Menuju konten utama

Keinginan Merpati Airlines Terbang Lagi & Rekam Jejak Investornya

Bisnis Kim Johanes sempat terganjal skandal keuangan perusahaan tekstil Detta Marina dan kasus korupsi hak tagih Bank Bali.

Keinginan Merpati Airlines Terbang Lagi & Rekam Jejak Investornya
Pesawat penumpang dari maskapai Merpati Nusantara Airlines. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Maskapai penerbangan Merpati Airlines berencana beroperasi kembali pada 2019 mendatang. Perusahaan pelat merah itu mengklaim sudah menemukan investor yang sudi menyuntikkan dana sebesar Rp6,4 triliun. PT Intra Asia Corpora lah yang menjadi investor untuk kebangkitan kembali Merpati Airlines.

Gelontoran dana dalam kurun waktu dua tahun itulah yang kemudian menjadi modal bagi Merpati menjalankan kembali bisnisnya. Di sisi lain juga untuk membayar utang kepada kreditur.

Alasan Merpati Airlines berhenti beroperasi sejak 1 Februari 2014 karena masalah keuangan. Manajemen perusahaan itu pun menyebutkan, telah merevitalisasi serta merestrukturisasi perusahaan guna menghidupkan lagi bisnis mereka yang mati suri.

“Ini adalah momentum yang tepat untuk perusahaan berkiprah lagi di bisnis penerbangan,” kata Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Asep Ekanugraha di Jakarta seperti dikutip Antara, Minggu (11/11/2018).

Rencananya Merpati bakal fokus pada industri penerbangan di Indonesia bagian timur. Sembari menantikan waktu untuk mulai beroperasi lagi, Asep mengatakan, Merpati terus membenahi kondisi internal perusahaan. Salah satunya yaitu, menyelesaikan hak karyawan yang tidak digaji selama ini.

PT Intra Asia Corpora, perusahaan yang dimiliki oleh Kim Johanes Mulia, telah melakukan penandatanganan perjanjian transaksi penyertaan modal bersyarat dengan Merpati pada, 29 Agustus 2018 lalu. Pelaksanaan penandatanganan sendiri merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Merpati Airlines dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Setelah perjanjian ditandatangani, PT MNA lantas menyusun proposal perdamaian yang berisi skema restrukturisasi utang para kreditur.

Dari rapat kreditur yang berlangsung pada 31 Oktober 2018, dua dari tiga kreditur menerima proposal perdamaian yang diajukan Merpati. Dua kreditur itu adalah PT Bank Mandiri Tbk dan PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA). Sementara satu kreditur yang menolak proposal ialah Kementerian Keuangan selaku pemegang jaminan dengan tagihan terbesar.

Jumlah suara yang dimiliki tiga kreditur itu adalah sebanyak 333.738 dengan total tagihan Rp3,33 triliun. Apabila dirinci lebih lanjut, Bank Mandiri memiliki 25.409 suara dengan tagihan Rp245,08 miliar, sedangkan PT PPA memiliki 96.600 suara dengan tagihan Rp965,99 miliar. Untuk jumlah suara yang dimiliki Kementerian Keuangan sendiri mencapai 211.730, dengan tagihan senilai Rp2,11 triliun.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun angkat bicara soal alasan kementeriannya yang menolak perjanjian damai. Menurutnya penolakan tersebut karena pemerintah masih menantikan adanya investor yang kredibel untuk bisa menyelamatkan Merpati dari ancaman pailit.

Seluruh kekayaan Indonesia, kata Sri Mulyadni, baik yang dimiliki negara maupun dalam bentuk tagihan sudah semestinya dapat dikelola dengan baik.

“Karena buat pemerintah kalau perusahaan itu bangkrut, maka kami juga cuma mendapatkan sisa-sisa dari tunjangan yang sudah disalurkan dan tidak bisa dikembalikan,” ujar Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Senin (12/11/2018).

Sri Mulyani menegaskan pemerintah akan mendukung revitalisasi bisnis apabila investornya benar-benar kredibel. Dia pun menekankan pentingnya investor yang memiliki rekam jejak baik, serta tidak hanya membawa nama, tapi juga bisa memberikan terobosan dari segi teknologi, keahlian, dan finansial.

“Sekarang ini persoalannya adalah tinggal membandingkan apabila perusahaan ini tetap bisa dihidupkan dan memiliki nilai ekonomi maupun kegiatan yang bisa menunjang pemulihan keuangannya,” jelasnya.

Sorotan pun lantas tertuju pada Kim Johanes Mulia dan PT Intra Asia Corpora. Berdasarkan data yang dihimpun Tirto, sosok Kim Johanes bukanlah pemain baru di sektor penerbangan. Sebelum akhirnya berniat menyuntikkan modal ke Merpati, Kim Johanes sempat memiliki maskapai penerbangan bernama Kartika Airlines.

Pada 2010, Kim Johanes mengumumkan Kartika Airlines berniat memborong 30 unit pesawat Sukhoi Superjet 100 senilai lebih kurang 900 juta dolar AS. Perjanjian jual beli pesawat itu telah ditandatangani dengan Sukhoi Civil Aircraft. Namun rupanya usia Kartika Airlines tidak lama. Setelah itu, baik kabar maskapai maupun kelanjutan dari pembelian Sukhoi Superjet 100 lantas tak terdengar lagi.

Rekam jejak bisnis Kim Johanes juga rupanya tidak berlangsung mulus. Pada tahun 1994, ia sempat terjerat skandal keuangan perusahaan tekstil Detta Marina. Perusahaan yang dipegangnya kala itu tercatat penuh utang karena secara jor-joran membeli mesin baru.

Lalu pada 1997, Kim Johanes dituding terlibat pada penerbitan surat utang untuk Bank Artha Prima senilai Rp1 triliun. Permasalahannya saat itu ialah surat-surat utang bukan hanya tidak memiliki jaminan, tapi juga baru dibukukan setelah jatuh tempo. Berselang dua tahun setelahnya, yakni pada tahun 1999, nama Kim Johanes kembali mencuat lantaran tersangkut korupsi hak tagih Bank Bali.

Baca juga artikel terkait MASKAPAI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Dieqy Hasbi Widhana