tirto.id - Pemerintah berambisi meloloskan diri dari perangkap pendapatan menengah atau middle income trap pada 2030. Middle income trap adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan, untuk bisa lolos dari pendapatan menengah dan menuju menjadi negara maju, maka pendapatan per kapita Indonesia harus berada di atas 10.000 dolar AS atau Rp150 juta per bulan selepas 2030 hingga 2045.
Saat ini pendapatan per kapita Indonesia ada di angka 4.700 dolar AS atau setara Rp73 juta (asumsi kurs Rp15.693 per dolar AS). Lalu, pendapatan per kapita Indonesia ditargetkan naik 5.500 dolar AS atau Rp86 juta di 2024 dan ditargetkan 10 ribu dolar AS hingga 2045.
“Berarti minimum income kita itu sekitar Rp10 juta per bulan. Nah, ini yang harus dicari sektor industri apa yang bisa membayar salary di Rp10 juta,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam HSBC Summit 2023 di The St Regis, Jakarta Selatan, Rabu (11/10/2023).
Keinginan Indonesia untuk lepas dari perangkap pendapatan menengah juga disampaikan oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Ketum Partai Gerindra yang juga merupakan bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) enggan warga Indonesia hanya digaji berbasis upah minimum regional (UMR) saja.
“Kita mau anak-anak kita, cucu-cucu kita bekerja dengan hasil yang cukup hasil yang memadai. Kita tidak ingin anak-anak Indonesia selalu UMR, UMR!” tegas Prabowo.
Namun, untuk menuju ke sana tentu tidak mudah. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menilai, butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk gaji pekerja minimal Rp10 juta per bulan. Sebab saat ini rata-rata gaji pekerja hanya sekitar Rp3 juta.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata upah buruh, karyawan, atau pegawai secara nasional mencapai Rp2,94 juta per bulan pada Februari 2023. Angka ini meningkat dibanding Februari 2022 yang rata-ratanya Rp2,89 juta per bulan.
Berdasarkan sektornya, rata-rata upah buruh nasional tertinggi pada Februari 2023 berasal dari real estate Rp4,82 juta per bulan. Kemudian, sektor aktivitas keuangan Rp4,81 juta per bulan dan pertambangan Rp4,59 juta per bulan.
Di sisi lain, rata-rata upah buruh terendah nasional yaitu pada sektor jasa lainnya Rp1,79 juta per bulan. Lalu, disusul oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Rp2,06 juta per bulan, dan penyediaan akomodasi dan makan minum Rp2,14 juta per bulan.
“Belum lagi jika kita hitung untuk informal yang gajinya jauh lebih rendah lagi. Bahkan ada pekerja informal yang digaji hanya Rp500 ribu per bulan,” kata Huda kepada reporter Tirto, Jumat (20/10/2023).
Sementara jika dilihat berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) saat ini, Kabupaten Karawang, Jawa Barat merupakan daerah dengan UMR tertinggi di Pulau Jawa dan Indonesia pada 2023. Besaran UMR kabupaten ini tercatat sebesar Rp5.176.179.
Dua wilayah lain di Jawa Barat, yakni Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi menempati peringkat kedua dan ketiga UMR tertinggi nasional tahun ini dengan nilai masing-masing Rp5.158.248 dan Rp5.137.574.
Ketiga daerah itu bahkan mengalahkan upah minimum ibu kota. Tercatat, besaran UMR DKI Jakarta pada 2023 hanya Rp4.901.798.
Menurut Huda, sebenarnya bisa saja pemerintah menetapkan UMR minimal Rp10 juta per bulan. Tapi pertanyaannya, kembali lagi apakah perusahaan di Indonesia mampu membayar upah segitu.
“Jadi saya rasa kondisi gaji mencapai Rp10 juta per bulan akan terjadi dalam jangka sangat panjang. Ketika itu, harga bensin udah jadi Rp100 per liter karena inflasi," ujar Huda.
Bagaimana Respons Pengusaha?
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani menilai, Indonesia hanya bisa menjadi negara maju jika bisa menciptakan produktivitas. Minimal, kata Shinta, produktifitas harus tiga kali lipat diciptakan pada PDB 2023 dengan asumsi jumlah penduduk yang sama.
“Kalau pekerja Indonesia secara kumulatif bisa menciptakan tingkat produktifitas ini, gaji Rp10 juta per bulan tidak akan menjadi masalah,” kata Shinta kepada reporter Tirto, Jumat (20/10/2023).
Masalahnya, kata Shinta, untuk mencapai ke tingkat produktifitas tersebut, perlu upgrade skills pekerja. Sebab, tidak akan ada negara yang menjadi negara maju karena membayar mahal pekerja unskilled atau low skilled karena tidak make sense dan tidak sustainable secara ekonomi.
“Jadi, kita perlu berfokus pada peningkatan skil dan produktifitas pekerja daripada pada angka pendapatannya,” kata Shinta.
Shinta menuturkan, secara natural, gaji naik akan mengikuti peningkatan produktifitas dan nilai tambah yang diciptakan oleh pekerja di perusahaan. Serta berdasarkan kebutuhan dan daya saing pekerja di pasar tenaga kerja.
“Kapan upah Rp10 juta tersebut bisa menjadi standar upah pekerja, ya tergantung pada kecepatan transformasi skills dan struktur ekonomi Indonesia untuk menciptakan produktifitas tersebut," tutur dia.
Dia mencontohkan, dalam 10 tahun terakhir, struktur pekerja Indonesia tidak berubah, tetap didominasi oleh unskilled workers. Sementara produktifitas komparatif Indonesia dengan negara-negara ASEAN-5 juga biasa saja, malah cenderung turun karena stagnasi pertumbuhan kemampuan tenaga kerja.
Jika kondisi di atas bisa diubah dalam 10 tahun mendatang, menjadi didominasi oleh skilled labour dengan parameter pendidikan lulusan SMA ke atas, maka Indonesia bisa mencapai pertumbuhan produktifitas negara maju pada 2036-2038.
Sebaliknya, kata dia, bisa juga tidak akan pernah sama sekali kalau tingkat kecepatan transformasi skill-nya masih sama dengan 10 tahun terakhir. Mengingat bonus demografi didapat Indonesia akan selesai pasca 2035 sehingga engine of growth nasional tidak mencukupi kebutuhan untuk menciptakan lompatan produktivitas tersebut.
Dia menambahkan, saat ini sektor industri yang bisa menggaji karyawan dengan besaran Rp10 juta hanya sektor jasa. Khususnya sektor-sektor yang terkait teknologi IT, e-commerce, konsultan, dan sektor-sektor jasa lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja profesi dengan tingkat pendidikan minimal S1 dan disertai dengan sertifikasi profesi tertentu.
“Jadi bisa disimpulkan bahwa tingkat upah tersebut tidak mungkin dicapai tanpa skills transformation yang signifikan,” kata dia.
Tidak Cukup Hanya dengan 10 Ribu Dolar AS
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal menilai, untuk menuju menjadi negara maju dan keluar dari pendapatan kelas menengah tidak cukup hanya dengan pendapatan per kapita GDP-nya berada di 10 ribu dolar AS. Karena standar Bank Dunia berada di 13 ribu dolar AS GDP per kapita untuk bisa menjadi standar negara maju.
“Jadi acuannya bukan 10 ribu dolar AS. Kecuali mau menuju negara maju harus diangkat GDP per kapitanya,” kata dia kepada Tirto, Jumat (20/10/2023).
Jika bicara soal upah, lanjut Faisal, income per kapita Indonesia yang menjadi perhatian adalah masalah ketimpangan antar daerah yang masih berbeda. UMR antara Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan jauh berbeda.
“Jadi tidak bisa dipukul rata. Lantas dihubungkan dengan standar negara maju,” kata Faisal.
Dia menambahkan, untuk menjadi negara maju, Indonesia harus dengan mendorong industrialisasi lantaran hal ini dapat menciptakan nilai tambah baru. Selain itu, pertumbuhan rata-rata Indonesia harus berada di 6,5 - 7 persen sebelum 2045.
“Yang harus diperhatikan pemerataan kita tidak hanya ingin mencapai tingginya pendapatan itu pada kelompok orang tertentu saja, selama ini kan kesenjangan upah tinggi harus perhatikan,” kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz