tirto.id - Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.
Penulis yang juga sastrawan Seno Gumira Ajidarma pernah menulis hal tersebut. Dengan getir, Seno ingin menunjukkan kepada para pekerja di Ibukota, bahwa sering kali bekerja tanpa jeda menikmati hidup adalah sebuah kesia-siaan. Ia serupa mesin, otomatik, dan tanpa perasaan.
Ada banyak cara menikmati hidup, membaca buku, mendengarkan musik, menonton film, ataupun piknik. Semua itu merupakan bentuk relaksasi agar hidup tidak kepalang tegang dan suntuk. Piknik dan liburan memberikan kesegaran bagi manusia.
Sebuah studi dari State University of New York di Oswego yang melibatkan 12.000 orang berusia antara 35 sampai 57 tahun, menunjukkan bahwa mereka yang liburan setahun sekali memiliki harapan hidup 20 persen lebih tinggi dari yang tidak liburan. Sementara riset dari perusahaan perjalanan, Expedia menunjukkan, 34 persen pekerja yang baru pulang dari liburan bekerja lebih efektif daripada yang tidak pernah sama sekali.
Kebutuhan Sekunder Kelas Menengah
Bagi sejumlah kalangan, liburan sudah menjadi sebuah kebutuhan. Beragam siasat dijalankan agar hasrat plesiran dapat dipenuhi. Simak cerita dari Farchan Noor Rachman, seorang pegawai pajak di Jakarta yang juga dikenal sebagai travel blogger. Farchan sudah melintas beragam tempat wisata. Ulasan destinasi wisata yang ia datangi banyak dimuat di media travelling di Indonesia.
Menariknya, sebagian besar jalan-jalan yang ia lakukan berasal dari kantong sendiri. Bagaimana Farchan dapat mengakomodasi hobi jalan-jalannya di saat hidupnya masih harus menanggung beban cicilan rumah, kebutuhan sehari-hari, cicilan mobil, dan kebutuhan transportasi harian?
"Buat saya travelling sudah jadi kebutuhan, tapi kebutuhan sekunder," kata Farchan.
Ia punya banyak cara dan trik agar anggaran liburan dan jalan-jalan tidak mengganggu kebutuhan yang lain. Salah satunya dengan melacak tiket promo wisata yang murah dan menyusun itinerary atau rencana perjalanan berdasarkan destinasi tiket tersebut. Tak lupa, Farchan juga membuat tabungan liburan dengan menyisihkan uang setiap bulan.
Farchan dan istrinya selalu berusaha mencari celah dan cara untuk bisa jalan-jalan.
Berbekal pengalaman bersama teman-temannya, Farchan mengaku bisa mendapatkan hotel berbintang murah, tiket pesawat murah, dan lokasi makan murah jika sering mengulik wisata. Ini ia buktikan ketika baru menikah, Farchan dan istrinya menjalani bulan madu di Turki. Biaya perjalanan yang seharusnya bisa menghabiskan puluhan juta, bisa ditekan sampai sangat murah.
Farchan tidak sendiri. Masih banyak kelompok kelas menengah lain yang menjadikan liburan sebagai sebuah kebutuhan yang tidak boleh diabaikan. Ada Sukma Kurniawan, seorang pekerja lepas yang cukup beruntung karena justru dibayar untuk jalan-jalan.
Sukma merupakan salah satu pelancong profesional yang kerap mendapatkan kontrak cukup lumayan dari sponsor. Pelancong profesional adalah mereka yang bekerja untuk menunjukan destinasi wisata, sekaligus mempromosikan lokasi itu untuk kepentingan sponsor seperti maskapai penerbangan, majalah traveling, hotel, atau perusahaan jasa perjalanan.
Profesi ini semakin banyak ditemui karena banyak kelompok kelas menengah Indonesia yang menggemari liburan dan destinasi wisata asing yang jarang ditemui. Dengan adanya kemampuan ekonomi yang lebih tinggi, ongkos liburan bukan lagi masalah.
Meski mencari nafkah dari bisnis wisata, tetapi Sukma juga melakukan perjalanan tanpa sponsor. Ia melakukan itu ketika berlibur bersama keluarganya. Dananya diambil dari fee-nya sebagai pelancong profesional. Sukma mengaku untuk pendanaan ia berkonsultasi dengan istrinya. Setelah kebutuhan seperti cicilan, kebutuhan anak, dan belanja bulanan terpenuhi, biasanya kelebihan uang itu digunakan untuk jalan-jalan.
"Kalo semacam saya yang pendapatannya bulanan, kalau dapat lumayan, nah, di situ kita biasanya merencanakan yang jauh," kata pria berusia 35 tahun itu.
Kelas Menengah dan Kebutuhan Wisata
Farchan dan Sukma merupakan bagian dari kelas menengah Indonesia yang kini tumbuh sangat pesat. Badan Pusat Statistik (BPS), menyebut kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang memiliki penghasilan antara Rp1,5 –Rp3 juta per bulan. Sementara Asian Development Bank (ADB), mendefinisikan kelas menengah sebagai populasi yang memiliki pengeluaran harian per kapita sebesar USD 2-20 per hari.
Data Bank Dunia menunjukkan jumlah kelas menengah Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan setelah krisis finansial melanda tahun 1997/1998. Pada periode tahun 1999 hingga 2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dari 0 persen menjadi 6,5 persen.
Pada periode ini, jumlah konsumen kelas menengah melonjak hingga 50 juta menjadi 130 juta, dan diwarnai dengan kenaikan rata-rata jumlah kekayaan. Berdasarkan data Credit Suisse Group AG pada Oktober 2012 sebagaimana dilansir laman Bloomberg pada November 2012, jumlah kekayaan per orang dewasa Indonesia meningkat hingga lima kali lipat menjadi USD 12.000 selama kurun waktu tersebut.
Dengan peningkatan jumlah penghasilan dan kekayaan, apakah ada pola konsumsi yang berubah? Farchan dalam hal ini bisa menjadi satu contoh kelompok kelas menengah yang menjadikan traveling atau liburan sebagai kebutuhan dasar.
Seiring pertumbuhan ekonomi yang pesat, pola konsumsi juga berubah. Boston Consulting Group (BCG) memperkirakan jumlah konsumen “kelas menengah dan makmur” di Indonesia mencapai 74 juta pada tahun 2014. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 141 juta pada tahun 2030. Sementara McKinsey memperkirakan 45 juta penduduk berada di “kelas konsumtif”.
McKinsey memperkirakan angka penduduk “kelas konsumtif” ini meningkat lagi menjadi 135 juta pada tahun 2020. Sementara Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang sangat signifikan sejak tahun 1980-an. BI melansir sekitar 5 dari 10 penduduk Indonesia berada dalam kategori kelas menengah.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Middle Class Consumer Survey 2015 yang diselenggarakan oleh Middle Class Institute (MCI), SWA dan Inventure, ada keunikan perilaku kelas menengah Indonesia terkait waktu luang dan persepsi liburan. Menggunakan metodologi Focus Group Discussion (FGD) dan in-depth interview dengan Jumlah responden 2.277 orang, penelitian ini melibatkan kelas menengah dari Jabodetabek, Surabaya, Denpasar, Medan, Yogyakarta, Balikpapan, Bandung, Semarang, dan Makassar.
Hasil riset menunjukan, wisata alam menjadi masih menjadi destinasi favorit. Sebanyak 58 persen responden lebih memilih liburan ke Gunung, Pantai, atau jelajah alam. Dilanjutkan dengan water park sebanyak 20 persen, wahana anak sebanyak 14 persen, kebun binatang sebanyak 6 persen dan museum 1 persen.
Rata-rata responden mengaku, dalam setahun mereka bisa melakukan jalan-jalan sebanyak dua kali yakni saat liburan anak dan akhir tahun. Liburan itu biasanya juga disesuaikan dengan masa libur hari raya keagamaan.
Menariknya, pergi ke mal juga dianggap salah satu bentuk relaksasi dan liburan akhir pekan. Lebih dari 74 persen responden mengatakan mereka memilih pergi ke mal saat akhir pekan, 64 persen berkunjung ke saudara, 47 persen menuju tempat wisata, 44 persen memilih tetap di rumah. Saat di mal, sebagian besar kelas menengah mengaku menghabiskan waktunya untuk belanja, makan bersama, atau sekadar jalan, dan nonton bioskop.
Dalam "Indonesia Middle Class Consumer Survey 2015" juga terungkap bahwa liburan ke luar negeri juga menjadi tren tersendiri. Murahnya tiket pesawat menjadikan liburan antar negara bukan lagi halangan.
ASEAN menjadi kawasan destinasi wisata favorit karena masih terjangkau. Sebanyak 80 persen responden menunjukan bahwa mereka setidaknya pernah liburan ke salah satu negara di ASEAN. Namun, seiring dengan naiknya daya beli, kelas menengah mulai mengincar destinasi wisata ke luar ASEAN seperti Jepang, Australia, Timur tengah dan Eropa.
Memanfaatkan Perilaku Kelas Menengah
Budaya hedonisme telah mengubah perilaku masyarakat kelas menengah Indonesia. Liburan yang dulunya hanya kebutuhan sampingan, kini sudah menjadi kebutuhan yang tidak boleh diabaikan. Perubahan perilaku ini tidak boleh dilewatkan begitu saja oleh pemerintah untuk menggairahkan sektor pariwisata. Apalagi, Indonesia masih menggantungkan asanya pada wisatawan lokal.
Berdasarkan data BPS pada 2014 lalu, jumlah wisatawan lokal Indonesia berjumlah 41. 396.303 orang sementara wisatawan asing sebesar 9.434.411 orang. Artinya, wisatawan lokal masih menjadi pasar yang paling besar dalam industri pariwisata Indonesia.
Jika sektor pariwisata ini bisa digarap dengan baik, maka kontribusi pada perekonomian bisa terus ditingkatkan. Pada 2014 saja, misalnya, kontribusi pariwisata terhadap PDB senilai Rp391,49 Triliun atau 4,01 persen dari PDB. Ini meningkat dari Rp362,2 Triliun pada 2013. Besaran tenaga kerja yang diserap juga terus mengalami kenaikan. Jika pada 2013 ada 9,61 juta orang yang bekerja dalam sektor pariwisata, pada 2014 ada 10,32 juta orang yang bekerja dalam sektor ini.
Sumbangan terhadap pajak tidak langsung pariwisata Indonesia juga terus mengalami kenaikan. Jika pada 2013 senilai Rp13,26 Triliun, maka pada 2014 naik menjadi Rp14,21 triliun. Untuk itu promosi dan pengembangan potensi wisata perlu digalakkan.
Catatan penting adalah perlunya menggagas wisata berkelanjutan agar potensi ini bisa terus dinikmati tanpa merusak alamnya. Jangan sampai atas nama kemajuan ekonomi atau peningkatan pendapatan, industri pariwisata kita mengeksplotasi besar besaran, merusak alam dan lingkungan, untuk kemudian merugikan generasi berikutnya.