tirto.id - Pemerintah tampaknya menyerah mempertahankan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA). Maskapai penerbangan yang berdiri sejak 1962 tersebut akan dilikuidasi bersama 13 perusahaan lain.
“Yang akan dilikuidasi melalui PPA (Perusahaan Pengelola Aset) itu 14. Seperti Merpati. Sampai hari ini masih hidup, padahal sudah tidak operasional lagi dan banyak perusahaan-perusahaan seperti ini,” ujar Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam diskusi virtual bertajuk ‘Super Holding BUMN: Mungkin dan Perlukah’, Senin (28/9/2020).
Saat ini jumlah BUMN ada 108. Selain 14 perusahaan yang bakal dibubarkan, ada 34 yang bakal dilebur dan 19 dimasukkan ke dalam naungan PPA. Sisanya, 41 perusahaan, dipertahankan.
Semua ini bertujuan agar “BUMN jadi ramping,” kata Arya.
Belum jelas kapan rencana ini direalisasikan. Komisi VI DPR RI, mitra kerja Kementerian BUMN, menyebut hingga kini pemerintah masih mengkajinya. “Yang kami tahu itu masih dikaji oleh pihak sana (Kementerian BUMN). Nanti pasti akan ada rapat khususnya, jadi kami tunggu,” kata anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade kepada wartawan Tirto, Rabu (30/9/2020).
Maju Mundur Merpati
Rencana melikuidasi Merpati sebenarnya bukan barang baru, terutama setelah mereka memutuskan berhenti beroperasi pada 1 Februari 2014 karena alasan keuangan. Bahkan Ketua Forum Pegawai Merpati Sudiyarto mengatakan sebelum tanggal itu “sudah jauh hari tidak ada penerbangan” dan “banyak kantor cabang tutup,” dikutip dari Merdeka.
Dahlan Iskan, Menteri BUMN 2011-2014, juga bilang rencana melikuidasi Merpati dan 29 BUMN lain sudah ada sejak ia menjabat, tapi toh tak juga terealisasi. Dahlan menggambarkan situasi Merpati itu “sudah meninggal dunia, cuma mayatnya belum dikubur.”
Kabar perusahaan penerbangan yang beroperasi di langit timur Indonesia ini pun nyaris tak terdengar setelahnya. Namun pada 2018 suara samar terdengar. Mereka mengklaim sudah menemukan investor yang sudi menyuntikkan dana Rp6,4 triliun agar maskapai bisa terbang tahun 2019.
PT Intra Asia Corpora disebut-sebut siap menjadi investor. Dana yang cair dalam kurun waktu dua tahun itulah yang menjadi modal Merpati. Bayang-bayang likuidasi untuk sementara hilang.
“Ini momentum untuk perusahaan berkiprah lagi di bisnis penerbangan,” kata Direktur Utama Merpati Asep Ekanugrah, Minggu (11/11/2018).
Meski telah mendapat angin segar, bukan berarti rencana Merpati kembali mengudara berjalan mulus. Ada syarat berat yang terlebih dahulu diselesaikan. Merpati harus melunasi utang-utangnya terlebih dulu. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pendapatan perusahaan sejak 2009 hingga akhir September 2013 lebih kecil dari biaya operasionalnya. Mereka bahkan tak mampu memenuhi hak para karyawan.
Kondisi semacam itu yang membuat maskapai terlilit utang kepada sejumlah kreditur.
Beberapa kreditur tersebut ialah: PT Pertamina (Persero), PT Bank Mandiri Tbk, PT PPA, hingga Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sampai Juli 2018, beban utang yang ditanggung Merpati mencapai Rp10,7 triliun, sedangkan nilai asetnya hanya Rp1,2 triliun dan ekuitasnya tercatat minus Rp9 triliun.
Merpati berharap duit dari PT Intra Asia Corpora dalam kurun waktu dua tahun dapat mengembalikan utang-utang itu.
Keinginan manajemen agar Merpati kembali terbang semakin terbuka usai Pengadilan Negeri Niaga Surabaya mengabulkan proposal perdamaian pada Rabu 14 November 2018. Dengan demikian, hakim mengesahkan persetujuan antara debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan.
Meski begitu rencana tinggal rencana hingga dua tahun berlalu. Tak sedikit pun Merpati tampak menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Investornya juga tak memberikan kepastian suntikan dana sampai isu likuidasi datang lagi.
Mengapa Baru Sekarang?
Pengamat BUMN Toto Pranoto mengatakan alasan mendasar mengapa rencana melikuidasi Merpati terkesan maju mundur adalah ketidakharmonisan Kementerian BUMN dan DPR. Sebelum melikuidasi BUMN, pemerintah memang perlu persetujuan dari legislatif.
“Di masa lalu karena hubungan Menteri BUMN dengan DPR kurang baik, komunikasi agak macet sehingga pembahasan soal tersebut juga terhambat,” katanya kepada wartawan Tirto, Rabu. Menteri BUMN di sini maksudnya adalah Rini Soemarno.
Ia mengatakan situasi saat ini lebih kondusif. Relasi DPR dan Kementerian BUMN lebih harmonis, katanya. “Mudah-mudahan di era pak Erick Thohir ini soal tersebut bisa diselesaikan dengan lebih baik.”
Selain hubungan lembaga maupun personal yang lebih harmonis, rencana pembubaran Merpati saat ini juga dinilai cukup tepat salah satunya karena kondisi industri penerbangan yang kurang kondusif karena pandemi.
Kedua, beban keuangan yang melekat di tubuh Merpati. Tak ada jaminan mereka bisa melunasi saat kembali beroperasi. Akhirnya mereka terjebak di lingkaran setan. Menurut laporan Centre for Aviation (CAPA), beban utang Merpati kepada sejumlah kreditur mencapai Rp10,72 triliun. Perusahaan juga masih memiliki tunggakan pesangon untuk mantan karyawan sebesar Rp365 miliar.
Ketiga, tingginya kebutuhan anggaran untuk membiayai beragam program jaring pengaman sosial pemulihan ekonomi dan kesehatan. “Kan lebih bijak bila anggaran yang tersedia digunakan untuk membiayai program pemulihan ekonomi ketimbang menghidupkan kembali BUMN yang tak produktif,” katanya.
Meski sepakat Merpati dibubarkan, Toto bilang ada satu hal yang harus diselesaikan, yaitu menyelamatkan dua anak usaha Merpati yang masih beroperasi, PT Merpati Maintenance Facility (MMF), bergerak di bidang perawatan pesawat; dan PT Merpati Training Center (MTC), bidang pendidikan pilot dan pramugari. Dua perusahaan ini menurutnya punya kinerja baik.
“Lebih bagus mereka harus bisa spin off dulu sebelum dibubarkan, sehingga bisa berdiri menjadi satu entitas bisnis sendiri entah itu gabung sama Garuda Indonesia,” katanya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino