tirto.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berbeda dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sejarah dua lembaga satu ranah ini pun berbeda jalur. KPAI kini sedang menjadi sorotan publik lantaran polemiknya dengan PB Djarum.
Tanda pagar (tagar) #bubarkanKPAI bergema di jagat Twitter pada Selasa (9/9/2019). Sebagian masyarakat kesal terhadap KPAI karena telah menyebabkan Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum menghentikan program audisi umumnya per 2020 mendatang.
Mulanya, KPAI dan Yayasan Lentera Anak menuding bahwa telah terjadi praktik eksploitasi anak dengan dipasangnya logo yang identik dengan produk rokok PT Djarum dan meminta PB Djarum untuk melepas logo tersebut.
Permintaan itu dipenuhi, tapi pada forum berikutnya KPAI menuntut lebih sehingga PB Djarum menolaknya. Rangkaian pertemuan selanjutnya tidak menemui kata sepakat sehingga PB Djarum –yang telah menghasilkan banyak sekali pebulutangkis berprestasi– akhirnya menyerah.
Banjir hujatan di media sosial, KPAI mengaku tidak habis pikir mengapa pihaknya yang disalahkan. KPAI merasa hanya meminta Djarum Foundation –yang menaungi PB Djarum– agar menghilangkan unsur eksploitasi yang menjadikan tubuh anak sebagai media promosi gratis.
“Kata 'pamit' dari Djarum tiba-tiba saja menjadi trending, dan publik menyalahkan pemerintah, dalam hal ini KPAI, atas keputusan Djarum,” ujar Komisioner KPAI, Sitti Hikmawatty, merespons pesan Tirto, Senin (9/9/2019).
KPAI juga telah mengajukan pilihan kepada Djarum Foundation untuk mengganti proses seleksi ke skala yang lebih kecil, bukan dilakukan secara jor-joran dan melanggar undang-undang.
“Jadi, pembinaan tetap berjalan, audisinya yang kita cari bentuk lain. Harusnya masalah ini bisa disikapi dengan tetap berkepala dingin, tidak baper dan lebay,” tukas Sitti.
Disahkan Presiden Megawati
Dikutip dari website resmi KPAI, institusi ini dibentuk dengan landasan hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, menandatangani UU tersebut pada 20 Oktober 2002.
Setahun berselang, sesuai ketentuan Pasal 75 dari UU tersebut, Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Kepengurusan KPAI Pusat terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 7 (tujuh) orang anggota.
Keanggotaannya pun telah diatur, yakni terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat yang peduli atas masalah perlindungan anak.
Saat ini, duduk sebagai Ketua KPAI adalah Susanto dengan Rita Pranawati selaku wakil ketua. Sedangkan ke-7 anggotanya antara lain Ai Maryati Solihah, Jasra Putra, Margaret Aliyatul Maimunah, Putu Elvina, Retno Listyarti, Susianah, dan Sitti Hikmawatty.
KPAI merupakan lembaga negara independen. Kedudukannya sejajar dengan komisi-komisi negara lainnya, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan seterusnya.
Adapun tugas pokok KPAI adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak, memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak.
Kemudian, menerima dan menelaah pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak, melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak, bekerjasama dengan lembaga masyarakat di bidang perlindungan anak, serta memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran.
Antara KPAI, Komnas PA, & LPAI
Selain KPAI, ternyata ada pula institusi yang ranah jangkauannya nyaris serupa, yakni Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), bahkan ada pula Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Lalu, apa perbedaan tiga lembaga yang boleh dibilang sejenis ini?
Komnas PA berdiri lebih dulu dari KPAI, yakni pada 26 Oktober 1998 dengan landasan hukum Surat Keputusan (SK) Menteri Sosial No. 81/HUK/1997. Sebelum bernama Komnas PA, institusi ini memakai nama Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Pendiri LPAI antara lain Seto Mulyadi alias Kak Seto, Arist Merdeka Sirait, dan beberapa tokoh lainnya. LPAI dibentuk untuk melindungi anak dari segala tindak kekerasan, penelantaran, perlakuan salah, diskriminasi, dan eksploitasi.
Setelah Orde Baru tumbang akibat gerakan reformasi 1998, Departemen Sosial dibubarkan. Maka, selanjutnya LPAI diserahkan kepada masyarakat. Di berbagai daerah sudah terbentuk pula Lembaga Perlindungan Anak (LPA).
“LPA yang sudah terbentuk dari berbagai provinsi berkumpul mengadakan forum nasional untuk membentuk pengurus yang baru,” ungkap Seto Mulyadi, dikutip dari Suara Indonesia News (15 September 2017).
Kak Seto terpilih sebagai Ketua Umum LPAI hingga tiga periode sejak 1998, sedangkan Arist Merdeka Sirait menjabat sekjen. Pencetus karakter Si Komo ini pula yang kemudian mengusulkan agar LPAI berganti nama menjadi Komnas Perlindungan Anak atau Komnas PA.
Namun, dalam perjalanannya, terjadi polemik antara Seto Mulyadi dengan Arist Merdeka Sirait. Seto mengakui bahwa seharusnya embel-embel “komisi nasional” tidak digunakan karena Komnas PA bukan lembaga negara. Maka, Seto mengembalikan nama Komnas PA menjadi LPAI.
Dilansir Detik.com (16 Juli 2016), Seto mengakui bahwa kehadiran KPAI yang memang merupakan lembaga resmi negara membuat Komnas PA harus berganti nama menjadi LPAI untuk menghindari kerancuan.
Di sisi lain, Arist tetap bersikukuh memimpin Komnas PA kendati Seto menegaskan bahwa mandat Arist telah dicabut melalui Forum Nasional Luar Biasa. Telah disepakati pula Komnas PA sudah tidak ada lagi, kembali menjadi LPAI yang dipimpin Seto.
Pemetaan lembaga perlindungan anak di Indonesia menjadi rumit: ada KPAI dari pemerintah, LPAI pimpinan Seto Mulyadi, dan Komnas PA versi Arist Merdeka Sirait. Belum lagi kehadiran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Penulis: AS Rimbawana & Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz