Menuju konten utama

TB Hasanuddin: Larangan Jurnalis Investigasi Berangus Demokrasi

Anggota Komisi I DPR, T.B. Hasanuddin, mengatakan bahwa larangan jurnalisme investigasi bisa menggerus demokrasi.

TB Hasanuddin: Larangan Jurnalis Investigasi Berangus Demokrasi
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin saat diwawancara awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024). tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Polemik RUU Penyiaran, utamanya Pasal 50B ayat 2 butir c yang mengatur larangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi, menuai protes dari kalangan pers dan pegiat jurnalisme. Beleid itu pun dikhawatirkan bakal memberangus kebebasan pers.

Terkait polemik tersebut, anggota Komisi I DPR, T.B. Hasanuddin, mengatakan bahwa larangan itu juga bisa menggerus demokrasi. Apalagi pers merupakan pilar keempat demokrasi.

"Kita berbicara dalam hal investigasi ya. Karena investigasi jurnalis itu, kan, kalau dilarang, sama dengan berangus demokrasi," kata Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Akan tetapi, menurut politikus PDIP itu, pers yang bebas tetap perlu menerapkan kehati-hatian karena produk yang dihasilkan untuk kepentingan rakyat.

"Saya kira ada benarnya juga sih. Tapi, tentu dalam kebebasan itu kita juga ada kehati-hatian untuk kepentingan masyarakat," tutur Hasanuddin.

Hasanuddin juga mengomentari ihwal tumpang tindih aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Poin tersebut juga menjadi sorotan masyarakat sipil, khususnya dari insan pers.

Menurut Hasanuddin, KPI mestinya khusus untuk sengketa penyiaran, sedangkan produk tulisan yang bermasalah diselesaikan di Dewan Pers.

Sengketa jurnalistik penyiaran itu diatur dalam Pasal 42 Ayat 2. Draf beleid itu memberi wewenang KPI sesuai aturan undang-undang. Ada pula Pasal 51 huruf E yang mengatur bahwa sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan.

"Begini, kita punya banyak pengalaman antara KPI dan Dewan Pers. Kalau KPI, itu khusus untuk penyiaran. Tapi kalau produk jurnalistik yang umumnya, tulisan dan lain sebagainya, itu ke Dewan Pers. Saya kira dikoordinasikan saja arah tugas KPI dan tugas Dewan Pers," kata Hasanuddin.

Pelarangan konten eksklusif jurnalisme investigasi dibatasi karena dianggap dapat menggangu penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Ade Wahyudin, memandang alasan DPR itu sebagai hal yang lucu. Pasalnya, jurnalis dan aparat penegak hukum memiliki mandat dan fungsi masing-masing dan tidak saling berbenturan.

Secara mandat, berbeda. Polisi [diatur] berdasarkan UU Kepolisian dan pers berdasarkan UU Pers. Keduanya memiliki level setara dan tidak seharusnya menegasikan,” kata Ade kepada reporter Tirto.

Ade juga menyatakan, bila RUU Penyiaran melarang jurnalisme investigasi, sama saja membatasi kebebasan pers yang dijamin UU Pers. Maka Ade mendesak DPR melakukan evaluasi terhadap draf RUU Penyiaran dengan mencabut pasal yang bertentangan dengan UU Pers. Selain itu, DPR harus membuka partisipasi publik untuk memberikan masukan-masukan terhadap penyusunan RUU Penyiaran.

Pembungkaman Pers

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menolak draf RUU Penyiaran saat ini. Pasalnya, kehadiran Pasal 50B ayat 2 butir c melarang media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi. Menurut AJI, beleid yang sedang digodok DPR ini akan membungkam pers.

Ketua Umum AJI Indonesia, Nani Afrida, mengatakan bahwa jurnalisme investigasi merupakan produk jurnalistik dengan kasta tertinggi. Pembuatan produk jurnalistik ini juga tidak mudah karena membutuhkan waktu lama.

Pembungkaman pers. Itu sudah pasti agak aneh, ya. Masa jurnalisme paling tinggi [yaitu] investigasi dilarang,” kata Nani saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).

Jurnalis perempuan asal Aceh itu juga menegaskan bahwa pembuatan karya jurnalisme investigasi tidak sembarangan. Banyak masyarakat yang menunggu produk investigasi jurnalistik tersebut.

Sejak awal, kata dia, AJI menolak dan mempermasalahkan pasal itu. Menurutnya, pasal itu harus dihapus karena tidak ada dasar bagi DPR untuk membungkam kebebasan pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistik.

Kami anggap enggak ada dasarnya. Kemarin ada pernyataan anggota dewan mengganggu penyelidikan aparat keamanan, enggak ada hubungannya,” tegas Nani.

Menurut Nani, aparat penegak hukum bekerja dengan cara sendiri, pun dengan wartawan yang bekerja dengan memegang teguh dan patuh pada UU Pers. Selama ini, AJI menilai kerja-kerja wartawan justru membantu kerja penyidikan aparat penegak hukum.

AJI melihat pasal ini jangan ada, itu mengganggu banget,” sebut Nani.

Baca juga artikel terkait RUU PENYIARAN atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fadrik Aziz Firdausi