tirto.id - DPR menargetkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran rampung tahun ini. Draft RUU Penyiaran 2024 sendiri merupakan revisi dari Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.
Sayangnya, RUU Penyiaran 2024 masih dihadang kontroversi karena beberapa pasalnya dinilai mengancam kebebasan pers. Lantas, apa saja isi draft RUU Penyiaran 2024 dan pasal apa saja yang kontroversi?
RUU Penyiaran 2024 saat ini masih dalam proses pembahasan di parlemen. Pembahasan terakhir RUU Penyiaran berlangsung pada Maret 2024 dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI.
Belakangan, RUU Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan bahwa RUU Penyiaran seharusnya sudah disahkan saat masa sidang paripurna DPR April 2024.
"Karena ada kendala, jadi belum bisa disahkan dalam paripurna," katanya seperti yang dikutip dari RRI.
Hal itu memicu gelombang protes dari kalangan pers dan jurnalis. RUU tersebut masih memuat pasal-pasal yang melarang produk jurnalisme dan tumpang tindih dengan UU Pers.
Isi Draft RUU Penyiaran 2024
Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran Komisi I DPR Nurul Arifin menyebut bahwa isi draft RUU Penyiaran 2024 adalah revisi dari UU Nomor 32 Tahun 2002.
Ia menyebut bahwa UU tersebut perlu menjalani revisi karena mengikuti perkembangan teknologi. Isi draft RUU Penyiaran 2024 dirancang agar memuat regulasi penyiaran digital, khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC).
"Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini," katanya seperti yang dikutip dari Antara.
Draft RUU Penyiaran 2024 juga memuat adanya penyatuan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dan TVRI. Hal ini tercantum dalam Pasa 15A (1) yang menyebut soal peleburan RRI dan TVRI menjadi Radio Televisi Republik Indonesia.
Selain memuat penggabungan LPP, Draft RUU penyiaran juga mengubah beberapa pasal terkait konten penyiaran media. Beberapa di antara pasal tersebut dinilai membatasi produk jurnalisme yang diatur dalam UU Pers.
Produk jurnalisme yang dibatasi dalam RUU ini adalah investigasi. Merujuk Pasal 50 B ayat 2 huruf (c), RUU Penyiaran 2024 melarang media menayangkan siaran ekslusif jurnalistik investigasi.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nani Afrida, menilai bahwa investigasi tidak seharusnya dilarang karena merupakan kasta tertinggi produk jurnalistik.
“Pembungkaman pers. Itu sudah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi [yaitu] investigasi dilarang,” kata Nani kepada Tirto, Senin (13/5/2024).
Tak hanya itu, DPR juga menyisipkan Pasal 42 ayat 2 yang mengatur soal penyelesaian sengketa pers di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini tumpang tindih dengan UU Pers 40 Tahun 1999 yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.
Isi lebih detail RUU Penyiaran 2024 dapat dicek melalui link berikut:
Draf RUU Penyiaran 2024 revisi UU No. 32 Tahun 2002 PDF
Arifin menyebut bahwa draf RUU Penyiaran tersebut belum final dan masih dalam proses pembahasan. Ia mengklaim bahwa isi RUU Penyiaran masih mungkin berubah.
"RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," katanya.
Pasal RUU Penyiaran 2024 yang Kontroversial
Selain Pasal 25 ayat 1 dan Pasal 50 B ayat 2 huruf (c), masih ada beberapa pasal dalam RUU Penyiaran 2024 yang disorot karena dinilai bermasalah. Berikut daftar pasal RUU 2024 yang kontroversial:
1. Pasal 42 ayat 2
Pasal 42 ayat 2 menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Pasal ini tumpang tindih dengan UU Pers 40 Tahun 1999 yang menyebut bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers.
Berikut bunyi pasal 42 ayat 2:
"Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
2. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c)
Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) memuat aturan melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c):
"Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;"
3. Pasal 50B ayat 2 huruf (k)
Pasal 50B ayat 2 huruf (k) mengatur soal larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Seperti di UU ITE, pasal yang memuat istilah pencemaran nama baik dianggap sebagai "pasal karet" dan membatasi kebebasan pers.
Berikut bunyi Pasal 50B ayat 2 huruf (k):
"Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme."
4. Pasal 51 huruf E
Pasal 51 huruf E juga kontroversial lantaran RUU Penyiaran 2024 mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan. Pasal ini juga tumpang tindih dengan UU Pers 1999.
Berikut bunyi pasal Pasal 51 huruf E:
"Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya