tirto.id - Keterkaitan antara proses menyusui dan kemampuan kognisi serta kecerdasan anak telah diteliti secara luas. Beberapa laporan penelitian juga menunjukkan hubungan antara menyusui dan kesehatan mental. Namun, belum banyak laporan mengenai kaitan antara pemberian ASI dalam jangka panjang terhadap perilaku anak. Penelitian mengenai pembentukan perilaku anak, masih banyak terkait dengan latar belakang pendidikan dari orangtua, kemampuan ekonomi, dan lingkungan hidup anak tersebut.
Menyusui & Pembentukan Otak
Golden age adalah fase 1000 hari pertama kehidupan seorang anak (usia 0- 5 tahun), yang menjadi masa yang sangat penting dan menentukan bagi masa depan anak. Menurut Sigmund Freud, awal perkembangan anak berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian, dan akan terus mempengaruhi perilaku di kemudian hari.
Asupan nutrisi dan proses pembelajaran pada akhirnya menjadi hal penting selama periode ini dan menentukan pembentukan otak anak. Namun, penelitian mengenai perkembangan otak anak, lebih banyak menginformasikan perkembangan otak dalam hal kecerdasan dan kemampuan kognitif. Masih jarang yang mempelajari kaitan proses menyusui dengan pembentukan otak anak.
Penelitian yang terdapat pada Jurnal medRxiv memberikan informasi terbaru terkait hal ini. Artikel yang berjudul “Breastfeeding duration is associated with larger cortical gray matter volumes in children from the ABCD study” (2022), menunjukkan bahwa menyusui merupakan faktor penting dalam pembentukan otak, terutama pada area pars orbitalis dan lateral orbitofrontal. Bagian otak ini dilaporkan terkait dengan pembentukan kepribadian impulsif dan kesehatan mental pada awal pubertas anak.
Penelitian ini adalah studi yang membahas efek menyusui dan pembentukan otak yang sangat spesifik. Sebelumnya, studi tentang topik ini lebih membahas otak secara global, misalnya total volume gray matter otak, atau justru hanya meneliti sebagian kecil dari wilayah otak, sehingga rentan menghasilkan hasil yang akurat. Grey matter adalah komponen utama dari sistem saraf pusat, yang berperan penting dalam memproses informasi ke otak. Meskipun peran pasti dari korteks orbitofrontal masih perlu diteliti lebih lanjut, temuan ini memperkirakan keterlibatan korteks orbitofrontal dalam pengambilan keputusan, pengaturan emosi, dan perilaku sosial.
Penelitian ini juga menunjukkan anak-anak yang disusui selama lebih dari 12 bulan memiliki kecenderungan gangguan psikotik 36% lebih sedikit, dan 44% lebih rendah, dibandingkan dengan mereka yang tidak disusui, atau hanya disusui kurang dari 1 bulan. Durasi menyusui memang bukan satu-satunya penentu apakah seseorang akan memiliki gangguan mental di masa depan, namun pengaruh proses menyusui pada pembentukan otak bagian pars orbitalis dan lateral orbitofrontal tentu tidak dapat dikesampingkan, terutama bagi orang tua yang memiliki riwayat kesehatan mental.
Penelitian Lainnya
Selama masa perkembangan dan pertumbuhannya, anak mempelajari perilaku – baik yang patut ditiru maupun tidak - dari orang-orang di sekitarnya. Perilaku yang mengganggu pada anak meliputi gejala emosional (ketergantungan, kecemasan), hiperaktif (kegelisahan), atau masalah perilaku (berbohong, mencuri). Perilaku ini dapat terjadi berulang kali selama periode waktu tertentu, dan memiliki dampak negatif pada perkembangan anak serta mengganggu kehidupan sehari-hari anak atau keluarga.
Artikel “Breast feeding and child behaviour in the Millennium Cohort Study” (2011) pada Jurnal Archive of Disease in Childhood, menemukan bahwa anak yang lahir cukup bulan dan disusui selama 4 bulan atau lebih, memiliki kemungkinan masalah perilaku yang lebih rendah, terlepas dari faktor sosial ekonomi, kesehatan mental ibu, serta keterikatan ibu dan bayi.
Penelitian ini juga menemukan hubungan antara proses menyusui dengan perilaku anak terkait banyaknya kandungan asam lemak esensial dan hormon pada ASI. Sampai lebih dari satu dekade yang lalu, susu formula masih belum dilengkapi dengan kandungan asam lemak esensial. Perilaku anak yang diberi susu formula saat itu, dilaporkan menunjukkan perkembangan neurologis yang lebih rendah dibandingkan anak yang diberi ASI. Fakta ini mengukuhkan bahwa kandungan ASI memiliki lebih banyak nutrisi daripada susu formula yang diproduksi di periode tersebut.
Proses menyusui dikatakan memungkinkan interaksi serta komunikasi yang lebih baik antara ibu dan anak, sehingga meningkatkan pembelajaran dan pengembangan perilaku pada anak. Temuan lainnya adalah kecurigaan bahwa pemberian susu formula saat bayi rawat inap di rumah sakit setelah lahir dan terpisah dari ibu, menyebabkan infeksi yang dapat memicu masalah perilaku anak.
Penelitian mengenai menyusui dan pengaruhnya pada perilaku anak juga dilakukan di Australia oleh Oddy W.H. yang mengamati bahwa menyusui selama enam bulan atau lebih memiliki pengaruh pada masalah internalisasi dan eksternalisasi psikologis yang lebih rendah pada anak-anak dan remaja. Sebaliknya, Kramer M.S et al. dalam uji klinis acak yang dilakukan di Republik Belarus, Eropa Timur, justru tidak menemukan hubungan antara durasi menyusui dan perilaku anak.
Penelitian mengenai keterkaitan antara durasi menyusui dan perilaku anak sampai saat ini masih terus dilakukan untuk mengungkap fakta terbaru terkait tumbuh kembang anak.
Rujukan Baru Akademi Pediatri Amerika
Setelah lebih dari 10 tahun, Akademi Pediatri Amerika atau American Academy of Pediatrics (AAP), mengeluarkan rujukan baru terkait pemberian ASI pada akhir Juni 2022 lalu. AAP yang sebelumnya merujuk pemberian ASI minimal 6 bulan pertama kehidupan, dilanjutkan memberikan ASI selama setahun dengan MPASI (Makanan Pendamping ASI), kini menyarankan untuk memberikan ASI minimal 6 bulan pertama, dilanjutkan dengan pemberian ASI sampai usia anak 2 tahun atau lebih (dengan pemberian MPASI).
Peneliti AAP menyatakan, bahwa sampai tahun kedua kehidupan bayi, hasil penelitian menunjukkan bahwa ASI terus menjadi sumber utama makronutrien dan faktor imunologis, membantu perkembangan kekebalan balita. Penelitian AAP juga memperkuat fakta mengenai keterkaitan antara proses menyusui dan penurunan angka infeksi saluran pernapasan bawah, obesitas, diare, infeksi telinga, dan penurunan risiko sindrom kematian bayi mendadak. Menyusui lebih dari satu hingga dua tahun terkait dengan menurunnya risiko tekanan darah tinggi, diabetes, kanker payudara dan ovarium pada ibu.
Laman Healthline juga menyebutkan bahwa ibu yang menyusui, akan mengalami penurunan berat badan lebih cepat daripada ibu yang tidak menyusui. Setelah melahirkan, menurut laman tersebut, rahim mengalami proses yang disebut involusi, yang membantu rahim kembali ke ukuran sebelumnya. Oksitosin, hormon yang meningkat selama kehamilan, membantu membantu terjadinya proses ini. Selain itu, ibu menyusui juga akan mengalami penundaan menstruasi setelah melahirkan dibandingkan ibu yang tidak menyusui. Hal ini akan menguntungkan, bagi ibu yang ingin menunda kehamilan selanjutnya secara alami tanpa bantuan alat kontrasepsi.
Perkembangan studi untuk mengulik manfaat menyusui bagi ibu dan anak masih terus dilakukan, namun keputusan menyusui mutlak menjadi pilihan seorang ibu. Kondisi ketersediaan ASI dan juga kondisi kesehatan yang berbeda pada setiap ibu, biasanya juga menjadi pertimbangan keputusan yang diambil. Yang penting, setiap ibu perlu memahami kondisi dan kesiapan tubuhnya untuk mengambil keputusan terbaik bagi anak maupun ibu sendiri.
Penulis: Ima purbasari
Editor: Lilin Rosa Santi