tirto.id -
Perkataan satire di atas dinukil dari esai bertajuk "Nobody Knows My Name" yang ditulis novelis cum kritikus Amerika Serikat, James Baldwin. Naskah itu lahir pada 1961, di tengah kondisi masyarakat AS yang timpang: yang kaya makin kaya, yang miskin kian miskin.
Seturut laporan BBC, pada 1960, 43 persen orang kulit putih mampu menempuh pendidikan selama empat hingga lima tahun di sekolah menengah. Sementara hanya 20 persen orang Afrika-Amerika yang mampu mengenyam hal yang sama.
Pada periode John F. Kennedy memimpin, memang jamak masyarakat AS yang dilimpahi kemakmuran. Namun, tak sedikit pula yang berada di jurang kemiskinan, dan itu erat dengan diskriminasi rasial.
Pada 1966, sekitar 41 persen orang kulit hitam hidup dalam kemiskinan, yakni mereka yang cenderung mengantongi upah rendah dan mengalami diskriminasi, baik di sekolah maupun tempat kerja.
James Baldwin tidak asal bicara. Bergumul dengan kemiskinan memang mahal harganya, tidak hanya secara finansial tetapi juga mental. Ia melihat, masyarakat berpenghasilan rendah cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok, seperti rumah dan makanan. Kalau kebutuhan fundamental saja tergolong mahal bagi mereka, bisa kita bayangkan bagaimana dengan keperluan sekunder.
Relevansi perkataan novelis asal Amerika Serikat itu tak lekang oleh waktu. Biaya hidup sebagai masyarakat miskin sangat tinggi, dalam hampir semua aspek, mulai dari pendidikan hingga akses perbankan. Komparasinya tentu saja adalah pendapatan mereka yang amat rendah.
Sebab perbankan berorientasi pada bisnis, mereka yang tidak meyakinkan secara ekonomi (berpenghasilan rendah) sudah pasti sukar mengakses rekening bank dan kredit yang aman. Dalam aspek lain, tingginya biaya pendidikan yang layak juga membuat masyarakat miskin muskil meningkatkan taraf kognitifnya.
Dampak Turun-temurun yang Tak Terbantahkan
Kemiskinan tak hanya lekat dengan tingkat konsumsi yang berhubungan dengan aspek finansial. Lebih dari itu, orang miskin juga terdampak secara psikologis.
Terbatasnya akses ke rekening bank dan kredit yang aman, misalnya, secara tidak langsung membuat orang miskin bergantung pada pinjaman berbunga selangit. Seiring dengan itu, banyak orang justru melimpahkan kesalahan pada korban. Mereka bilang, korban pinjaman online (pinjol) cenderung kurang literasi dan tidak terbuka kepada kerabat.
Tekanan dari penagih utang, ketidakberpihakan orang-orang sekitar, juga abainya pemerintah sebagai pemegang kuasa, secara langsung membuat orang miskin kian terbebani. Tak pelak, hal itu menyebabkan korban pinjol merasa terasing dan terganggu secara mental.
Ketidakmampuan membayar pinjaman bermargin tinggi berpotensi membuat seseorang terlempar ke jurang kemiskinan, bahkan hidup sebagai tunawisma. Hal itu jelas mengganggu hasil akademis anak-anak dan kesehatan mental mereka. Laporan Royal Society for Public Health (RSPH) telah mendokumentasikan penelitian terkait dampak tersebut secara terang.
"Masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan peningkatan isolasi sosial, hanyalah sebagian kecil dampak negatif yang dirasakan kelompok rentan (masyarakat miskin)," kata Michael Sheen, wakil presiden RSPH.
Kecemasan finansial yang dirasakan orang tua jelas berdampak pada perkembangan anak-anaknya. Survei yang ditujukan kepada guru di Inggris menunjukkan, 87 persen pendidik mengatakan bahwa rendahnya pendapatan orang tua berdampak serius terhadap hasil belajar siswa.
Dampak itu bisa secara gamblang kita lihat dari analogi yang paling sederhana. Anak dari keluarga miskin cenderung hanya mengandalkan pengajaran dari guru di sekolah. Mereka sukar mengakses buku yang berguna menunjang wawasannya. Sebut saja perihal ketersediaan perpustakaan di Indonesia: pada 2016, kebutuhan akan perpustakaan di tanah air hanya terpenuhi sebanyak 30 persen, jauh dari kata ideal.
Itu hanya satu dari sekian banyak problem yang menerpa masa perkembangan anak-anak. Gawai, yang saat ini menjadi kebutuhan pokok anak sekolah; kebutuhan les di luar kelas yang kian mendesak; juga persoalan gizi yang tak bisa diabaikan; semuanya muskil digapai oleh anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Orang tuanya sudah terlampau repot memikirkan kebuluran anak-anaknya sehari-hari.
Para penguasa berdalih telah menyediakan layanan cuma-cuma, baik urusan kesehatan maupun fasilitas pendidikan. Namun, mereka tutup mata pada persoalan akar rumput. Mengutip keluh kesah kelompok diskusi pria dan wanita miskin di Kenya, sebagaimana ditulis oleh Jurnal Finance & Development Volume 37, Nomor 4 (2000):
Seorang Miskin yang Rendah Diri lagi Tak Berdaya
Kendati ada perbedaan dalam cara kemiskinan dialami oleh berbagai kelompok di banyak tempat, terdapat kesamaan mencolok dalam pengalaman kemiskinan di hampir semua negara, dari Rusia sampai Brasil, Nigeria hingga Indonesia. Kehidupan masyarakat miskin bertalian dengan ciri ketidakberdayaan dan ketidakbersuaraan.
Hidup di lingkungan serba sulit dan terbatas membuat orang miskin secara tidak sadar menjadi lebih rendah diri. Ketidakberdayaan membuat pilihan hidup dan kualitas interaksi mereka terbatas, baik dengan organisasi nirlaba, pasar, pengusaha, apalagi negara.
Temuan IMF yang ditulis oleh Deepa Narayan secara gamblang membeberkan perspektif kemiskinan dari sudut pandang si papa. Ketidakberdayaan merupakan keluaran dari pelbagai hal buruk yang saling terkait, yang apabila digabungkan, membuat orang miskin sukar keluar dari jurang kemiskinan.
Belum lagi persoalan korupsi dan ngetren-nya kolusi di lingkar profesional. Urusan mendasar seperti peningkatan keterampilan saja mereka masih terhambat, apalagi problem dapur politik tempat kerja.
Banyak orang miskin mendefinisikan kondisinya sebagai ketidakmampuan mengendalikan hidup. Jika seseorang ingin melakukan sesuatu dan pada saat yang sama tak punya daya untuk melakukannya, itu adalah kemiskinan. Inilah yang kemudian menggiring kesimpulan bahwa orang miskin cenderung berpikir dalam jangka waktu yang amat singkat.
Pola pikir cetek tersebut lahir dari kondisi mereka yang serba terbatas. Jangankan memikirkan masa depan anak, kebutuhan makan per hari saja masih belum terpenuhi.
"Anda tidak dapat memikirkan masa depan karena Anda hanya bisa melihat bagaimana cara bertahan hidup hari ini," ujar sekelompok anak muda di Ekuador.
Akibatnya, anak-anak yang hidup dalam kemiskinan lebih besar kemungkinannya untuk menganggap dirinya tidak berharga. Sejak lama, banyak studi menyimpulkan hal sama: ada keterkaitan erat antara harga diri yang rendah dan masalah mental, seperti depresi, kecemasan, bahkan percobaan bunuh diri.
Bukan Berarti Semua Orang Miskin Rendah Diri
Kendati pada kenyataannya, berdasarkan sejumlah data penelitian di atas, kemiskinan berperan besar membentuk karakter sosial dan masa depan anak, bukan berarti semua anak papa mengalaminya. Sebab, kemiskinan bukanlah faktor tunggal dan dampaknya tidak secara langsung. Kesimpulan tersebut diperoleh dari hasil studi yang dilakukan oleh Takeo Fujiwara dan kolega pada 2019.
Sudah banyak penelitian induk yang menemukan konsekuensi negatif dari kemiskinan. Namun, bersama tiga rekannya, Fujiwara ingin mendalami alasan di balik dampak tersebut: mengapa kemiskinan anak menyebabkan harga diri rendah?
Mereka pun menggarap studi tersebut dengan basis data anak-anak di Jepang. Fujiwara melakukan survei kualitatif melalui kuesioner terhadap lebih dari 1.500 anak, yang terdiri atas tiga level di jenjang sekolah, mulai dari tingkat SD hingga SMP.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa keterkaitan antara kemiskinan anak dan rendahnya harga diri dipengaruhi oleh keterlibatan orang tua yang buruk. Perihal ini dihubungkan secara tidak langsung dengan kesehatan mental orang tua dan modal sosial yang buruk. Dampak ini saling bertalian, antara modal sosial, keterlibatan orang tua, serta efek rendah diri yang ditimbulkan.
Dengan kata lain, penelitian yang terbit di Frontiers Psychology tersebut menafsirkan bahwa kemiskinan bukanlah faktor tunggal penyebab rendahnya harga diri anak. Ada faktor sosial lain yang lebih besar pengaruhnya, meskipun secara tidak langsung hal itu muncul karena kemiskinan.
Melompat dua tahun sebelumnya, awal 2017, Dr. Sheehy-Skeffington dan Jessica Rea melakukan penelitian serupa. Namun, keduanya mengambil fokus pada dampak pengambilan keputusan yang dialami oleh anak-anak miskin.
Selain kepercayaan diri yang rendah, kemiskinan juga memengaruhi gaya pengambilan keputusan anak-anak sepanjang hidupnya. Alih-alih berfokus pada masa depan dan memikirkan keputusan jangka panjang, mereka sering kali lebih mempertimbangkan penanganan masalah penuh tekanan yang ada saat ini.
Orang-orang yang hidup di jurang kemiskinan cenderung enggan mengambil risiko. Mereka memilih menghargai tradisi. Itu secara terang tecermin dalam pola asuh yang lebih ketat dan pilihan karier yang berorientasi pada kestabilan keuangan dan pekerjaan.
Kecuali ada gebrakan secara struktural, baik keadaan finansial masyarakat miskin ataupun modal sosial orang tua terhadap anak, masalah kemiskinan yang "turun-temurun" akan terus terjadi. Maka itu, studi yang dilakukan Fujiwara menawarkan solusi terpusat, tak hanya dari tingkat sekolah tetapi juga pemerintah. Penguatan modal sosial sangat penting guna meningkatkan harga diri anak.
Editor: Irfan Teguh Pribadi