tirto.id - Sofyan Tsauri (42), pedagang bubur ayam dan obat-obatan herbal di kawasan Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, terlihat biasa-biasa saja. Tapi ternyata dia bukan orang ‘biasa’ seperti kebanyakan dari kita. Pria berperawakan gempal nan tinggi ini juga bekas polisi, dan, teroris.
Sofyan memulai karier kepolisian di pos Sabhara Polres Depok selepas lulus dari Sekolah Polisi Negara(SPN) pada 1998. Empat tahun kemudian, ia ditempatkan di Aceh dalam penugasan Perintis Sabhara. Di sana hidupnya berubah 180 derajat.
Dia terkontaminasi pemikiran para teroris, terutama tokoh utama Al-Qaeda Asia Tenggara, Aman Abdurrahman. Dia pun resmi bergabung ke sana dan ganti nama menjadi Abu Ayas. Tugas utamanya adalah memasok senjata kepada para teroris.
Aktivitasnya terhenti ketika Densus 88 berhasil menangkapnya di kawasan Narogong, Bekasi, pada 2010. Dia dibui di LP Cipinang dengan vonis 10 tahun tapi bebas pada 2015 karena dapat remisi.
Sejak bebas, Sofyan memulai hidup baru. Dia kini bahkan sudah bisa menertawakan dirinya sendiri di masa lalu.
==
“Ayo, di rumah bapak saya saja. Dia mah pasti nonton juga,” ajak Sofyan kepada saya di halaman rumahnya, Kamis (17/1/2019). Kami hendak menonton debat pertama Pilpres 2019. Salah satu tema yang dibahas adalah terorisme.
Kami lalu mengendarai motor menuju kediaman sang bapak, tak jauh dari rumah Sofyan. Tibalah kami di rumah bercat hijau muda persis di samping sudut sebuah gang.
Sang ayah, Tugio (72), lantas menyahut dari dalam. “Ayo, masuk. Baru mulai ini,” sahut pensiunan Brigade Mobil ini.
Pasangan bapak-anak ini punya pilihan politik berbeda. Tugio memilih Jokowi Ma’ruf, sementara Sofyan Prabowo-Sandi. Meski begitu mereka tetap harmonis. Setidaknya begitulah yang terlihat malam itu.
Di ruang tamu rumah Tugio kami menonton debat yang disiarkan salah satu televisi swasta. Sepanjang debat berlangsung, Sofyan berkomentar bak pakar, apalagi ketika dua paslon bicara soal terorisme.
Tugio melemparkan komentar pembuka. Walaupun ia bersimpati ke salah satu paslon, ia akan tetap waspada akan ancaman lip service.
“Janjinya semua presiden, dari Soeharto sampai sekarang, muluk-muluk, non-sense,” ujar pria renta yang masih terlihat bugar ini.
Di televisi, paslon Prabowo-Sandiaga baru saja mengisahkan Najib, petani yang dipersekusi karena ketahuan mengambil pasir untuk menggarap hutan bakaunya.
“Seharusnya mudah jika ada persekusi atau sejenis itu. Catat namanya, pangkatnya, tempatnya di mana, saya akan perintahkan pada Kapolri untuk menindak itu. Jangan balik menuduh. Enggak gitu,” cetus Sofyan menyayangkan tanggapan dari sang petahana yang meminta Sandiaga melaporkan kasus Najib ke kepolisian.
Ketika debat bergulir pada topik korupsi, Sofyan kembali berkomentar. Bapak lima anak ini mengkritisi strategi Prabowo-Sandi dalam menghukum terpidana korupsi. Menurutnya, cara Prabowo mengatasi koruptor terlampau tak manusiawi.
“Salah strategi nih, udah ngancam gitu, kan. Jangan kita kembali ke zaman kerja rodi,” kata Sofyan soal ide Prabowo mewajibkan kerja paksa bagi para koruptor.
==
Lalu mulailah diskusi soal terorisme. Sebelum Ira Koesno, moderator debat, memulai bicara, Sofyan lebih dulu beropini. Baginya, walau terdapat serangkaian aksi teroris sepanjang 2018, Jokowi sudah cukup berprestasi mengupayakan kontra-teror melalui RUU Terorisme.
“Kalau bicara tentang kejelasan hukum, itu Jokowi lebih lantang dengan adanya RUU Terorisme dibanding presiden sebelumnya. Lebih konkret. Jadi ada perubahan-perubahan yang efektif dalam mengeliminasi pergerakan terorisme dan pergerakannya dibatasi betul, sehingga tidak terlalu menyebar,” ujar Sofyan.
“Tapi kalau lihat watak dari pak Prabowo, mantan tim Mawar dan sebagainya, itu bisa jadi pertimbangan. Lebih dingin,” imbuhnya, berkomentar soal kelebihan Prabowo yang tak dipunya Jokowi.
Diskusi dimulai di layar kaca. Prabowo berkata bahwa akar terorisme adalah kemiskinan. Sofyan langsung berkomentar tak setuju. Katanya, kemiskinan memang jadi penyebab orang terjerumus jadi teroris, tapi bukan satu-satunya.
“Di dunia ketiga, kenapa rentan terorisme, karena ada diskriminasi ekonomi, sosial, dan politik.”
Dari televisi, suara Prabowo kembali terdengar. Sang capres mengisahkan pengalamannya semasa bertugas di bidang anti-teror. “Berdasarkan pengalaman saya, saya mengetahui, teroris dikirim dari negara lain, dibuat menyamar, seolah teroris itu orang Islam,” ucap Prabowo dengan lantang.
Pernyataan kali ini, lagi-lagi, dianggap salah. Sofyan mengatakan asing tak bisa disalahkan, tapi pemahaman agama yang bersangkutan.
“[Prabowo] enggak tahu persoalan,” katanya.
“Sebetulnya, anda ingin berislam dengan keras bisa, dengan lembut bisa. Permasalahannya bukan di ajaran Islamnya, tapi manusianya yang tidak bisa memadukan antara fikih dalil, teks-teks keagamaan, dengan fikih realitas. Terjadilah resisten di tataran realitas dan tidak bisa memadukan itu. Itu persoalan pemikiran.” Sofyan berpanjang lebar.
Diskusi/debat bergulir ke persoalan mengatasi terorisme. Dari dua solusi yang ditawarkan, Sofyan lebih menyetujui ide Jokowi-Ma’ruf. Kubu petahana itu akan mengedepankan pencegahan dan deradikalisi dengan menggandeng masyarakat luas. Sementara Prabowo mengutamakan investasi besar-besaran di bidang pendidikan agama untuk menekan munculnya bibit radikalisme.
“Prabowo bicara itu agak prematur, bicara fakta dulu, dong. Perlu adanya re-edukasi, kontra-narasi, kontra-ideologi.”
Sofyan juga punya pandangan sendiri terkait bagaimana memberantas terorisme. Bagi dia, selain pemerintah, masyarakat pun punya peran yang tak kalah besar.
“Masyarakat hanya mengidentifikasi tanda-tanda lalu melaporkan kepada aparat. Masyarakat enggak boleh mempersekusi. Efektif ini. Dia [teroris] merasa sempit pergerakannya,” imbuh Sofyan.
Selepas berkomentar demikian, Sofyan tampak lelah dan ingin segera beristirahat. Dia balik kanan, tak menonton debat hingga selesai.
Baginya, kandidat tak perlu dibela mati-matian.
“Untuk mengkritik Jokowi, tak mesti jadi kampret. Begitu juga kalau mau mengkritik Prabowo tak mesti jadi cebong. Itu, kan, ijtihad [pilihan] yang tidak bisa disalahkan. Beda dengan halan-haram atau soal iman.”
Penulis: Mulia Ramdhan Fauzani
Editor: Rio Apinino