tubuh dan fungsinya masing-masing, serta bagaimana mereka menghargai semua yang mereka miliki tersebut. Sehingga, menurut Sulaiman, orangtua idealnya adalah pintu pertama yang sebaiknya memulai pembelajaran tersebut.
“Setidaknya sampai sebelum SMP, orangtua mau ikut belajar bersama dengan anaknya perihal kesehatan reproduksi. Karena, pengalaman saya sebagai anak laki-laki, usia-usia SMP itu adalah masa transisi yang mana anak merasa sudah sok dewasa padahal belum, sehingga lebih susah untuk diajak belajar bersama,” lanjutnya.
Baca juga
Keluarga seharusnya menjadi pintu utama dalam hal pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi. Sayangnya, fenomena yang terjadi adalah sebaliknya. Dengan pesatnya teknologi, anak-anak justru mencari tahu mengenai hal-hal tersebut secara online. Keluarga sebagai pembelajar dalam pendidikan seksual untuk anak justru tidak menjadi pilihan utama.
TECHsex Youth Sexuality and Health Online, sebuah studi nasional yang meriset dan mempelajari perihal teknologi, anak muda, dan kesehatan seksual menyatakan bahwa dari 1500 responden anak usia 13 sampai dengan 24 tahun, hanya terdapat 7 persen saja yang merasa keluarga adalah tempat belajar efektif mengenai seks, seksualitas, dan kesehatan reproduksi. Dalam laporan penelitian yang diterbitkan tahun 2017 tersebut, disebutkan bahwa media online berupa Google dipilih sejumlah 21 persen koresponden sebagai tempat paling efektif dalam belajar perkara tersebut.
Dibanding dengan media online lain, Google menempati posisi pertama. Sebanyak 62 persen menyebut Google sebagai situs paling banyak diakses anak muda untuk bertanya mengenai informasi kesehatan reproduksi. Di tempat kedua ada platform YouTube sebanyak 38%, WebMD sebanyak 31 persen, dan Facebook sebanyak 21 persen.
Baca juga:
Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah informasi kesehatan reproduksi dan seksual secara online, dalam hal ini melalui mesin pencari Google, seringkali tidak tepat. Terlebih lagi, jika informasi diakses tanpa diseleksi terlebih dahulu, dapat menjurus pada pornografi dan menyesatkan.
Memang informasi yang akurat di internet telah banyak. Hanya saja, kebanyakan remaja terkadang tidak bisa membedakan antara informasi ilmiah dan hal-hal yang sebatas fantasi atau iklan saja.
Dalam penelitiannya, TECHsex Youth Sexuality and Health Online menyatakan bahwa kepercayaan anak muda terhadap informasi dari Google adalah 20 persen sangat percaya, 60 persen agak percaya, 16 persen netral, dan 3 persen agak tidak percaya. Sedangkan jika dilihat dari tingkat kepuasan atas informasi yang mereka peroleh, sebanyak 20 persen merasa sangat puas, 60 persen agak puas, 16 persen netral, dan 3 persen agak tidak puas.
Tingkat kepercayaan anak muda terhadap informasi dari Google merupakan tantangan tersendiri, terlebih untuk pihak-pihak yang terkait hal tersebut. Adalah orangtua yang berkapasitas sebagai teman belajar dan pihak-pihak penyedia informasi yang sebaiknya bertanggung jawab atas konten yang mereka hadirkan.
Berdasarkan data dari Guttmacher Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kebijakan kesehatan reproduksi dan seksual, remaja juga mengakses situsweb yang mempunyai konten tidak tepat. Dalam sebuah penelitian, dari 177 situsweb kesehatan seksual yang dilihat remaja, 46 persennya memberi informasi keliru tentang kontrasepsi dan 35 persen informasi menyesatkan seputar aborsi.
Mudah percaya dengan informasi dari Google tanpa verifikasi lebih lanjut adalah hal yang rentan bahaya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh periset dari Pennsylvania mengenai pengaruh internet terhadap potensi pornografi dijelaskan bahwa peningkatan akses internet mempunyai kecenderungan dengan peningkatan akses pornografi secara online. Mereka menjelaskan juga bahwa konsumsi pornografi tersebut dapat mengembangkan nilai dan kepercayaan seksual yang tidak realistis, termasuk dengan sikap dan eksperimen seksual yang mereka lakukan.
Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa konsumsi pornografi online yang berlebih memengaruhi perilaku anak, termasuk tingkat kenakalan dan depresi yang lebih tinggi, serta penurunan ikatan emosi dengan keluarga.
- Baca juga: Bagaimana Seks Dipelajari di Pesantren?
Ineke van der Vlugt, pakar perkembangan seksual anak muda dari Rutgers WPF dalam The case for starting sex education in kindergarten menjelaskan bahwa pendidikan seksual secara formal seharusnya sudah dimulai sejak anak berusia 4 tahun.
“Orang sering berpikir bahwa kami langsung membahas mengenai hubungan seksual kepada anak-anak TK. Padahal seksualitas lebih luas dari itu. Hal ini menyangkut citra diri, mengembangkan identitas diri, peran gender, serta belajar mengekspresikan keinginan dan batasan-batasan diri.” Tambahnya.
Selain keluarga, dibutuhkan juga dukungan dari pihak sekolah, dan institusi sosial lain, termasuk juga penyedia konten-konten pendidikan reproduksi—baik online maupun bukan. Hal ini diperlukan agar anak-anak muda memiliki pengetahuan seksual dengan tafsiran yang lebih utuh dan komprehensif.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti