tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat standar hidup layak orang Indonesia pada 2024 mencapai Rp12,3 juta per tahun, atau setara dengan Rp1,02 juta per bulan. Posisi ini meningkat 3,71 persen dibandingkan pada 2023 yang hanya Rp11,89 juta per tahun, atau Rp990,9 ribu per bulan.
“Capaian ini meningkat Rp442 ribu atau 3,71 persen dibandingkan tahun sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan 2020-2023 yang sebesar 2,61 persen per tahun,” tulis BPS dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2024, dikutip Tirto, Jumat (15/11/2024).
Pada 2023, rata-rata pengeluaran warga Indonesia hanya Rp11,89 juta per tahun. Angka ini tercatat meningkat dibandingkan dengan pengeluaran riil per kapit pada 2022 yang tercatat Rp11,479 juta per tahun.
Sementara itu, pada 2021, BPS mencatat pengeluaran riil per kapita penduduk Indonesia hanya Rp11,15 juta per tahun. Sedangkan pengeluaran riil per kapita penduduk Indonesia pada 2020 hanya Rp11,01 juta.
Standar hidup layak dihitung BPS berdasarkan pengeluaran riil per kapita per tahun (yang disesuaikan). Standar hidup layak ini menjadi satu dari tiga dimensi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sementara dua dimensi lainnya adalah umur panjang dan hidup sehat serta dimensi pengetahuan.
Sementara, jika dilihat berdasarkan wilayah, Provinsi Jakarta memiliki pengeluaran riil per kapita tertinggi, yakni Rp19,95 juta per tahun atau sekitar Rp1,66 juta per bulan. Sementara itu, Provinsi Papua Pegunungan berada di posisi nilai terendah, tercatat dengan pengeluaran riil per kapita senilai Rp5,70 juta per tahun atau Rp475 ribu per bulan.
Meski data BPS menunjukkan standar hidup layak meningkat pada 2024, angka ini justru memunculkan keprihatinan. Mengingat angka tersebut jauh dari mencerminkan biaya hidup yang sebenarnya, terutama di kota-kota besar. Dengan standar hidup layak yang hanya Rp1 juta, daya beli masyarakat menjadi sangat rentan, dan banyak yang bergantung pada bantuan sosial untuk bisa bertahan hidup.
Yusuf menuturkan, dari sisi daya beli, angka Rp1,02 juta per bulan sangat memprihatinkan mengingat tingginya biaya hidup saat ini. Dengan nominal tersebut, seseorang akan sangat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan.
Sebagai ilustrasi, untuk biaya sewa kontrakan sederhana di pinggiran kota besar saja bisa mencapai Rp500 ribu per bulan, belum termasuk biaya listrik dan air. Ini berarti setengah dari standar hidup layak habis hanya untuk tempat tinggal. Sedangkan sisa Rp500 ribu tentu tidak mencukupi untuk kebutuhan makan sebulan yang minimal membutuhkan Rp50 ribu per hari atau Rp1,5 juta per bulan.
“Belum lagi kebutuhan transportasi, kesehatan, dan kebutuhan tak terduga lainnya,” ujar dia.
Begitu juga jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR), maka standar hidup layak yang dihitung oleh BPS masih cukup jauh gap-nya. Pada 2024, UMR terkecil saja sudah mencapai di atas Rp2 juta per bulannya. Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, misalnya sudah Rp2.038.005, Kabupaten Wonogiri Rp2.047.500, dan Kabupaten Sragen Rp2.049.000.
“Permasalahannya, mayoritas pekerja bekerja di sektor informal dengan upah di bawah UMR, sehingga mayoritas rakyat sebenarnya hidup di bawah standar hidup layak; di sinilah peran kehadiran BLT/bansos untuk mengisi gap tersebut,” ujar Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Sarmin, kepada Tirto, Jumat (15/11/2024).
Pertanyaannya, kata Wijayanto, apakah standar hidup layak tersebut benar-benar layak atau hanya understated? Karena jika mengambil contoh Jakarta saja dengan standar hidup layak Rp1,66 juta per-orang per bulan, atau Rp55.000 per orang per hari, maka sulit dan tidak bisa dikatakan layak.
Metodologis Perhitungan BPS Diragukan
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin, justru mengajukan kritik secara metodologis terhadap penghitungan dan penetapan standar hidup layak dari BPS berdasarkan pengeluaran per kapita riil. Metode ini, menurutnya sangat rancu dan paradoksal. Sebab, "standar hidup layak" justru dihitung dari biaya konsumsi yang dikeluarkan oleh rumah tangga.
“Padahal, konsumsi ini bisa saja rendah karena masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membeli barang lebih mahal, memiliki pendapatan yang terbatas, dan lebih berhati-hati dalam menggunakan uangnya,” jelas dia kepada Tirto, Jumat (15/11/2024).
Dengan pengeluaran ini, kata Achmad, besar kemungkinan mereka tidak dalam kondisi hidup layak, tetapi hidup dengan keterbatasan. Alhasil, standar yang digunakan kurang relevan dan presisi.
Jika disebut sebagai ‘standar hidup layak, maka pertanyaannya adalah di daerah Indonesia mana yang masyarakat bisa hidup dengan sejahtera hanya bermodalkan Rp1,02 juta per bulan? Sejahtera dalam artian tinggal di rumah beratap dengan kasur memadai, mengonsumsi makanan bergizi, dan mengenakan pakaian layak.
Jika BPS ingin mengestimasi standar hidup layak, maka seharusnya organisasi membuat perkiraan atau forecasting berapa pendapatan atau modal yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup layak. Bukan justru mendasarkan hitungan pada besaran pengeluaran.
“Dengan demikian, klaim standar hidup layak dari BPS ini secara metodologis saja sudah patut dipertanyakan (questionable),” jelas dia.
Menurut Achmad, jika bicara soal substansi dan jika dianggap klaim standar hidup layak dengan uang Rp1 juta per bulan dari BPS adalah benar, maka dalam skenario ini, standar hidup yang sangat rendah tentu akan membebani daya beli masyarakat.
Apalagi daya beli masyarakat saat ini cenderung melemah akibat tingginya inflasi, terutama pada bahan pangan dan energi. Ini diperburuk oleh ketimpangan regional. Sebagian besar wilayah terpencil atau pedesaan cenderung memiliki akses terbatas ke lapangan pekerjaan yang bergaji tinggi atau akses terhadap layanan publik yang terjangkau.
Lalu Apa Solusinya?
Untuk mencari solusi jangka pendek, Achmad menyarankan pemerintah dapat mempertimbangkan peninjauan kembali standar kelayakan hidup dengan menyesuaikan indikator kebutuhan dasar secara lebih realistis. Ini sangat diperlukan untuk merevisi standar hidup layak yang sebelumnya diajukan.
Selain itu, upaya penstabilan harga bahan pokok dengan program subsidi atau peningkatan efisiensi rantai distribusi dapat mengurangi tekanan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah.
Di sisi lain, solusi jangka panjang harus berfokus pada peningkatan daya beli secara berkelanjutan, baik melalui penciptaan lapangan kerja berkualitas tinggi, pemberdayaan ekonomi lokal, dan peningkatan akses terhadap pendidikan serta pelatihan keterampilan yang relevan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, kata Yusuf Rendy, diperlukan pendekatan multi-dimensi yang komprehensif. Program subsidi yang lebih tepat sasaran untuk kebutuhan pokok seperti pangan dan papan juga perlu diperluas. Pasalnya program seperti kartu sembako dan bantuan perumahan bisa menjadi solusi, namun harus dilengkapi dengan pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan tepat sasaran.
Selain itu, peningkatan keterampilan dan pendidikan masyarakat juga harus menjadi prioritas utama. Program pelatihan vokasi dan sertifikasi profesi, kata Yusuf, dapat meningkatkan daya saing tenaga kerja di pasar, sehingga mereka memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Di sisi lain, pengendalian inflasi dan stabilitas harga kebutuhan pokok juga harus menjadi prioritas pemerintah agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Tanpa pengendalian yang baik, upaya peningkatan kesejahteraan dapat tergerus oleh kenaikan harga barang dan jasa.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz