tirto.id - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyesalkan vonis ringan Majelis Hakim Pengadilan Militer I-02 Medan terhadap kasus dugaan kekerasan yang dilakukan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Deli Serdang, Sumatera Utara. Kasus ini mengakibatkan meninggalnya anak berinisial MHS (16).
Arifah mendorong oditur militer atau penuntut umum untuk melakukan banding atas vonis 10 bulan yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa Sertu Riza Pahlivi.
“Mendorong Oditur Militer mengajukan upaya banding dan Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan terhadap putusan tersebut melalui mekanisme hukum yang berlaku agar putusan memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya,” kata Arifah dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (26/10/2025).
Setiap bentuk kekerasan terhadap anak, kata Arifah, adalah tindak pidana yang tidak dapat ditoleransi dan harus diproses secara transparan, adil, serta memberikan efek jera yang setimpal.
“Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Negara wajib hadir memastikan keadilan dan perlindungan terbaik bagi setiap anak Indonesia,” lanjutnya.
Kasus ini bermula pada 24 Mei 2024, ketika MHS dan temannya berada di lokasi tawuran di Jalan Pelican, Deli Serdang. Dalam upaya pembubaran tawuran, MHS diduga ditangkap dan dianiaya Bintara Pembina Desa (Babinsa)hingga mengalami luka berat dan meninggal dunia setelahnya. Korban diketahui tidak terlibat dalam tawuran tersebut.
Ibu korban kemudian melapor ke Detasemen Polisi Militer I/5 dengan nomor laporan TBLP-58/V/2024. Setelah lebih dari satu tahun proses hukum berjalan, pengadilan militer menjatuhkan vonis pada 20 Oktober 2025 dengan hukuman pidana penjara selama 10 bulan dan pembayaran restitusi sebesar Rp12,7 juta.
Hukuman pidana ini, menurut Arifah, lebih ringan dari ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU tersebut, ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak mencapai 15 tahun penjara.
Arifah mengajak seluruh pihak, termasuk institusi TNI, lembaga peradilan militer, dan aparat penegak hukum lainnya, untuk memperkuat koordinasi dalam memastikan setiap bentuk kekerasan terhadap anak ditangani secara transparan, profesional, dan berperspektif korban.
Arifah juga menilai, seharusnya peradilan dilakukan di pengadilan umum. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengatur bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan prajurit semestinya diperiksa di peradilan umum.
“KemenPPPA menghormati seluruh proses hukum yang tengah berjalan, termasuk kewenangan peradilan militer. Namun kami mendorong agar seluruh aparat penegak hukum, baik di peradilan umum maupun militer, menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap proses dan putusan,” ujar Arifah.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Intan Umbari Prihatin
Masuk tirto.id


































