tirto.id - Sekitar pertengahan tahun 2013 lalu, Indonesia sempat digegerkan dengan kasus perkosaan seorang anak perempuan tunarungu oleh guru SLB-nya. Perkosaan dilakukan hingga enam kali dalam waktu tiga bulan berturut-turut. Si guru terlebih dulu mempertontonkan video porno kepada si anak sebelum aksi perkosaannya dilakukan.
Bukan hanya kali itu saja anak-anak disabilitas harus menjadi korban dari pelecehan seksual. Pelaku memanfaatkan keadaan penyandang disabilitas untuk melancarkan pemerkosaan, korban yang lemah membuat tindakan mereka mudah dilakukan dan disembunyikan, sementara lemah, lekat kaitannya dengan para difabel.
Setiap tahun setidaknya terdapat 1400 anak berkebutuhan khusus di Inggris menjadi korban pelecehan seksual. Begitu pula dengan kasus kekerasan seksual di Amerika Serikat, para penyandang disabilitas dinyatakan 1,5 kali lebih rentan menjadi korban seksual dibandingkan dengan masyarakat umum.
Menurut Washington Coalition of Sexual Assault Programs, perempuan dengan disabilitas lebih mungkin mengalami kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 37,3 persen dibandingkan perempuan pada umumnya sebanyak 20,6 persen. Para perempuan dengan keterbatasan ini, juga lebih banyak memiliki catatan kelam tentang prilaku seks yang tidak diinginkan sebesar 19,7 persen dibandingkan perempuan lain sebanyak 8,2 persen.
Sebanyak 80 persen perempuan dan 30 persen laki-laki dengan disabilitas intelektual mengalami kekerasan seksual. Dan, 50 persen dari para perempuan yang mengalami kekerasan seksual, mengalaminya lebih dari sepuluh kali. Yang menyedihkan, hanya 3 persen saja kasus yang masuk laporan kepolisian.
Untuk kasus disabilitas tunarungu, anak laki-laki tunarungu lebih banyak mengalami pelecehan seksual dibandingkan dengan anak laki-laki yang mendengar. Perbandingannya 54 persen dan 10 persen. Pada anak perempuan pun sama. Perbandingan anak perempuan tunarungu yang mengalami mengalami pelecehan seksual ada 50 persen, sedangkan anak-anak perempuan yang pendengarannya normal ada 25 persen yang mengalami pelecehan.
Pelecehan Oleh Orang-Orang Dekat
Meskipun kasus-kasus terhadap kekerasan dan pelecehan seksual terhadap kaum difabel belum terdokumentasikan dengan baik hingga saat ini. Namun, beberapa penelitian terhadap kasus ini mengemukakan para pelaku biasanya merupakan orang-orang yang dekat dengan korban.
Penelitian Mary Ellen Young, dkk (1997), telah menyurvei kemungkinan tindak pelecehan seksual terhadap 245 perempuan disabilitas. Hasilnya, 40 persen dari responden pernah dilecehkan dan 12 persen pernah diperkosa. Pelakunya, 37 persen adalah mantan pasangan, 28 persen orang asing, 15 persen orangtua, 10 persen pembantu, dan 7 persen pasangan kencan.
Hanya kurang dari setengah kasus tersebut yang dilaporkan, sebab sebagian besar korban merasa takut. Pada 1992, Center for Research on Women with Disabilities (CROWD) didanai oleh National Institutes of Health (NIH) mewawancarai 31 perempuan disabilitas. Pada empat pengalaman pelecehan seksual terakhir disimpulkan adanya ketidakmampuan difabel untuk melarikan diri dari situasi berisiko.
Para penyandang disabilitas menghadapi banyak hambatan dalam melaporkan kasus yang dialami karena masyarakat masih memiliki kecenderungan untuk merendahkan, menekan suara mereka. Di sisi lain, pendidikan seks bagi anak berkebutuhan khusus belum banyak menjadi perhatian kalangan pendidik.
Terbukti literatur yang membahas pendidikan seks secara komprehensif masih minim sekali ditemukan, bahkan terbilang hampir tidak ada. Padahal pendidikan seks bagi mereka menjadi adalah keharusan. Anak berkebutuhan khusus pada prinsipnya memiliki perkembangan dorongan seksual yang sama dengan anak-anak pada umumnya.
Survei dari National Longitudinal Study of Adolescent Health menyatakan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus di bawah umur 16 tahun memiliki kecenderungan dua kali lebih besar untuk melakukan hubungan seksual tanpa sepengetahuan orangtuanya dibandingkan anak pada umumnya.
“Untuk itu, perlu bahasa sendiri bagi orang tua atau guru menyampaikan info pendidikan seks kepada mereka. Sebab dorongan seksual anak disabilitas berjalan normal seperti biasa,” ungkap Henny Rusmiati Ketua Harian LPA Indonesia kepada wartawan Tirto.
Henny menyarankan untuk mulai mengajarkan pendidikan seksual kepada para anak berkebutuhan khusus sejak umur 3-5 tahun. Pada kisaran umur tersebut, para orangtua harus mulai mengenalkan organ-organ reproduksi dan cara memperlakukannya.
“Jangan dimarahi ketika mereka bermain dengan organ vitalnya, sebab fase mereka senang dengan kelaminnya itu wajar. Hanya perlu diarahkan, misal 'jangan pegang nanti lecet'.”
Sudah saatnya bagi para orang tua anak-anak disabilitas melek pendidikan seksual. Tak ada alasan tabu, sebab banyak difabel menjadi korban kejahatan seksual karena tak mengerti jenis perlakuan yang diterima dari pelaku tindak kejahatan seksual.
“Biasanya mereka tidak marah karena dengan sentuhan tertentu mereka senang, menikmati, dan merasa disayang.”
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani