tirto.id - Majalah New Yorker sudah membuat laman muka khusus untuk edisi 17 November 2025 mendatang demi seorang pemuda berusia 34 tahun. Si pemuda diilustrasikan bergelayut di dalam gerbong sepur bawah tanah, di tengah kerumunan warga Kota New York. Di kerumunan itu, ada pria kulit hitam, anak muda pembaca buku, pemuda berambut mohawk, hingga lansia.
Ilustrasi bikinan seniman Edel Rodriguez itu menampilkan Zohran Mamdani, Wali Kota New York yang baru saja terpilih. Ilustrasi New Yorker itu memberi kesan bahwa Mamdani bukan seorang pejabat yang jauh, tapi salah satu warga kota yang juga bergumul dan berdesakan, setara, dan dapat disentuh siapa saja.
Selasa (4/11/2025) malam, Mamdani resmi terpilih sebagai Wali Kota ke-111 New York. Sejarah baru tercatat. Mamdani adalah Wali Kota New York termuda dalam lebih dari satu abad terakhir.
Tidak hanya itu, dia juga wali kota muslim pertama dan orang Asia Selatan pertama bagi New York. Selasa malam itu, bisa dibilang juga Mamdani adalah seorang sosialis demokrat terpopuler hari ini.
Kemenangannya yang fenomenal tidak hanya menjadi sejarah baru bagi New York, tetapi juga tanda bahwa seorang yang awalnya diremehkan dan berkali-kali kena serang kampanye hitam, mampu membuktikan diri keluar sebagai yang paling pantas di hati warga kota.
Mamdani mengalahkan Andrew Cuomo secara telak dalam dua laga pemilu: saat bersaing menjadi calon dari Partai Demokrat dan saat Cuomo maju sebagai calon independen di “pilkada” New York. Tak perlu disebut lagi, Mamdani juga berhasil menenggelamkan calon dari Partai Republik, Curtis Sliwa, dengan telak.
Hasil hitung cepat AP News per Kamis (6/11/2025) dengan total suara masuk mencapai 93 persen, Mamdani memimpin perolehan suara dengan raihan 50,4 persen suara. Meninggalkan jauh mantan Wali Kota New York, Cuomo, yang meraih 41,6 persen suara dan mengempaskan calon partai Republik, Sliwa, yang cuma meraup 7,1 persen suara.
“Mamdani menghabiskan sebagian besar masa kampanyenya dengan berkeliling kota—mengunjungi toko-toko kelontong, menumpang taksi, mengajukan pertanyaan, menari, serta tertawa,” ungkap seniman Rodriguez tentang sosok Mamdani.
“Dia menunjukkan kepada semua orang yang ditemuinya bahwa dirinya adalah salah satu dari mereka,” lanjut Rodriguez.
Menengok jejak Mamdani di tengah pertarungan politik Kota New York sejak akhir tahun lalu, tidak akan ada yang menyangka pria kelahiran Uganda ini bakal memenangkan suara para New Yorker. Awal tahun ini, elektabilitas Mamdani hanya di kisaran 1 persen dalam survei—demikian dikabarkan New York Times dalam sebuah artikel terbaru.
Cuma sedikit New Yorker yang mengenali nama Mamdani. Tim politik internal Mamdani juga hanya memperkirakan peluang menangnya tak lebih dari 3 persen. Namun, popularitas Mamdani melejit secara tiba-tiba dan tidak terhentikan oleh apa pun. Bahkan, oleh trik-trik kotor yang menyasarnya sepanjang masa kampanye.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, misalnya, berkali-kali menyebutnya sebagai “komunis”. Mamdani juga mendapat ancaman deportasi oleh suatu sirkel elite politik yang tak menyukai terobosan progresifnya. Serangan terhadap keyakinannya sebagai pemeluk Islam pun menyebar luas di media sosial. Sebagai pendukung kemerdekaan Palestina dan anti-Zionisme Israel, Mamdani juga dituding seorang antisemit.
Namun, Mamdani lanjut terus membawa sederet program kampanye yang beraroma kerakyatan dan misi keterjangkauan bagi warga. Programnya hendak menggratiskan sewa rumah, membangun perumahan, membangun toko kelontong kota, menggratiskan penitipan anak, memurahkan biaya transportasi umum, hingga berniat memajaki para orang kaya New York.
Namun, aspek yang paling memikat dari Mamdani adalah kehadirannya yang nyata di tengah warga kota. Dia tak memperlakukan warga sebagai sekadar lumbung suara, tapi juga menempatkan mereka sebagai instrumen politik kewargaan yang berpartisipasi dalam membangun kota.
“Terima kasih kepada mereka yang sering terlupakan oleh politik kota kita, yang telah menjadikan gerakan ini milik mereka. Saya berbicara tentang para pemilik toko kelontong Yaman dan nenek-nenek Meksiko. Sopir taksi Senegal dan perawat Uzbekistan. Juru masak Trinidad serta bibi-bibi Ethiopia,” ucap Mamdani di hadapan pendukungnya saat merayakan hasil perolehan suara di Brooklyn, New York, Selasa malam.
Kedekatan Emosional dengan Akar Rumput
Pengajar hubungan internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Ignasius Loyola Adhi Bhaskara, memandang salah satu faktor utama di balik kemenangan Zohran adalah kemahirannya mengombinasikan strategi kampanye unik di media sosial. Menurutnya, konten-konten kampanye medsos Mamdani berangkat dari suara akar rumput dan narasi progresif yang mencerminkan kekhawatiran nyata masyarakat muda dan pemilih pemula di New York.
Selain itu, dia membalutnya dengan pendekatan kampanye yang tak kalah kreatif.
“Kampanye kreatifnya beragam, dari diskusi di taman, acara komunitas, dan lainnya. Yang membuat Zohran mampu membangun kedekatan emosional dengan akar rumput sehingga mempermudah mengubah gerakan kampanye yang dibangun menjadi gerakan sosial,” kata Aska, sapaan akrabnya, kepada wartawan Tirto, Kamis (6/11/2025).
Selain itu, kata Aska, sosok Mamdani merepresentasikan imigran serta warna keberagaman New York yang inklusif. Ini membuatnya menjadi antitesis Donald Trump yang membingkai imigran sebagai ancaman bagi Amerika Serikat.
Menurut Aska, kemenangan Trump sebagai Presiden AS sedikit-banyak membuat pemilih dari Partai Demokrat terpaksa memilih kandidat terbaik dari yang terburuk. Namun, Zohran menjadi angin segar dalam situasi demikian. Meskipun, perlu juga menjadi catatan, dia belum sepenuhnya memenangkan dukungan dari pihak Demokrat.
“Terutama, politisi Demokrat yang masih didukung oleh kepentingan Israel di AS,” ucap Aska.
Mamdani memang menyentil Trump dalam pidato kemenangannya. Dia menegaskan bahwa New York akan selalu menjadi kota imigran dan saat ini dipimpin oleh seorang imigran. Hal ini seakan sebuah tantangan langsung kepada Trump yang belakangan rajin memburu para imigran lewat Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai AS (ICE).
“Presiden Trump, dengarkan saya saat mengatakan ini: Untuk menjangkau siapa pun dari kami, Anda harus melewati kami semua,” ucap Mamdani dalam pidatonya.
Sebagaimana ditulis Newsweek, Mamdani juga merangkul para podcaster dan influencer. Baru-baru ini, dia menyelenggarakan konferensi pers khusus dengan para pembuat konten yang menurut kampanyenya agar menjangkau audiens baru dan yang kurang terlibat dalam politik.
Jacob Neiheisel, seorang profesor madya di Departemen Ilmu Politik di Universitas Buffalo, mengatakan banyak kampanye mencoba melakukan cara itu, tetapi hanya beberapa yang berhasil. Kepada Newsweek, Neiheisel bahkan menilai cara kampanye Mamdani mirip-mirip dengan Trump.
"Ada sesuatu tentang Mamdani, sama seperti Trump, yang membuat upaya penjangkauan nontradisional lebih beresonansi dengan pemilih," ujarnya kepada Newsweek.
Kendati begitu, dalam tulisannya di harian Kompas, peneliti parpol dan pemilu dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menulis bahwa kunci utama kesuksesan Mamdani yang sesungguhnya boleh jadi adalah keberanian bersikap kokoh dalam membela rakyat.
Mamdani, tulis Firman, menunjukan bahwa menjadi politisi yang berhasil tak harus menjadi oportunis dan hipokrit. Tantangan yang besar tidak mesti memaksa seorang politisi dengan mudahnya berbelok, ikut arus dan merendam idealisme serta kebenaran yang diyakininya.
“Sikap kokoh seperti itu sesungguhnya hal yang sangat dinantikan oleh rakyat di manapun mereka berada. Dari sikap itulah dunia politik sesungguhnya akan tetap dihargai oleh rakyat karena akan tetap menerbitkan asa dan harapan bagi semua,” tulis Firman.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































