Menuju konten utama

Pemerkosaan Anak di Luwu Timur Disetop, LBH: Polisi Terburu-buru

LBH Makassar menilai polisi terburu-buru dalam kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur karena tak menjadikan keterangan korban sebagai bukti yang paling utama.

Pemerkosaan Anak di Luwu Timur Disetop, LBH: Polisi Terburu-buru
ilustrasi pemerkosaan trauma. foto/shutterstock

tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyesalkan penghentian pengusutan dugaan pemerkosaan anak kandung oleh ayahnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kepolisian memutuskan menyetop penyelidikan dengan alasan tidak ditemukan peristiwa pidana dan bukti-bukti pemerkosaan.

“Tim Kuasa Hukum korban menyesalkan penghentian penyelidikan sebab menyampingkan keterangan para anak korban yang secara konsisten sejak 2019, serta saling bersaksi satu sama lain terkait peristiwa kekerasan seksual yang dialami,” ujar Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir, dalam keterangan tertulis, Senin (23/5/2022).

Dalam penanganan kasus anak korban kekerasan, pemeriksaan semestinya bermula dari keterangan anak sebagai pihak yang mengalami peristiwa. Maka keterangan anak semestinya didudukkan sebagai bukti yang paling utama.

Kemudian, dalam proses penyelidikan akses informasi penanganan perkara yang minim berdampak pada ketiadaan ruang bagi pihak korban untuk terlibat dan memantau proses.

Terjadi pembiaran laporan atau penanganan yang berlarut-larut oleh kepolisian hingga sampai pada gelar perkara.

Di samping pemberitahuan gelar perkara yang tiba-tiba, sambung Haedir, dalam prosesnya penyidik juga tidak membuka dan menjelaskan tiap bukti yang diperoleh dari penyelidikan sehingga pihak-pihak yang hadir tidak dapat secara utuh memberikan masukan terhadap hasil penyelidikan.

Catatan-catatan tersebut menunjukkan penanganan perkara oleh Kepolisian masih menyampingkan kepentingan pihak korban.

Tim kuasa hukum menilai bukti permulaan terpenuhi untuk menyatakan ditemukannya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pencabulan dan/atau persebutuhan pada anak.

LBH Makassar berpendapat Polri terburu-buru menghentikan penyelidikan tanpa mendalami bukti-bukti yang diperoleh dan memaksimalkan upaya di tingkat penyidikan, termasuk melibatkan ahli yang dapat membantu membuat terang perkara.

“Sebagai tahap awal dari serangkaian proses dalam sistem peradilan pidana, tidak ditemukannya peristiwa yang diduga tindak pidana dalam penyelidikan menurut penyidik, tidak berarti tindak pidana tidak terjadi atau secara hukum tidak terbukti. Kesimpulan penghentian penyelidikan tidak memberikan kepastian hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas seseorang yang melakukan perbuatan pidana,” jelas Haedir.

Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) berpendapat lain. Menurut Kompolnas, hasil kerja penyelidikan kepolisian mulai dari Polres Luwu Timur, Polda Sulawesi Selatan hingga Bareskrim Polri sudah profesional dalam menangani kasus ini.

Kami melihat penyidik telah komprehensif memeriksa saksi-sakis, mengumpulkan bukti-bukti, memeriksa pelapor dan terlapor,” terang Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti kepada Tirto, Senin (23/5/202).

Kompolnas, merupakan salah satu instansi yang ikut dalam gelar perkara pada 20 Mei 2022 bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Bareskrim Polri, dan perwakilan Kantor Staf Kepresidenan.

Menurut Poengky, penyidik juga mendapatkan keterangan ahli dari Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) dan Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI). Keterangan korban dugaan kekerasan seksual perlu didukung bukti lain, antara lain adanya visum et repertum dan visum et psikiatrikum, serta keterangan ahli kedokteran forensik.

Dalam kasus Luwu Timur ini, penyidik telah dua kali melaksanakan visum et repertum untuk kepentingan pro justitia pada tiga anak korban, namun kedua hasil visum menyatakan tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual kepada ketiganya.

Demikian pula dengan pemeriksaan psikologi dan pemeriksaan visum et psikiatrikum, ketiga anak korban dalam kondisi normal. Keterangan saksi korban tidak serta-merta dapat dianggap sebagai kebenaran, melainkan harus dicocokkan dulu dengan bukti visum dan alat bukti lain.

Jika dikaitkan dengan hasil visum yang menunjukkan tidak ada tanda kekerasan seksual serta hasil visum psikiatrikum normal, serta didukung alat bukti lainnya, maka dalam gelar perkara diputuskan bahwa tidak ditemukan adanya tindak pidana, sehingga penyelidikan tidak dapat ditingkatkan ke penyidikan dan harus dihentikan untuk keadilan dan kepastian hukum.

“Kompolnas melihat bahwa penyelidikan sudah berperspektif korban. Buktinya adalah tindakan sigap dan profesional penyidik dalam menangani kasus ini, termasuk segera menindaklanjuti laporan ibu korban dengan melakukan visum et repertum dan visum et psikiatrikum yang bersifat pro justitia. Hasil gelar perkara juga memberikan rekomendasi yang melindungi korban, yaitu perlunya melaksanakan rekomendasi ahli dalam rangka perlindungan dan pemulihan difasilitasi oleh LPSK,” ucap Poengky.

Penghentian perkara kasus ini bukan yang pertama kali. Polres Luwu Timur menerima pengaduan dugaan pemerkosaan anak pada 9 Oktober 2019. Kemudian polisi mengantar ketiga korban untuk dilakukan visum. Ibu korban dan petugas P2TP2A Kabupaten Luwu Timur turut serta mengantar mereka.

Hasil pemeriksaan atau visum ketiga anak tersebut tidak ada kelainan dan tidak tampak adanya tanda-tanda kekerasan. Sementara laporan hasil asesmen P2TP2A Kabupaten Luwu Timur menyebutkan tidak ada indikasi trauma ketiga korban terhadap si ayah.

Hasil asesmen lainnya yakni hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis, dalam pemahaman keagamaan sangat baik termasuk untuk fisik dan mental dalam keadaan sehat. Untuk hasil visum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulawesi Selatan pun tidak ditemukan kelainan terhadap ketiga anak tersebut.

Usai melakukan rangkaian prosedur, Polres Luwu Timur pun melakukan gelar perkara pada 5 Desember 2019. Polisi menghentikan penyelidikan kasus.

Selanjutnya, Polda Sulawesi Selatan pada 6 Oktober 2020, juga telah melakukan gelar perkara khusus dengan kesimpulan menghentikan proses penyelidikan.

Perkara ini mencuat ketika Project Multatuli menerbitkan artikel ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’, pada 6 Oktober 2021.

Lantaran kasus ini menjadi perbincangan publik, Kompolnas, kata Poengky memberikan rekomendasi agar Propam dan Wassidik memeriksa para penyidik untuk mencari tahu apakah terdapat pelanggaran dan kesalahan prosedur.

Poengky melanjutkan, pihaknya juga merekomendasikan kepada Bareskrim Polri untuk memberikan asistensi kepada Polres Luwu Timur, serta menyampaikan kepada publik bahwa pelapor dan kuasa hukumnya dapat menguji melalui pra peradilan.

Kemudian Bareskrim melakukan asistensi kepada penyidik Polda Luwu Timur dan Propam serta Wassidik juga sudah memeriksa para penyidik.

Atas asistensi Bareskrim, kemudian kasus dibuka kembali dengan membuat laporan polisi model A (artinya pelapornya polisi sendiri). Setelah kasus dibuka kembali dengan asistensi Bareskrim Kompolnas tetap mengawasi penanganan kasus tersebut.

Baca juga artikel terkait PEMERKOSAAN ANAK DI LUWU TIMUR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto