Menuju konten utama

Starlink Bukan Jualan Kecepatan, tapi Jangkauan & Latensi Rendah

Dengan teknologi satelitnya, Starlink unggul dalam layanan internet latensi rendah yang menjangkau daerah terpencil.

Starlink Bukan Jualan Kecepatan, tapi Jangkauan & Latensi Rendah
Konsep konektivitas global dengan jalur koneksi jaringan komunikasi di seluruh dunia di sekitar planet Bumi dilihat dari luar angkasa. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Satu lagi pemain baru di bisnis internet service provider (ISP—penyedia jasa internet) bakal hadir di Indonesia. Namun, ia bukanlah sembarang “pemain”. Ia adalah Starlink.

Perusahaan penyedia jasa internet berbasis satelit milik Elon Musk tersebut baru saja mengantongi Surat Keterangan Laik Operasi (SKLO) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan sudah siap menawarkan layanannya pada masyarakat Indonesia.

Tirto sebelumnya telah melaporkan bahwa Starlink pada awal April lalu telah mendapatkan izin prinsip sebagai penyelenggara jaringan tetap tertutup berbasis satelit (VSAT). Tak menunggu lama, Starlink lantas menjalin kerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 22 April 2024.

Selanjutnya, Starlink pun telah menyelenggarakan uji coba layanan di Karawang, Jawa Barat.

Meski demikian, Starlink belum akan segera tersedia di seluruh wilayah Indonesia. Di awal, internet satelit dari Starlink baru mencakup Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali. Harganya pun bisa dibilang cukup mahal untuk penggunaan pribadi atau rumahan. Pengguna harus merogoh kocek Rp7,8 juta untuk membeli perangkat keras Starlink dan membayar Rp750 ribu per bulan untuk paket "standar" unlimited-nya.

Rentang kecepatan 25-220 Mbps diprediksi jadi standar layanan Starlink di Indonesia. Itu tidak bisa dibilang impresif karena rata-rata kecepatan internet broadband Indonesia saat ini sudah berada di angka 27,87 Mbps. Bahkan, Kemkominfo sudah mengisyaratkan bahwa kecepatan internet di Tanah Air setidaknya harus menyentuh angka 100 Mbps—persis rata-rata kecepatan layanan Starlink di Amerika Serikat.

Bukan Jualan Kecepatan

Namun, kecepatan memang bukan unggulan utama yang ditawarkan Starlink. Menurut pemaparan CNET, kecepatan internet yang ditawarkan Starlink memang tidak secepat layanan seluler via kabel atau fiber optik.

Sebagai perbandingan, dilansir USA Today, kecepatan internet fiber optik di Amerika Serikat saat ini paling rendah ada di angka 100 Mbps dan paling tinggi bisa mencapai 8.000 Mbps. Jadi, kecepatan internet yang ditawarkan Starlink sebenarnya standar saja.

Jualan utama Starlink sedari awal sebenarnya adalah jangkauannya ke wilayah-wilayah terpencil. Inilah yang bakal sulit disaingi oleh ISP berbasis fiber optik dan kabel. Hanya itukah?

ISP berbasis satelit tentu saja bukan hanya Starlink. Di Amerika Serikat, medan tempur bisnis internet satelit telah diisi perusahaan besar, di antaranya HughesNet, Viasat, OneWeb, dan bahkan Amazon. Untuk merebut ceruk pasar, anak usaha SpaceX itu tentu saja butuh lebih dari “sekadar” modal jumbo.

Lantas, apa senjata utama Starlink untuk melampaui para pesaingnya itu? Senjata pamungkas itu adalah satelit yang ditempatkan di orbit rendah Bumi (low Earth orbit atau LEO).

Berkat satelit LEO, meski kecepatan internetnya tak kencang-kencang amat, Starlink mampu menyediakan stabilitas koneksi dan latensi yang rendah. Itulah yang membuatnya lebih perkasa ketimbang para pesaingnya.

ISP lain umumnya masih bergantung pada satelit geostasioner raksasa yang letaknya puluhan ribu kilometer di atas permukaan bumi. Padahal, semakin jauh jaraknya dari Bumi, waktu yang dibutuhkan untuk mentransfer data (latensi) pun menjadi lebih lama.

Starlink, sementara itu, beroperasi dengan teknologi yang sebaliknya. Ia menggunakan konstelasi ribuan satelit (saat ini ada sekitar 3 ribuan) yang ukurannya lebih kecil dan diorbitkan pada jarak 550 km dari permukaan bumi. Itulah kunci Starlink untuk menjamin latensi rendah.

Seturut klaim perusahaan, latensinya hanya sekitar 25 milidetik—jauh lebih rendah ketimbang rata-rata pengguna satelit geostasioner yang latensinya berada dikisaran 600 milidetik.

Selain itu, setiap satelit Starlink juga dilengkapi laser untuk mengirimkan sinyal antarsatelit. Teknologi ini membuat Starlink tak terlampau bergantung pada keberadaan stasiun penerima di permukaan Bumi. Ia bisa langsung mengirimkan sinyal ke perangkat milik pengguna asalkan perangkat tersebut menghadap ke langit terbuka.

Untuk saat ini, layanan Starlink sudah cukup kapabel untuk menjangkau daerah-daerah terpencil yang sukar dijangkau infrastruktur internet berbasis fiber optik. Namun, dengan teknologi semumpuni itu pun, Starlink belum bisa menjangkau seluruh wilayah terpencil di Bumi.

Starlink masih membutuhkan lebih banyak satelit lagi untuk menjangkau wilayah seluas itu. Dalam waktu dekat, dikabarkan oleh Tech Target, Starlink berencana mengorbitkan 40.000 satelit lagi. Tentu saja, satelit-satelit itu akan diterbangkan dengan roket SpaceX Falcon 9. Sebagai gambaran, satu roket SpaceX Falcon 9 bisa membawa 60 satelit.

Artinya, jalan Starlink untuk bisa menguasai pasar internet satelit global masihlah sangat panjang. Namun, menilik pencapaiannya pada akhir 2023—saat ia membukukan sekira 40 persen dari total pendapatan SpaceX, Starlink boleh jadi akan lebih menggencarkan pertumbuhan bisnisnya.

Starlink punya fondasi teknologi yang amat cukup untuk mengejar target itu. Teknologinya terbukti mumpuni dalam menjaga konektivitas di area-area terdampak perang atau bencana. Misalnya, Starlink sukses unjuk gigi di masa Invasi Rusia ke Ukraina.

Di masa-masa genting itu, baik militer maupun sipil sama-sama menggunakan layanan Starlink untuk menjalin komunikasi dengan dunia luar. Beberapa waktu lalu, Elon Musk juga sempat berencana untuk memberikan layanan Starlink ke wilayah Gaza yang dibombardir Israel. Namun, rencana ini urung terlaksana.

Internet untuk Daerah 3T

Dalam konteks Indonesia, APJII mengarahkan agar Starlink menyediakan layanan internet bagi daerah 3T (terdepan, tertinggal, terluar). Ini tentunya langkah yang sangat baik karena pada dasarnya di wilayah-wilayah seperti itulah Starlink unggul dari para kompetitornya.

Instalasi Starlink pun terbilang mudah. Tiap pelanggan akan menerima paket perangkat koneksi yang terdiri dari antena parabola, dudukan antena, router wi-fi, dan kabel penghubung. Nantinya, pelanggan juga bisa mengunduh aplikasi Starlink untuk mencari tempat terbaik untuk memasang parabola penerima sinyal tersebut. Setelah perangkat tersebut selesai dipasang, pelanggan akan langsung terkoneksi dengan internet.

Perangkat Starlink juga disebut-sebut tidak akan (terlalu) terpengaruh oleh cuaca. Hujan ringan, misalnya, tidak akan begitu memengaruhi kualitas layanan Starlink. Akan tetapi, di situasi hujan lebat dengan awan tebal menggumpal di angkasa, sinyal Starlink akan mengalami gangguan. Di Indonesia, barangkali, ini bakal jadi persoalan utama yang dihadapi oleh para pengguna Starlink.

Secara umum, Indonesia memang membutuhkan layanan seperti Starlink karena masih banyak wilayah 3T yang belum terjangkau internet. Bahkan, di Pulau Jawa sekalipun, masih ada sejumlah blank spot.

Dengan dukungan Starlink, pelanggan nantinya bakal merasakan koneksi internet dengan kecepatan yang kurang lebih sama dengan kecepatan internet rata-rata saat ini. Tak menutup kemungkinan pula, potensi kecepatannya bakal semakin meningkat nantinya.

Kelemahan Starlink dalam konteks Indonesia saat ini adalah harga perangkat maupun layanan internetnya yang terbilang mahal untuk penggunaan personal. Dan seperti yang diwartakan Tirto sebelumnya, ada potensi predatory pricing yang harus diatasi sejak awal.

Pada akhirnya, Starlink saat ini memang masih jauh dari sempurna. Akan tetapi, mereka mampu mengisi kekosongan yang sejauh ini belum bisa diatasi oleh ISP lain yang berbasis seluler.

Pemerintah Indonesia melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo, seperti diberitakan Detik, sebenarnya telah mengoperasikan SATRIA-1 sejak Januari 2024 lalu untuk menyediakan internet bagi wilayah 3T. Namun, kecepatan internet satelit Indonesia itu masih di kisaran 10 Mbps. Menilik hal itu, kehadiran Starlink seharusnya bisa mendorong peningkatan.

Baca juga artikel terkait PENYEDIA JASA INTERNET atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Byte
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi