Menuju konten utama
Lookup

Kelas Menengah Turun, Bagaimana Nasib Bisnis Wisata Nataru?

Anjloknya jumlah masyarakat berpenghasilan menengah disinyalir menjadi penyebab utama turunnya daya konsumsi dan berpotensi mengancam bisnis wisata Nataru.

Kelas Menengah Turun, Bagaimana Nasib Bisnis Wisata Nataru?
Header Insider Bisnis Wisata Natal dan Tahun Baru. tirto.id/Fuad

tirto.id - Linda dan sahabatnya masih galau memutuskan rencana liburan Natal dan tahun baru (Nataru) 2024/2025. Kedua gadis lajang ini ingin berlibur merayakan pergantian tahun, tetapi apa daya keuangannya tidak mendukung. Mereka merasa sudah menjadi bagian dari kelas menengah yang "turun kasta".

Penghasilannya yang setara UMP (Upah Minimum Provinsi) tidak lagi cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya di Jakarta. Bahkan, uang tabungan yang dikumpulkan selama dua tahun sebelumnya pun terus tergerus.

“Sudah berusaha hemat, tapi gaji UMP tak lagi cukup. Selain banyak potongan, saya masih harus ngeluarin biaya kos yang tak murah. Apa-apa juga mahal sekarang,” keluh Linda yang bekerja di perusahaan agen properti ternama. Kondisi ini membuatnya galau.

Kelesuan ekonomi, biaya hidup yang meningkat, dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) 2025, menjadi momok yang membuat mereka berpikir ulang untuk bersenang-senang di liburan Nataru. Padahal, momen yang dirayakan setahun sekali ini biasanya dinanti-nanti oleh masyarakat dan pelaku bisnis wisata.

Ini juga tidak lepas dari penurunan daya beli masyarakat. Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan beruntun selama periode Mei-September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan Indeks Harga Konsumen pada September dengan nilai deflasi 0,12 persen secara bulanan (month to month). Angka deflasi itu kian tinggi dibandingkan situasi pada Agustus 2024 sebesar 0,03 persen.

Kelas Menengah Berkurang, Bisnis Wisata Mengerang

Tahun-tahun sebelumnya, banyak kelas menengah seperti Linda yang rela menghamburkan uang saat liburan Nataru. Namun, kabar menurunnya jumlah kelas menengah sejak lima tahun terakhir diperkirakan akan berdampak terhadap bisnis wisata Nataru.

Menurut Bank Dunia, kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang berpengeluaran per kapita antara Rp2.040.062 sampai Rp9.909.844 per bulan. Di Indonesia, kelas menengah ini didominasi oleh kelompok usia produktif, yaitu Gen X, Milenial, dan Gen Z.

Kelas menengah adalah tulang punggung ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia. Mereka biasanya memiliki daya beli yang cukup tinggi, menjadi motor penggerak konsumsi domestik, dan berkontribusi besar terhadap stabilitas sosial. Oleh sebab itu, turunnya jumlah kelas menengah, atau disebut juga middle-class squeeze, akan berdampak signifikan pada perekonomian.

Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Konferensi Pers BPS tentang Kelas Menengah di Indonesia pada Oktober lalu, menuturkan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia pada 2024 mencapai 47,85 juta orang atau sekitar 17,13 persen dari total penduduk. Jumlah tersebut turun sebesar 9,48 juta dibanding 2019, yang mencapai 57,33 juta atau sekitar 21,45 persen dari total penduduk.

Jika digabung antara masyarakat kelas menengah dan yang menuju kelas menengah, jumlahnya mencapai 66,35 persen dari total penduduk pada 2024. Nilai konsumsi atau pengeluaran mereka mencapai 81,49 persen dari total konsumsi masyarakat.

BPS meyakini, kelas menengah punya peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional. Jika mereka "turun kasta", dampak terhadap perekonomian sangat signifikan. Situasi inilah yang sedang dialami Indonesia. Penurunan jumlah kelas menengah tidak bisa dimungkiri bakal membuat pelaku bisnis wisata waswas.

Kelompok menengah biasanya mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk berwisata, seperti staycation, perjalanan domestik, hingga aktivitas rekreasi di destinasi lokal. Mereka adalah pasar utama bagi hotel, restoran, taman hiburan, hingga penyedia transportasi.

Namun, tekanan ekonomi, seperti inflasi, kenaikan harga bahan pokok, dan pengurangan daya beli, dapat membuat kelompok menengah lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Alih-alih bepergian, mereka mungkin memilih merayakan tahun baru dengan cara sederhana di rumah.

Dengan pengeluaran yang dibatasi oleh kelas menengah, potensi pemesanan hotel, tiket atraksi wisata, hingga paket liburan, kemungkinan akan menurun. Hal ini tentu akan berdampak langsung pada pendapatan para pelaku usaha wisata.

Ditambah lagi, banyak keluarga kelas menengah terjebak dalam siklus utang, baik dari kartu kredit, KPR (Kredit Perumahan Rakyat), paylater, maupun pinjaman konsumtif lainnya. Keperluan yang makin mencekik membuat mereka bergantung pada utang untuk mempertahankan gaya hidup.

Wahana Dunia Fantasi Ancol

Wahana Dunia Fantasi Ancol. FOTO/ancol.com/

Daya Tarik Liburan Nataru

Survei Kementerian Perhubungan, yang disampaikan oleh Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi saat rapat koordinasi di Jakarta pada Jumat (22/11/2024), mengungkapkan, sebanyak 110,67 juta orang akan melakukan perjalanan pada liburan Nataru 2024/2025. Mayoritas perjalanan akan berlangsung di Pulau Jawa.

Sementara itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memprediksi, daerah tujuan mayoritas wisatawan selama liburan Nataru di antaranya Jawa Tengah (17,10 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (15,77 persen), dan Jawa Barat (11,78 persen).

Adapun destinasi lainnya secara berurutan mencakup wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi atau Jabodetabek (10,34 persen), Jawa Timur (8,85 persen), Sumatera Utara (5,70 persen), Bali (5,55 persen), Sumatera Barat (3,26 persen), Lampung (3,08 persen), dan Sulawesi Selatan (2,66 persen).

Wisatawan yang ditengarai bakal mengunjungi pusat kuliner mencapai 54,8 persen. Sementara itu, pengunjung pegunungan atau perbukitan diperkirakan ada 50 persen, disusul kebun binatang atau taman rekreasi (33,9 persen), dan desa wisata (28,4 persen).

Berlibur tampaknya sudah menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat, terutama kelas menengah, meskipun di tengah krisis ekonomi tak berkesudahan. Oleh sebab itu, pelaku bisnis wisata harus banyak akal dan strategi untuk menggaet wisatawan.

Namun, pelaku bisnis wisata Nataru 2024/2025 memiliki respons yang berbeda dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dan penurunan kelas menengah. Sebagian optimistis, tetapi yang lain merasa pesimistis, terutama mengenai bisa-tidaknya mendulang keuntungan besar di momen Nataru tahun ini.

Strategi Riskan Pelaku Usaha

Jika keuangannya pas-pasan, masyarakat kelas menengah bisa saja urung berlibur Nataru. Melihat kondisi tersebut, pelaku bisnis wisata dituntut lebih inovatif dan kreatif untuk membangkitkan minat konsumen. Salah satunya adalah dengan menurunkan harga atau menawarkan promosi besar-besaran.

Keputusan menurunkan harga sudah tentu bakal mengurangi marjin keuntungan sekaligus meningkatkan tekanan operasional. Ujungnya, masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah juga menjadi korban.

Terobosan lainnya adalah beralih segmen pasar. Sebagai misal, berpindah dari kolam konsumen kelas menengah menuju kelas atas atau Gen Z, yang rela mengeluarkan banyak uang demi pengalaman masa kini.

Adaptasi strategi yang paling marak dan ngetren adalah wisata hemat, seperti road trip, staycation di lokasi terdekat, atau aktivitas berbasis komunitas yang murah meriah. Bisnis wisata yang mampu menyesuaikan diri dengan tren ini, menurut para pakar pemasaran, berpotensi tetap bertahan, bahkan meraup cuan.

Pelaku bisnis usaha bisa menawarkan diversifikasi produk dan layanannya, misalnya dengan menawarkan paket wisata yang fleksibel, harga terjangkau, atau berbasis pengalaman. Paket liburan sehari di destinasi lokal dengan harga murah juga bisa menjadi opsi.

Ide kolaborasi dengan komunitas lokal, untuk menawarkan liburan yang sesuai dengan minat dan kemampuan finansialnya, juga tak kalah menarik. Hal itu penting ditunjang oleh strategi pemasaran digital. Media sosial bisa menjadi sarana promosi yang efektif untuk menawarkan paket-paket wisata Nataru.

Opsi strategi lainnya adalah berfokus pada wisata domestik. Ketika daya beli turun, berlibur di tempat-tempat wisata terdekat sekitar domisili bisa menjadi pilihan yang realistis.

Namun, strategi pelaku bisnis wisata tidak bisa berjalan sendirian. Harus ada peran negara yang campur tangan, terlebih di tengah kebijakannya menaikkan pajak dan melonjaknya harga kebutuhan sehari-hari.

Libur Waisak di Ancol

Warga berwisata saat libur Waisak di Pantai Ancol, Jakarta, Kamis (23/5/2024). Menurut data dari PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, pada hari libur Waisak jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata itu hingga pukul 16:59 WIB mencapai 48 ribu orang. ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/rwa.

Peran Negara di Tengah Seretnya Daya Tarik Wisata

Pemerintah melalui Kemenparekraf, dalam siaran pers pada Sabtu (23/11), mengklaim dukungan untuk memaksimalkan pencapaian target pariwisata Nataru 2024/2025.

Kemenparekraf menyiapkan beberapa strategi: melakukan penyusunan dan sosialisasi wisata yang aman, nyaman, dan menyenangkan; serta visitasi destinasi wisata yang diperkirakan bakal ramai dikunjungi wisatawan, seperti Taman Safari di Puncak Bogor dan Ancol di Jakarta.

Bandara di Bali, yang biasanya ramai oleh kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara, disiapkan agar memberi pelayanan yang baik dan nyaman. Kemenparekraf juga bekerja sama dengan para mitra untuk merancang promo-promo Natal dan tahun baru serta menawarkan beragam paket wisata.

Strategi lainnya adalah melakukan kampanye jalan-jalan akhir tahun dan menyelenggarakan 10 acara daerah, 3 agenda nasional, dan 4 perhelatan tingkat internasional, selama periode Desember 2024-Januari 2025. Harapannya, masyarakat antusias untuk liburan Nataru.

Tak bisa disangkal, liburan Nataru menjadi momen penting untuk menggerakkan perekonomian di sektor pariwisata. Dampaknya terhadap omzet sangat bervariasi, bergantung pada bidang usahanya.

Selain itu, perputaran uang tunai selama libur Nataru tahun 2024/2025 diproyeksikan meningkat. Kemenparekraf memperkirakan, potensi perputaran uang dari wisatawan lokal mencapai Rp117,3 triliun, sedangkan dari pelancong mancanegara bekisar Rp22,55 triliun sampai Rp29,20 triliun.

Baca juga artikel terkait KELAS MENENGAH atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Mild report
Kontributor: Suli Murwani
Penulis: Suli Murwani
Editor: Fadli Nasrudin