Menuju konten utama

Menuai Berkah dari Pencabutan Status Internasional 17 Bandara

Keputusan pencabutan status internasional 17 bandara di Indonesia sejatinya membawa berkah tersendiri bagi industri pariwisata dan penerbangan.

Menuai Berkah dari Pencabutan Status Internasional 17 Bandara
Header insider Pencabutan Status Bandara Internasional. tirto.id/Tino

tirto.id - Industri pariwisata merupakan salah satu industri esensial bagi perekonomian Indonesia. Sebelum pandemi COVID-19 menerjang, sektor pariwisata menyumbang setidaknya 5 persen bagi Produk Domestik Bruto (PDB).

Seiring dengan kembali pulihnya perekonomian dan diangkatnya status pembatasan aktivitas, sektor juga perlahan menunjukkan geliatnya. World Travel and Tourism Council (WTTC) memprediksi bahwa pada 2033, pariwisata akan menyumbang hingga Rp1.980,54 triliun atau setara hampir 6 persen PDB Indonesia. Nilai ini diperoleh dengan asumsi tingkat pertumbuhan tahunan 7,5 persen.

Untuk menunjang sektor pariwisata, keberadaan bandara sebagai salah satu gerbang kedatangan turis domestik atau pun mancanegara tentu penting. Menyandang status negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki setidaknya lebih dari 600 bandara, dengan 34 di antaranya merupakan bandara internasional.

Alhasil, Indonesia menjadi negara dengan jumlah bandara internasional terbanyak di Asia Tenggara. Akan tetapi, baru-baru ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memutuskan untuk merampingkannya menjadi hanya 17 bandara internasional.

Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri (KM) Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada 2 April 2024.

Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati, menyampaikan kebijakan ini diambil untuk menopang penguatan bisnis penerbangan nasional pascapandemi dengan menempatkan bandara sebagai hub. Dirinya menegaskan bahwa praktik penyesuaian jumlah bandara internasional juga telah dilakukan oleh negara lain.

“Selama ini sebagian besar bandara internasional hanya melayani penerbangan internasional ke beberapa negara tertentu saja dan bukan merupakan penerbangan jarak jauh, sehingga hub internasional justru dinikmati oleh negara lain," ujar Adita, dilansir dari Antara.

Adita menambahkan bahwa bandara yang dicabut status internasionalnya diketahui hanya melayani penerbangan jarak dekat ke satu atau dua negara saja. Bahkan, beberapa di antaranya tidak melayani rute penerbangan internasional sama sekali. Ambil contoh Bandara Supadio di Kalimantan Barat.

Bandara Supadio melayani 7 rute domestik dan 2 rute internasional, yakni Kuching dan Kuala Lumpur, Malaysia. Pejabat Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Harisson, menjelaskan selama ini kunjungan masyarakat Kalbar ke luar negeri ternyata lebih banyak jika dibandingkan angka wisatawan mancanegara yang memasuki Kalbar.

"Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa jumlah warga negara kita yang bepergian ke luar negeri lebih besar daripada jumlah orang asing yang masuk ke Indonesia melalui bandara internasional tersebut," sambungnya. Hal ini lantas menjadi alasan utama kenapa status Bandara Supadio beralih menjadi domestik.

Merujuk analisa Google Trends, permintaan atas perjalanan ke luar negeri (outbound) memang meningkat secara signifikan. Terlebih, jumlahnya melebihi permintaan perjalanan ke dalam negeri.

Hasil Analis Google trend

Hasil Analis Google trend. foto/Google trend

Lebih lanjut, merujuk Badan Pusat Statistik (BPS), negara tujuan utama pelancong Indonesia adalah Arab Saudi. Namun kebanyakan melakukan perjalanan ke sana untuk kepentingan ibadah umroh dan haji. Berbeda dengan Malaysia dan Singapura yang memang dijadikan sebagai tempat untuk berlibur, berbelanja, hingga mencari alternatif pelayanan kesehatan.

Upaya Menyelamatkan Industri Aviasi dan Devisa RI

Pengamat industri penerbangan, Gatot Rahardjo, menyampaikan sejatinya jumlah bandara internasional yang ada di Indonesia saat ini memang terlampau banyak. Padahal yang benar-benar dimanfaatkan sebagai gerbang wisatawan mancanegara tidak sampai 20 persen.

Berdasarkan hasil observasi ASEAN Stats, Indonesia memiliki jumlah bandara internasional terbanyak. Namun jumlah ini tidak linear dengan volume kunjungan internasional ke Ibu Pertiwi. Pada 2019, dengan total 34 bandara, kedatangan internasional ada di kisaan 16,1 juta.

Sementara itu, Thailand yang hanya memiliki 7 bandara internasional dapat menarik hingga hampir 40 juta kedatangan dari luar negeri. Bahkan Singapura, dengan 2 bandara bisa menarik lebih dari 18 juta kunjungan.

“Terkait bandara internasional ini memang pemerintah harus tegas karena banyak negara yang mengincar pasar Indonesia mengingat banyak orang Indonesia yang suka ke luar negeri,” jelas Gatot ketika dihubungi Tirto, Jumat (10/5/2024).

Terlebih lagi, jika ternyata status internasional bandara tersebut justru lebih menguntungkan maskapai asing. Maskapai asing melakukan pendekatan ke pemerintah daerah untuk menarik orang Indonesia mengunjungi negaranya. Ini terutama yang terjadi di wilayah yang berdekatan dengan negara tetangga, seperti Bandara Supadio.

Gatot menyebut pada tahun 2019 jumlah penumpang penerbangan internasional di Tanah Air mencapai 37 juta. Namun hanya sekitar 12 juta atau 32 persen yang menggunakan jasa maskapai nasional.

Tren yang sama juga terlihat tahun lalu, di mana pada 2023 jumlah penumpang internasional yang diangkut hanya 28 persen. Dari sini dapat disimpulkan devisa negara dari penjualan tiket banyak yang lari keluar.

Lebih lanjut, meskipun banyak pihak berpendapat keputusan ini akan memusatkan pariwisata internasional pada wilayah tertentu saja, tapi yang akan terjadi justru sebaliknya.

Menurut Gatot, keputusan Kemenhub akan memperbaiki produktivitas konsep hub and spoke di dalam negeri. Penumpang dari bandara internasional (hub) akan diterbangkan ke bandara domestik (spoke) oleh maskapai nasional, dan sebaliknya.

Perlu diketahui konsep hub and spoke merupakan model yang umum digunakan pada industri transportasi karena lebih efisien dan efektif. Hub akan berperan sebagai titik pusat dan gerbang penghubung ke rute-rute domestik (spoke).

Model ini memungkinkan untuk memaksimalkan rasio keterisian penumpang. Jadi nantinya pendapatan pesawat dan bandara meningkat karena efisiensi tersebut.

“Kalau pola hub and spoke ini terlaksana baik, tentu saja kunjungan wisatawan juga akan lebih merata. Tempat wisata yang berkembang tidak hanya yang punya bandara internasional saja, tapi juga di tempat lain yang bandaranya kecil dan hanya dilayani pesawat kecil,” imbuh Gatot.

Ilustrasi airport hub and spoke

Ilustrasi airport hub and spoke. foto/sitockphoto

Argumentasi senada juga disampaikan oleh Direktur Utama InJourney Airpors, Faik Fahmi. Dirinya menyebut melalui konsep hub and spoke bandara yang tidak lagi berstatus internasional menjadi kunci untuk membangun konektivitas ke seluruh wilayah Indonesia.

“Pola seperti ini best practice di industri aviasi global dan sudah berlaku umum di banyak negara yang terbukti lebih efektif,” jelas Faik melansir siaran pers InJourney Airports, Minggu (28/4/2024).

Pendekatan ini mirip seperti apa yang dilakukan oleh Negeri Paman Sam. Amerika Serikat (AS) diketahui memiliki sekitar 2.000 bandara, tetapi hanya 18 bandara saja yang berstatus internasional (hub/point of entry). Untuk memasuki AS aksesnya hanya 18 bandara tersebut yang kemudian terhubung ke bandara domestik.

Selain membawa dampak pemerataan, pengurangan bandara juga akan menurunkan beban operasional InJourney Airports. Hal ini mengingat banyak bandara internasional yang tidak memiliki jadwal penerbangan rutin.

Alhasil banyak fasilitas internasional jarang digunakan, bahkan menganggur. Ambil contohnya, fasilitas imigrasi, x-ray, ruang tunggu dan sebagainya. Oleh karena itu, Faik berpendapat penataan ulang oleh pemerintah ini memang perlu dilakukan.

Berdasarkan penjabaran di atas, pencabutan status internasional 17 bandara di Tanah Air memiliki implikasi signifikan terhadap industri pariwisata dan aviasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah berupaya merampingkan infrastruktur, meningkatkan efisiensi, dan mengoptimalkan konektivitas penerbangan.

Selain itu, dengan menerapkan konsep hub and spoke, potensi kunjungan wisatawan dapat lebih merata ke berbagai destinasi di Indonesia. Hal ini tidak hanya akan memperluas pilihan wisata bagi turis, tetapi juga memberikan kesempatan bagi wilayah-wilayah yang sebelumnya kurang dikenal untuk berkembang.

Baca juga artikel terkait LOOKUP atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Mild report
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Nuran Wibisono