tirto.id - Sejarah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dimulai pada 2002 dan merupakan lembaga negara independen yang lahir setelah Reformasi 1998. Baru-baru ini, hashtag atau tagar #BubarkanKPI menjadi trending topik di Twitter Indonesia lantaran adanya sanksi teguran untuk kartun Spongebob dan promo film Gundala.
KPI menilai, film The Spongebob Squarepants Movie yang ditayangkan GTV pada 22 Agustus 2019 lalu melanggar dua aturan. Pertama, aksi kekerasan seekor kelinci yang memukul wajah kelinci lain dengan papan, menjatuhkan bola boling dan kena kepala, melayangkan palu ke wajah, serta memukul pot kaktus dengan raket ke arah wajah.
Pelanggaran kedua, tulis KPI dalam surat keputusan dengan Nomor 385/K/KPI/31.2/09/2019, di film kartun dalam program siaran Big Movie Family GTV itu terdapat adegan melempar kue tar ke muka dan memukul dengan menggunakan kayu.
Sedangkan pelanggaran yang dianggap KPI terjadi dalam promo Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot, film superhero Indonesia besutan Joko Anwar adalah, terdapat kata yang dianggap kasar: “bangsat”.
Menurut KPI, teguran itu dilayangkan karena lembaga penyiaran wajib menghormati nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Dari sinilah tagar #BubarkanKPI menggema di jagat maya nasional.
"Kalau ada lembaga yang anggap tontonan kayak Spongebob melanggar norma kesopanan, lembaga itu nggak layak dipercaya menilai apapun di hidup ini,” cuit Joko Anwar sembari menyematkan tagar #BubarkanKPI serta mencolek akun KPI Pusat.
Seolah menyindir yang dipersoalkan KPI atas Gundala, sang sutradara juga menyertakan arti kata “bangsat” yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu “kepinding, kutu busuk, dan orang yang bertabiat jahat (terutama yang suka mencuri, mencopet, dan sebagainya”.
Selain Spongebob dan promo film Gundala, KPI juga melayangkan sanksi berupa teguran terhadap 12 acara atau program siaran di televisi/radio lainnya dengan masing-masing jenis pelanggaran yang berbeda-beda.
Ke-12 program yang disentil KPI itu adalah Headline News (Metro TV), Borgol dan Obsesi (GTV), Rahasia Hidup dan Fitri (ANTV), Ragam Perkara (TV One), DJ Sore (Gen FM), Centhini dan Rumpi No Secret (Trans TV), serta Ruqyah, Rumah Uya, juga Heits Abis (Trans 7).
Sejarah Pendirian KPI
KPI dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik sehingga harus dikelola oleh badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.
Semangat baru ini berbeda dengan landasan dalam UU Penyiaran sebelumnya, yakni UU No. 24 Tahun 1997 Pasal 7, yang menyatakan bahwa penyiaran dikuasai oleh negara, pembinaan dan pengendaliannya pun dilakukan oleh pemerintah.
Seperti yang tercatat dalam website KPI, semangat lama tersebut menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu (Orde Baru) merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan semata-mata untuk kepentingan pemerintah.
KPI yang dibentuk pasca Reformasi 1998 atau setelah tumbangnya rezim Soeharto ingin menjadi lembaga penyiaran yang berbeda seiring dengan semangat perubahan dan demokrasi. Proses demokratisasi menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran.
Lantaran frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Artinya, masih dikutip dari situs KPI, media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat, baik yang berupa berita, hiburan, dan lainnya.
Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, yaitu Diversity of Content (Prinsip Keberagaman Isi) dan Diversity of Ownership (Prinsip Keberagaman Kepemilikan). Dua prinsip inilah yang, konon, menjadi landasan bagi setiap kebijakan KPI.
KPI punya beberapa kewenangan. Salah satunya, dikutip dari Lembaga-Lembaga Negara Independen (2019) karya Laurensius Arliman Simbolon, adalah memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran, serta standar program siaran.
Itulah yang telah dilakukan KPI terhadap Spongebob, Gundala, dan beberapa program televisi/radio lainnya baru-baru ini.
Jangan lupa, KPI juga punya tugas untuk berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segala bentuk apresiasi publik terhadap lembaga penyiaran maupun dunia penyiaran pada umumnya.
KPI vs Publik
KPI menyatakan mengusung semangat baru untuk lepas dari kesan bahwa penyiaran merupakan bagian dari instrumen kekuasaan sehingga kini lebih berpihak kepada publik.Tulisan Ade Armando dalam buku Televisi Jakarta di Atas Indonesia (2011) barangkali bisa membuka perspektif lain ihwal KPI.
Bagaimanapun, tulis Ade, kalau dibaca isi UU, terlihat bahwa muatan tentang KPI sebenarnya jauh lebih dominan. Kesannya, KPI adalah pengendali utama, sementara pemerintah lebih dalam posisi menjaga agar jangan sampai KPI menjadi "pemegang kekuasaan mutlak".
KPI memang sengaja dirancang sebagai lembaga independen. Bahkan, tulis Ade, KPI lebih independen daripada Federal Communications Commission (FCC), lembaga serupa di Amerika Serikat.
Ade lantas mencontohkan, keanggotaan FCC di AS ditentukan oleh presiden dan datang dari dua partai besar yakni Partai Republik dan Partai Demokrat.
Sementara di Indonesia, lanjutnya, KPI Pusat dipilih oleh DPR atau DPRD untuk KPI Daerah, dan keanggotaannya tidak boleh terkait dengan kepemilikan media massa serta bukan wakil dari partai politik.
Sebelum tagar #BubarkanKPI menggema terkait teguran untuk Spongebob dan Gundala, KPI juga pernah menjadi sorotan publik belum lama ini, yakni rencana mengawasi konten media digital seperti YouTube, Facebook, Netflix, dan sejenisnya.
Menurut Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, dilansir Antara (5 Agustus 2019), pengawasan tersebut dilakukan agar konten-konten media digital memang layak ditonton serta memiliki nilai edukasi, juga menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah.
Bicara soal konten “berkualitas rendah”, jangankan di ranah digital, di media penyiaran konvensional macam televisi pun masih banyak yang sebenarnya bisa masuk kategori ini.
Sampai detik ini, program-program “berkualitas rendah” atau yang "tidak mengandung nilai edukasi” itu masih bertebaran di layar kaca dan setiap hari ditonton oleh jutaan rakyat Indonesia, termasuk anak-anak dan kaum remaja milenial.
Apabila ada acara yang ditegur, atau dilarang tayang lagi oleh KPI, maka akan muncul konten sejenis dalam rupa lain, bahkan berjumlah lebih banyak karena bakal diikuti atau ditiru oleh stasiun televisi lain jika ratingnya bagus, ibarat “gugur satu tumbuh seribu” atau “patah tumbuh hilang berganti”.
Rasa-rasanya, KPI sejauh ini belum konsisten dan hanya membuat stasiun televisi paranoid sehingga terkadang melakukan sensor secara berlebihan, tidak masuk akal, bahkan konyol alias menggelikan, agar tidak kehilangan rating.
Editor: Abdul Aziz