tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengakui bahwa menjadi negara maju dengan pendapatan US$26.200 per kapita adalah tantangan yang sangat besar bagi Indonesia. Apalagi, pendapatan per kapita Indonesia pada 2023 baru sebesar US$4.806.
Tidak hanya itu, jika melihat tiga tahun ke belakang, Indonesia hanya mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di level 4,7 persen. Sektor Investasi dan industri manufaktur nasional pascapandemi pun masing-masing hanya tumbuh di kisaran 4,0 persen dan 4,3 persen.
Padahal, untuk menjadi negara maju sebelum 2045, Indonesia harus mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi di angka 6–8 persen per tahun.
“Kesempatan untuk Indonesia ingin menjadi negara maju di 2045, ini berarti kalau menjadi negara maju dan high income itu adalah US$26.200 per kapita. Kalau kita lihat pada situasi hari ini [masih] di US$4.806 per kapita. Ini adalah tantangan yang sangat besar bagi kita untuk mencapai aspirasi tersebut,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja DPR dan Pemerintah, di Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Sri Mulyani pun membandingkan upaya Indonesia untuk menjadi negara maju dengan negara-negara lainnya. Menurutnya, sebuah negara biasanya mencapai status negara maju hanya dalam jangka waktu satu dekade atau bahkan kurang.
Namun, bagi Indonesia yang masih terjebak dalam pendapatan menengah (middle income trap) membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapainya.
“Seperti Argentina itu 40 tahun. Mereka tadinya dikenal sebagai negara maju pada akhir abad ke-14 dan sekarang mengalami step back,” ujarnya.
Selain itu, ada pula Korea Selatan yang baru menjadi negara maju setelah 14 tahun, yakni dari 1980 – 1994. Meski begitu, tidak seperti Indonesia, sektor pendapatan, investasi, hingga manufaktur Negeri Ginseng itu mengalami pertumbuhan masif, yakni rata-rata pertumbuhan pendapatan di level 8,8 persen, investasi 10,6 persen, dan sektor manufaktur 10,7 persen yang didukung oleh industri elektronik dan transportasi.
“Komparasi seperti ini yang tentu perlu hati-hati untuk diterapkan adalah periode 2021-2023 dibandingkan 1980-1994, di mana pada saat itu digital technology baru pada saat yang masih sangat awal. Makanya manufacturing adalah elektronik. Kalau sekarang masuk kepada digital technology, makin advance dengan AI,” jelas Sri Mulyani.
Karenanya, Indonesia perlu beradaptasi pada konteks perbandingan itu, terutama dalam konteks perkembangan teknologi. Pada saat yang sama, hal yang lebih penting bagi Indonesia adalah mengantisipasi pertumbuhan penduduk yang pada 2045 nanti diperkirakan bakal mencapai 324 juta jiwa.
Meski mengalami pertumbuhan penduduk, pada 2045 nanti, penduduk usia produktif akan mulai turun karena mulai terjadi penuaan. Pada saat itu, komposisi penduduk kelas menengah diperkirakan akan mencapai 70 persen dari total penduduk, dengan jumlah penduduk perkotaan sebanyak 73 persen.
“Kalau dari sisi tenaga kerja, relatively yang disebut fertilitas dan jumlah kualitas SDM kita itu adalah kontribusinya sama, 1,6 persen,” ucap Sri Mulyani.
Dengan kondisi ini, menurutnya, Indonesia perlu mendorong pertumbuhan investasi yang lebih tinggi. Ini bisa dilakukan dengan lebih giat menarik foreign direct investment (FDI). Sektor-sektor yang bisa ditawarkan untuk FDI di antaranya sekotor hilirisasi, energi berkelanjutan, hingga sektor teknologi dari industri semi konduktor dan data center.
“Kenaikan yang terbesar lainnya adalah dari productivity. Total productivity yang meningkat itu artinya dengan input yang sama, labour (tenaga kerja), investment (investasi) dikombinasi dalam sebuah fungsi produksi, memberikan output yang lebih tinggi,” jelas Sri Mulyani.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi