tirto.id - Draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran khususnya Pasal 50 Ayat (2) butir c, yang mengatur pelarangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi, ramai disorot. Beleid ini dinilai membungkam kebebasan pers.
Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, memandang masukan dan kritikan itu akan menyempurnakan aturan. Dave mengakui rancangan itu sudah digodok sejak 2012 tetapi hingga saat ini tak kunjung selesai.
“Apa yang dikhawatirkan rekan-rekan ini akan menjadi masukan, sehingga kita bisa menyempurnakan UU ini dan bisa melayani dan melindungi masyarakat secara umum,” kata Dave saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).
Dave mengatakan tidak ada niat sedikitpun baik dari pemerintah hari ini ataupun pemerintahan Prabowo Subianto nanti akan memberangus hak-hak dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat apalagi informasi kepada masyarakat. Dia menjelaskan, informasi perlu diberikan secara tepat sehingga pemerintah dapat berjalan dengan transparan dan akuntabel.
Dave meminta kepada media untuk mengawal kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dan tak multitafsir dalam pemberitaannya.
“Jangan sampai ada penyelewengan sedikitpun apa yang jadi hak pilih bangsa dan rakyat secara keseluruhan,” tutup Dave.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Pemantauan Media Remotivi, Yovantra Arief, mengatakan RUU itu harus disempurnakan bukan hanya pada periode ini. Penyempurnaan RUU ini harus melibatkan semua stakeholder terkait.
"Lebih baik enggak perlu buru-buru diskusi mulai dari awal dan melibatkan semua stakeholder. Semua orang yang berkepentingan harus dilibatkan," kata Yovantra saat dihubungi Tirto.
Dia mengeklaim AJI dan Dewan Pers pun tak dilibatkan dalam penyusunan RUU itu. Lebih lanjut, dia menilai RUU itu mengancam kreativitas.
"Sebenarnya kalau mau dilihat lebih teliti yang mengganggu kebebasan pers itu bukan hanya pasal 56 bukan hanya penayangan eksklusif jurnalistik," tutur Yovantra.
Tidak hanya itu, dia juga menyoroti Pasal 25 Ayat 1 RUU yang menyebutkan sengketa pers di bawah naungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selain itu, Remotivi juga mempersoalkan Pasal 56 ihwal kebencian, fitnah, pencemaran nama baik.
"Jadi, jurnalisme pers bisa kena aturan KPI soal pencemaran nama baik. Jadi, ada banyak hal yang tidak boleh dilakukan pers, bukan cuma investigasi, pers tidak boleh memuat korban kekerasan, ada macam-macam," kata dia.
Protes senada sebelumnya disampaikan Aliansi Jurnalis Independen atau AJI. AJI memandang Pasal 56 Ayat 1 itu membungkam kebebasan pers.
Ketua Umum AJI, Nani Afrida, mengatakan jurnalisme investigasi merupakan produk jurnalistik dengan kasta tertinggi. Pembuatan produk jurnalistik ini juga tidak mudah serta membutuhkan waktu lama.
"Pembungkaman pers. Itu udah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi investigasi dilarang," kata Nani.
Jurnalis perempuan asal Aceh ini mengatakan pembuatan karya jurnalisme investigasi tidak dilakukan sembarangan. Dia menyebut banyak masyarakat menunggu produk investigasi tersebut.
"Masyarakat menunggu, dia berhak tahu infOrmasi melalui jurnalisme investigasi. Itu enggak sembarangan orang bisa," tutur Nani.
Dia juga mengakui sejak awal AJI telah menolak dan mempermasalahkan pasal itu. AJI memandang pasal itu harus dihapus, sebab tidak ada dasar bagi DPR untuk membungkam kebebasan pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Intan Umbari Prihatin