Menuju konten utama
Kekerasan Seksual Anak

Menyoal Penghentian Kasus Dugaan Bapak Perkosa Anak di Luwu Timur

Fachrizal menilai jika polisi mau komprehensif mengusut kasus ini, maka perkara harus ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Menyoal Penghentian Kasus Dugaan Bapak Perkosa Anak di Luwu Timur
Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Usai gelar perkara, Polda Sulawesi Selatan menyetop pengusutan perkara dugaan ayah memperkosa anak kandung di Luwu Timur. Alasannya karena tidak cukup bukti untuk dinaikkan ke tahap penyidikan, kata Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol Komang Suartana saat dikonfirmasi Tirto, Senin (23/5/2022).

“Karena hasil pemeriksaan dari forensik, psikolog, dan apsifor, tidak ditemukan adanya tanda-tanda pencabulan,” kata Komang. Ia sebut gelar perkara ini pun diikuti oleh KPPPA, LPSK, Kompolnas, Bareskrim, dan staf kepresidenan.

Kasus ini ramai diperbincangkan publik. SU mengadukan RS kepada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan pada 16 Oktober 2021 atas dugaan pencemaran nama baik. Hal tersebut merupakan buntut dari penayangan artikel Project Multatuliberjudul ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’, yang terbit 10 hari sebelumnya.

RS -dalam artikel tersebut ditulis ‘Lydia’, nama samaran-, merupakan bekas istri SU sekaligus ibu dari tiga anak yang diduga diperkosa oleh SU, kini ia menjadi terlapor perkara. SU membenarkan pengaduan tersebut. "Itu tanda tangan saya," ujar SU ketika dikonfirmasi Tirto, Minggu, 17 Oktober 2021. Pada bagian kiri bawah Surat Tanda Penerimaan Pengaduan memang terdapat 'Tanda Tangan Pengadu' yang dibubuhkan nama terang SU, lengkap dengan gelar Sarjana Teknik.

Ia mengadukan RS karena perempuan itu diduga mencemarkan nama baiknya melalui internet dan transaksi elektronik. SU mendapatkan tautan itu dari pesan singkat di WhatsApp dari rekannya yang bernama Firawati. "Kemudian saya membaca berita tersebut, yang isi beritanya adalah menuduh saya selaku mantan suami RS selaku terduga pelaku pemerkosaan terhadap ketiga anak saya," begitu bunyi alasan pelaporan dalam surat tersebut.

Di kalimat akhir surat, SU berharap kepolisian menindaklanjuti pengaduannya. Agus Melas, kuasa hukum SU, mengatakan RS pernah melaporkan suaminya dengan dugaan pencabulan, tapi polisi menghentikan kasus itu karena tidak cukup dua alat bukti.

“Tiba-tiba saja viral. Viralnya diawali dengan narasi dari Project Multatuli. Kalau kami membaca narasi itu seolah menjadi pemantik warganet untuk menanggapi,” ujar Agus ketika dihubungi Tirto, Senin, 18 Oktober 2021.

Bukan Kali Pertama Polisi Hentikan Pengusutan Perkara

Penghentian perkara kasus ini bukan yang pertama kali. Polres Luwu Timur menerima pengaduan dugaan pemerkosaan anak pada 9 Oktober 2019. Kemudian polisi mengantar ketiga korban untuk dilakukan visum. Ibu korban dan petugas P2TP2A Kabupaten Luwu Timur turut serta mengantar mereka.

Hasil pemeriksaan atau visum ketiga anak tersebut tidak ada kelainan dan tidak tampak adanya tanda-tanda kekerasan. Sementara laporan hasil asesmen P2TP2A Kabupaten Luwu Timur menyebutkan tidak ada indikasi trauma ketiga korban terhadap si ayah.

Hasil asesmen lainnya yakni hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis, dalam pemahaman keagamaan sangat baik termasuk untuk fisik dan mental dalam keadaan sehat. Untuk hasil visum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulawesi Selatan pun tidak ditemukan kelainan terhadap ketiga anak tersebut.

Usai melakukan rangkaian prosedur, Polres Luwu Timur pun melakukan gelar perkara pada 5 Desember 2019. Polisi menghentikan penyelidikan kasus. "Tidak ditemukan bukti yang cukup sebagaimana yang dilaporkan," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono, 8 Oktober 2021.

Selanjutnya, Polda Sulawesi Selatan pada 6 Oktober 2020, juga telah melakukan gelar perkara khusus dengan kesimpulan menghentikan proses penyelidikan.

Kompolnas, sebagai salah satu instansi yang ikut dalam gelar perkara pada 20 Mei 2022, merespons hal ini.

“Kompolnas atensi penuh kasus ini karena viral tagar #percumalaporpolisi. Kompolnas juga sudah melakukan klarifikasi ke Polda Sulawesi Selatan dan mendapatkan hasil klarifikasi bahwa penanganan kasus sudah sesuai prosedur dan hasil gelar perkara 2019 dinyatakan tidak ditemukan bukti pidananya,” ujar Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti kepada Tirto, Senin, 23 Mei 2022.

Karena kasus yang sudah ditutup ini viral pada Oktober 2021, maka pada saat itu Kompolnas memberikan rekomendasi agar Propam dan Wassidik memeriksa para penyidik untuk mencari tahu apakah terdapat pelanggaran dan kesalahan prosedur. Poengky melanjutkan, pihaknya juga merekomendasikan kepada Bareskrim Polri untuk memberikan asistensi kepada Polres Luwu Timur, serta menyampaikan kepada publik bahwa pelapor dan kuasa hukumnya dapat menguji melalui pra peradilan.

Kemudian Bareskrim melakukan asistensi kepada penyidik Polda Luwu Timur dan Propam serta Wassidik juga sudah memeriksa para penyidik. Atas asistensi Bareskrim, kemudian kasus dibuka kembali dengan membuat laporan polisi model A (artinya pelapornya polisi sendiri). Setelah kasus dibuka kembali dengan asistensi Bareskrim, Kompolnas tetap mengawasi penanganan kasus tersebut.

Saat gelar perkara, Kompolnas dan beberapa institusi seperti Kemen PPPA, KSP, dan LPSK hadir dalam acara gelar perkara. “Melihat keseluruhan proses, Kompolnas melihat bahwa penyidik Polres Luwu Timur dengan disupervisi Bareskrim Polri dan Polda Sulawesi Selatan sudah profesional dalam menangani kasus ini. Kami melihat penyidik telah komprehensif memeriksa saksi-saksi, mengumpulkan bukti-bukti, memeriksa pelapor dan terlapor,” terang Poengky.

Penyidik juga mendapatkan keterangan ahli dari Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) dan Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI). Keterangan korban dugaan kekerasan seksual perlu didukung bukti lain, antara lain adanya visum et repertum dan visum et psikiatrikum, serta keterangan ahli kedokteran forensik.

Dalam kasus Luwu Timur ini, penyidik telah dua kali melaksanakan visum et repertum untuk kepentingan pro justitia pada tiga anak korban, namun kedua hasil visum menyatakan tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual kepada ketiganya.

Demikian pula dengan pemeriksaan psikologi dan pemeriksaan visum et psikiatrikum, ketiga anak korban dalam kondisi normal. Keterangan saksi korban tidak serta-merta dapat dianggap sebagai kebenaran, melainkan harus dicocokkan dulu dengan bukti visum dan alat bukti lain. Jika dikaitkan dengan hasil visum yang menunjukkan tidak ada tanda kekerasan seksual serta hasil visum psikiatrikum normal, serta didukung alat bukti lainnya, maka dalam gelar perkara diputuskan bahwa tidak ditemukan adanya tindak pidana, sehingga penyelidikan tidak dapat ditingkatkan ke penyidikan dan harus dihentikan untuk keadilan dan kepastian hukum.

“Kompolnas melihat bahwa penyelidikan sudah berperspektif korban. Buktinya adalah tindakan sigap dan profesional penyidik dalam menangani kasus ini, termasuk segera menindaklanjuti laporan ibu korban dengan melakukan visum et repertum dan visum et psikiatrikum yang bersifat pro justitia. Hasil gelar perkara juga memberikan rekomendasi yang melindungi korban, yaitu perlunya melaksanakan rekomendasi ahli dalam rangka perlindungan dan pemulihan difasilitasi oleh LPSK,” ucap Poengky.

Respons Dua Kubu

Agus Melas, kuasa hukum SU, mengapresiasi penyetopan kasus dugaan pemerkosaan ini. "Salut terhadap tindakan Polda karena telah menghentikan perkara laporan R terhadap klien saya. Karena intinya tidak bisa dibuktikan. Beberapa kali visum, tetap seperti itu (hasilnya)," kata dia Ketika dikonfirmasi Tirto, Senin, 23 Mei 2022.

Sementara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyesalkan keputusan polisi yang menyetop penyelidikan dengan alasan tidak ditemukan peristiwa pidana.

“Tim kuasa hukum korban menyesalkan penghentian penyelidikan sebab menyampingkan keterangan para anak korban yang secara konsisten sejak 2019, serta saling bersaksi satu sama lain terkait peristiwa kekerasan seksual yang dialami,” ujar Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir, dalam keterangan tertulis, Senin (23/5/2022).

Dalam penanganan kasus anak korban kekerasan, pemeriksaan semestinya bermulai dari keterangan anak sebagai pihak yang mengalami peristiwa. Maka keterangan anak semestinya didudukkan sebagai bukti yang paling utama. Kemudian, dalam proses penyelidikan akses informasi penanganan perkara yang minim berdampak pada ketiadaan ruang bagi pihak korban untuk terlibat dan memantau proses. Terjadi pembiaran laporan/penanganan yang berlarut-larut oleh kepolisian hingga sampai pada gelar perkara.

Di samping pemberitahuan gelar perkara yang tiba-tiba, sambung Haedir, dalam prosesnya penyidik juga tidak membuka dan menjelaskan tiap bukti yang diperoleh dari penyelidikan sehingga pihak-pihak yang hadir tidak dapat secara utuh memberikan masukan terhadap hasil penyelidikan. Catatan-catatan tersebut menunjukkan penanganan perkara oleh Kepolisian masih menyampingkan kepentingan pihak korban.

Tim kuasa hukum menilai bukti permulaan terpenuhi untuk menyatakan ditemukannya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pencabulan dan/atau persetubuhan pada anak dan berpendapat Polri terburu-buru menghentikan penyelidikan tanpa mendalami bukti-bukti yang diperoleh dan memaksimalkan upaya di tingkat penyidikan, termasuk melibatkan ahli yang dapat membantu membuat terang perkara.

“Sebagai tahap awal dari serangkaian proses dalam sistem peradilan pidana, tidak ditemukannya peristiwa yang diduga tindak pidana dalam penyelidikan menurut penyidik, tidak berarti tindak pidana tidak terjadi atau secara hukum tidak terbukti. Kesimpulan penghentian penyelidikan tidak memberikan kepastian hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas seseorang yang melakukan perbuatan pidana,” jelas Haedir.

Sejak Awal Dinilai Janggal

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Arfandi berpendapat, polisi melakukan penyelidikan dengan cara memanggil para saksi cum mendatangkan ahli. "Sejak awal ini janggal, kenapa tidak melakukan penyidikan? Ketika sudah memeriksa banyak saksi, itu sebenarnya sudah masuk proses penyidikan," ujar dia kepada reporter Tirto, Senin (23/5/2022).

Kepolisian 'lebih suka' menyelesaikannya dengan menyertakan para ahli yang di luar sistem peradilan pidana dan tidak diatur dalam KUHAP, kata dia. Ketika polisi memeriksa untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana dan menentukan tersangka, kemudian kekurangan bukti dan polisi hanya mempunyai hasil visum, maka visum tersebut pun dipertanyakan.

"Visum ini visum tahun 2019 atau terbaru? Kalau visum baru, kejadian lama, pasti visum tidak relevan. Karena proses hanya penyelidikan, akses terhadap proses penyelidikan juga tidak dijamin. Seharusnya sejak awal ini disidik," jelas Fachrizal.

Kalau tidak cukup bukti, maka bisa diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), kata Fachrizal.

“Tapi kalau penyelidikan, ditutup seratus kali pun tidak masalah. Perolehan bukti, dalam proses penyelidikan, polisi tak bisa lakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, itu tidak bisa," terang Fachrizal. "Lalu bagaimana bukti-bukti bisa kuat kalau hanya prosesi penyelidikan? Ini hanya berdasar keterangan ahli, harusnya saksi diperiksa, ahli forensik, surat dan sebagainya."

Jika polisi mau komprehensif, maka perkara harus ditingkatkan ke tahap penyidikan. Sedangkan penyelidikan hanya mengumpulkan bukti-bukti untuk membuktikan ada atau tidak suatu tindak pidana.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL ANAK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz