Menuju konten utama

Mereka yang Menyerah Saat Tentara Belanda Menyerbu Yogyakarta

Sejumlah perwira tentara dan polisi Indonesia ditawan saat Yogyakarta diserbu pada Agresi Militer Belanda II.

Mereka yang Menyerah Saat Tentara Belanda Menyerbu Yogyakarta
Ilustrasi Menyerahkan diri dan hidup dengan belanda. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pada 19 Desember 1948, ibu kota RI, Yogyakarta, diserbu tentara Belanda. Sementara tentara Republik nyaris tak ada perlawanan atas serangan kilat armada Letnan Jenderal Spoor itu. Mereka mayoritas angkat kaki, sementara sebagian lagi menyerahkan diri kepada tentara Belanda.

“Sampai 1 Januari 1949 sudah ada 169 orang opsir TNI yang melaporkan diri kepada pihak sana (Belanda) dan menyerahkan senjatanya,” tulis Abdul Haris Nasution dalam Seputar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10 (1977:73).

Mengutip dari Aneta--kantor berita yang banyak dikutip oleh koran-koran Belanda--Nasution menyebut sejumlah pejabat TNI yang melaporkan diri itu.

Dalam koran Het Dagblad (20/1/1949) disebutkan bahwa para perwira tinggi TNI yang melapor kepada tentara Belanda antara lain Jenderal Mayor Soetomo alias Bung Tomo dan Kolonel Soedibio. Sementara dalam edisi beberapa hari sebelumnya, Het Dagblad (6/1/1949) memberitakan penyerahan diri Kolonel Soewardi dan Letnan Kolonel Adolf Lembong.

Soetomo (1920-1981) alias Bung Tomo yang terkenal karena pidatonya yang berapi-api di radio sebelum Pertempuran 10 November 1945, pernah bertugas di markas besar TNI dan dalam usia sangat muda sudah menyandang pangkat jenderal mayor. Meski demikian, dia sebenarnya tak pernah mengikuti sekolah militer. Bung Tomo menjadi jenderal karena aktif dalam revolusi Indonesia.

Dua orang lainnya yang lebih senior dari Soetomo adalah lulusan sekolah militer era kolonial. Benyamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit. De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995) menyebutkan bahwa Kolonel Memet Rachman Ali Soewardi dan Kolonel Mas Mohammad Soedibio sama-sama pernah belajar di sekolah militer di Jatinegara sebagai bintara. Setelah itu, mereka melanjutkan ke Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda yang membuat mereka menyandang pangkat letnan dua KNIL.

Adolf Lembong juga bekas KNIL. Hanya saja dia desersi pada pertengahan 1947. Dalam arsip NEFIS Belanda disebutkan kegiatan gerilya Adolf Lembong (Letnan Satu LGAF USAFFE) pada Agustus 1943 hingga April 1945. Lembong bergerilya bersama orang-orang Filipina dan Amerika Serikat di Pulau Luzon, Filipina, dalam melawan tentara fasis Jepang.

Benny Matindas dalam buku Ventje Sumual: Menatap Hanya ke Depan (1998) menyebutkan saat tentara Belanda menyerbu Yogyakarta, Lembong sebetulnya ingin ikut bergerilya tetapi dilarang oleh Vintje Sumual. Alasannya adalah Lembong sudah punya anak satu yang masih kecil. Meninggalkan anak di dalam kota yang akan diduduki Belanda tentu sangat memberatkan hati.

Selain itu, Vintje Sumual juga khawatir dengan keselamatan Lembong. Tak semua orang di TNI menyukai Lembong dan tidak menutup kemungkinan dia bisa jadi bulan-bulanan dengan dalih Lembong mata-mata Belanda, karena dia belum lama ikut TNI setelah kabur dari KNIL.

Nama Lain yang Tak Ikut Gerilya

Mohammad Dahlan adalah seorang bekas Kapten TNI. Dia masuk lagi ke KNIL dan kembali dengan pangkat sersan mayornya. Dahlan mengaku ada perintah untuk bertindak luwes jika tentara Belanda menyerang Yogyakarta.

“Sesuatu jalan yang produktif untuk diri saya ialah bekerja di kalangan musuh karena saya seorang eks Sersan Mayor KNIL dengan maksud mengerjakan gerakan bawah tanah,” kata Dahlan dalam suratnya kepada Kepala Staf APRIS tanggal 7 Agustus 1950 (Koleksi ANRI: Republik Indonesia Serikat No. 129.

Menurut Dahlan, sebelum tentara Belanda menyerbu Yogyakarta, anggota Jawatan Perlengkapan Pusat di Tugu 99, Yogyakarta, dari Kementerian Pertahanan dikumpulkan dalam sebuah rapat. Dahlan hadir di situ. Mayor Sutrisno Sudomo, kepala jawatan, memberi arahan dalam rapat tersebut. Intinya mereka diperbolehkan untuk bekerja kepada instalasi militer musuh jika tentara Belanda menduduki Yogyakarta.

Mayor Sutrisno Sudomo berharap masuknya orang-orang Republik ke satuan Belanda bisa menjadi potensi alternatif bagi perjuangan Republik selanjutnya.

Infografik Menyerahkan diri dan hidup dengan belanda

Infografik Menyerahkan diri dan hidup dengan belanda. tirto.id/Fuad

Kisah lain adalah tentang Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Suryadi Suryadarma. Saat Belanda menyerbu Yogyakarta, ia salah satu yang ditawan. Angkatan Udara RI yang saat itu lemah, tidak bisa memberikan perlawanan.

Tidak hadirnya Suryadarma dalam perang gerilya melawan Belanda setelah 1948, membuat dirinya kurang dihormati karena dianggap menyerah. Sementara di Angkatan Darat, orang-orang yang ikut menyerahkan diri atau melaporkan diri kepada Belanda pada 1948, tidak mendapat posisi penting di matra tersebut.

Di kepolisian, terdapat polisi muda bernama Hoegeng Imam Santoso. Dia pun tidak ikut bergerilya setelah 19 Desember 1948. Waktu Belanda menyerang, Hoegeng terjebak di Gedung Kepatihan. Dia tidak ditangkap karena tentara Belanda segan kepada Sultan Hamengkubuwono IX.

“Kepala Kepolisian Negara RM Soekamto menugaskan saya dan beberapa rekan lainnya menyusun jaringan sel-sel subversi di dalam kota Yogya. Tugas dikoordinasikan di bawah pimpinan Soekarno Djojonegoro,” kata Hoegeng dalam autobiografinya, Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993:165).

Menurutnya, rincian tugasnya antara lain mengumpulkan informasi juga senjata, dan menarik simpati tentara Belanda. Dia tak selamanya bisa melaksanakan tugas itu, karena akhirnya Hoegeng juga ditangkap dan ditawan.

Hoegeng memang akhirnya jadi Kapolri, namun tak ikut bergerilya dan hidup di daerah pendudukan di Yogyakarta, membuat orang-orang yang tak suka kepadanya menjadikan hal tersebut sebagai senjata untuk merusak citranya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh