tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui Inosentius Samsul sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/8/2025). Keputusan itu dikukuhkan dalam Rapat Paripurna ke-3 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024–2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta. Inosentius menjadi Hakim Konstitusi usulan DPR untuk menggantikan Arief Hidayat yang pensiun pada 3 Februari 2026.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa berdasarkan hasil kegiatan fit and propertest, Rabu (20/8), seluruh fraksi di komisi bidang hukum itu secara bulat menyetujui Inosentius sebagai Hakim MK yang diusulkan DPR RI.
“Komisi III DPR RI memutuskan menyetujui Saudara Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum sebagai Hakim Konstitusi yang diusulkan DPR menggantikan Hakim Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.,” kata Habiburokhman di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (21/8/2025).
Kemudian, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, sebagai pimpinan Rapat Paripurna menanyakan para peserta rapat apakah laporan yang dikemukakan Komisi III DPR bisa disetujui.
“Apakah laporan Komisi III DPR terhadap hasil pembahasan pergantian Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi usulan DPR dapat disetujui?," kata dia.
Seluruh peserta Rapat Paripurna lantas menjawab serempak, “Setuju.”

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK menyebutkan bahwa Hakim Konstitusi diberhentikan dengan hormat, salah satunya saat mencapai usia 70 tahun. Arief Hidayat memasuki masa purnatugas pada 3 Februari 2026, ketika usianya genap 70 tahun.
Usai agenda Rapat Paripurna, Habiburokhman menyatakan proses selanjutnya ada di tangan pemerintah untuk menerbitkan keputusan presiden (keppres) penetapan Inosentius sebagai Hakim MK. Namun, dia belum bisa memastikan waktu penerbitan keppres tersebut.
Menurut Habiburokhman, pria yang karib disapa Sensi itu menguasai pemahaman soal penyusunan produk legislasi karena berpengalaman lebih dari tiga dekade di DPR RI. Sensi menjadi perumus dan peneliti yang terlibat dalam proses penyusunan undang-undang DPR.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan Hakim Konstitusi saat ini sering tak mendalami berbagai aspek persoalan dalam penyusunan undang-undang ketika mengambil keputusan atas suatu perkara uji materi.
Menurut dia, undang-undang yang disusun dengan melibatkan begitu banyak aspirasi rakyat perlu dikawal agar tidak begitu saja dibatalkan MK. Misalnya, karena dinilai ada unsur ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan perumusan undang-undang.
“Mereka itu [Hakim Konstitusi] sebetulnya enggak bisa paham apa persoalan teknis, apa persoalan substansi, apa persoalan politis di DPR RI ini dalam penyusunan undang-undang. Sehingga, semua hal-hal teknis dan lain sebagainya dikejar-kejar, digebyah-uyah sebagai sebuah kesalahan,” ucap Habiburokhman.
Sebelumnya, Komisi III DPR juga sempat berkali-kali mengingatkan Sensi agar tidak ”menghantam” DPR ketika terpilih. Sebab, MK dituding sering melampaui kewenangan dan kerap masuk ke ranah teknis dalam putusannya.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Safaruddin, mewanti-wanti Sensi untuk tidak menghantam DPR ketika bertugas sebagai Hakim MK mengingat dirinya adalah usulan dari DPR RI. Hal ini disampaikan Safaruddin dalam fit and proper test sehari sebelum Sensi resmi dipilih DPR sebagai pengganti Arief Hidayat.
Safaruddin membeberkan bahwa 3 dari 9 Hakim MK merupakan pilihan DPR RI. Dia pun kembali meminta calon Hakim MK untuk tak terlalu galak kepada DPR RI.
“Bapak punya keyakinan kuat, keteguhan, betul-betul bukan membela sembarangan di DPR, tapi kan Bapak jangan lupa bahwa Bapak dipilih dari DPR, jangan kembali menghantam DPR,” ucap Safaruddin.
Hakim Konstitusi Harus Bebas Konflik Kepentingan
Sejumlah pengamat legislatif dan hukum tata negara menilai “wejangan-wejangan” anggota DPR RI untuk Sensi itu berpotensi mengintervensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Padahal, Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Maka kekuasaan kehakiman wajib bebas dari campur tangan lembaga lain.
Tabiat DPR “mengutak-atik” komposisi MK merupakan lagu lama. Salah satu contohnya adalah ketika DPR secara tiba-tiba memutuskan untuk memberhentikan Hakim MK, Aswanto, dan menggantinya dengan Guntur Hamzah lewat Rapat Paripurna, Kamis, (29/9/2022) silam.
Padahal, DPR secara konstitusional hanya berwenang untuk mengusulkan Hakim Konstitusi, bukan memberhentikannya. Alasan DPR memberhentikan Aswanto saat itu adalah karena yang bersangkutan dianggap sering menganulir undang-undang yang dibentuk DPR.
Tindakan DPR itu lantas memicu banjir kritik karena berpotensi melanggar hukum dan merusak independensi peradilan.
Terpilihnya Inosentius Samsul kali ini diharapkan tak lagi diwarnai tendensi-tendensi DPR mencampuri independensi MK. “Pesan-pesan” yang dilontarkan kepada Inosentius jangan sampai menimbulkan konflik kepentingan bagi seorang Hakim Konstitusi.
Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, berpendapat bahwa pesan-pesan anggota Komisi III seakan-akan membongkar isi hati mereka.
Menurut Lucius, DPR keliru total bila menganggap putusan MK terkait norma-norma tertentu dalam UU sebagai bentuk hantaman kepada DPR selaku pembentuk UU.
“Keputusan MK tak dibuat menggunakan perasaan suka atau tidak suka kepada pembuat aturan, tetapi murni mengacu tafsir atas konstitusi. Kan MK menguji UU berdasarkan UUD. Bukan menguji UU berdasarkan tafsir kepentingan politik pembuat UU,” ucap Lucius kepada wartawan Tirto, Kamis (21/8/2025).

Pesan “jangan hantam DPR” seolah mereduksi peran MK sekaligus penyimpangan pola pikir DPR terhadap tugas dan peran MK. Jika DPR merasa putusan MK seolah menghantam mereka, kata Lucius, seharusnya momentum pemilihan Hakim Konstitusi dijadikan sesuatu yang serius oleh DPR. Yakni, dengan memastikan calon Hakim Konstitusi benar-benar layak dari sisi kualitas, kapasitas, dan integritas.
Proses pemilihan Hakim Konstitusi yang asal-asalan atau sarat kompromi politik justru rawan berkontribusi pada kualitas putusan MK. Apalagi, kalau Hakim Konstitusi terpilih benar-benar kompromis terhadap kepentingan politik DPR.
Lucius menilai proses fit and proper test calon Hakim MK yang menguji Inosentius menjadi salah satu sinyal kurang baik. Pasalnya, proses fit and proper test cuma diikuti satu kandidat selaiknya menonton drama yang diskenariokan.
“Hasil seleksi terbuka dan masukan publik itu baru disusul dengan fit and proper test. Juga tak bisa hanya satu orang calon saja. Kalau cuma satu orang, ya ngapain repot-repot diuji?,” ucap Lucius.
Sementara itu, ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, menilai “pesan-pesan” DPR kepada Inosentius menunjukkan hilangnya sikap kenegarawanan para anggota dewan. Hal itu juga merupakan bentuk pengabaian prinsip demokrasi.
Pikiran anggota DPR, kata Herlambang, malah mengecilkan eksistensi MK sebatas lembaga relasi kuasa kartel politik.
Herlambang pun menilai sikap demikian sama dengan bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Lewat proses politik, DPR menjadikan MK sebagai jebakan cartelized judiciary. Relasi kuasa sebagai bagian dari intervensi ini jamak terjadi dalam sistem politik yudisial yang menopang kepentingan politik kekuasaan rezim otoriter.
“Sekalipun ini buruk, sama sekali tak mengejutkan melihat track record DPR dan kekuasaan hari ini yang memang cenderung antidemokrasi,” kata Herlambang kepada wartawan Tirto, Kamis (21/8).
Hakim MK Harus Tunduk pada Konstitusi
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, memandang pesan DPR kepada Inosentius bisa dibaca sebagai pesan politis yang tidak sehat. Hal itu membuat seolah Hakim MK pilihan DPR harus menjaga kepentingan lembaga legislatif itu.
Padahal, Hakim MK tidak terikat dengan lembaga pengusul usai dilantik nanti. Ia sepenuhnya harus tunduk pada konstitusi.
Putusan MK menyadarkan bahwa tidak semua produk UU yang dihasilkan DPR disusun sesuai dengan norma UUD 1945. DPR, pemerintah, dan MK mestinya bekerja dalam bingkai checks and balances dengan saling menghormati kewenangan masing-masing secara proporsional.
Titi mengingatkan bahwa loyalitas Hakim MK pada bangsa, negara, dan konstitusi. Bukan kepada kepentingan kelompok tertentu, apalagi kepentingan politik.
“Mengapa syarat anggota MK adalah negarawan, justru agar mampu menahan dan menghalangi segala bentuk intervensi, termasuk dari lembaga yang menjadi pengusul dirinya,” ujar Titi kepada wartawan Tirto, Kamis (21/8/2025).

Sementara itu, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, memandang pesan anggota Komisi III DPR kepada calon Hakim MK memang bisa dibaca sebagai pesan politik yang tidak netral. Pesan ini memberi kesan seolah-olah DPR berharap hakim pilihannya lebih lunak atau tidak kritis terhadap agenda legislatif.
Padahal, fungsi Hakim Konstitusi justru untuk menguji apakah produk legislasi DPR selaras dengan UUD 1945. Secara normatif, kekuasaan kehakiman pun harus bebas dari intervensi. Namun, dalam praktik politik di Indonesia, pesan-pesan simbolik seperti ini sering muncul.
DPR atau pemerintah kerap mengirim sinyal kepada Hakim MK terkait UU yang tengah diuji. Meski tidak bisa langsung disebut intervensi formal, pernyataan seperti yang dilontarkan anggota Komisi III DPR RI itu menimbulkan persepsi bahwa independensi hakim sedang “diingatkan” lembaga yang mengusulkannya.
“Publik tentu berharap siapa pun Hakim MK yang baru, termasuk Pak Inosentius, tetap menempatkan konstitusi sebagai kompas utama. Indonesia adalah negara hukum. Independensi, integritas, dan keberanian untuk menjaga marwah konstitusi itu yang paling penting,” kata Felia kepada wartawan Tirto, Kamis (21/8).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































