Menuju konten utama

Menjadi Inklusif, Cara Industri Kecantikan Merespons Tren Pasar

Unilever menghilangkan istilah “normal” dari produknya karena dianggap bias dan bermasalah. Upaya merespons pergeseran nilai-nila konsumen.

Menjadi Inklusif, Cara Industri Kecantikan Merespons Tren Pasar
Unilever adalah perusahaan multinasional di bidang produk makanan, perawatan pribadi, dan pembersih. FOTO/iStocphoto

tirto.id - Pada 9 Maret 2021 kemarin, Unilever merilis pernyataan akan menghapus deskripsi “normal” dari kemasan produk kecantikan dan perawatan tubuh pada sejumlah jenama yang berada di bawah naungannya. Selain itu, Unilever juga akan menghentikan praktik penyuntingan visual dari bentuk, ukuran, dan warna kulit para modelnya. Langkah ini adalah bagian dari visi dan strategi baru perusahaan: Positive Beauty.

Pihak Unilever juga menyebut, keputusan ini merupakan langkahnya untuk turut menentang gagasan akan kecantikan yang ideal. Unilever berusaha menunjukkan komitmen untuk meminimalisasi diskriminasi dan mengadvokasi definisi kecantikan yang lebih inklusif.

“Kami berkomitmen untuk melawan norma dan stereotip yang merugikan serta turut membentuk definisi kecantikan yang lebih luas dan inklusif. Kami tahu bahwa menghapus kata ‘normal’ dari produk dan kemasannya tidak serta merta memperbaiki masalah, tapi ini tetaplah langkah penting,” kata Presiden Bidang Kecantikan dan Perawatan Pribadi Unilever Sunny Jain.

Keputusan Unilever itu didasari oleh survei global mereka yang menginvestigasi pengalaman dan ekspektasi konsumen produk kecantikan. Unilever menggelar survei itu di sembilan negara (Brazil, China, India, Indonesia, Nigeria, Arab Saudi, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Seikat) pada rentang Januari–Februari 2021 dengan total 10.000 responden.

Hasil survei menunjukkan, 74 persen responden ingin industri kecantikan tidak hanya membuat pengguna terlihat lebih baik, tapi juga merasa lebih baik. Sayangnya, berkebalikan dengan ekspektasi itu, survei justru mengungkap bahwa sebanyak 56 persen responden merasa industri kecantikan dan perawatan tubuh dapat membuat sebagian orang merasa dikecualikan.

Lebih lanjut, tujuh dari sepuluh orang dalam survei itu setuju bahwa penggunaan deskripsi normal pada produk membawa dampak negatif. Dengan mempertimbangkan hasil-hasil itu pula, Unilever lantas mencanangkan visi baru Positive Beauty dan menghapus deskripsi normal.

Unilever sejak lama dikenal sebagai perusahaan multinasional yang membawahi setidaknya 400 merek dagang ternama. Unilever bergerak dalam bidang usaha yang luas, mulai dari makanan, minuman, barang rumah tangga, hingga perawatan tubuh dan kecantikan.

Jenama-jenama Unilever, seperti Dove, Lifebuoy, Vaseline, Sunsilk, atau Rexona, biasa memenuhi gerai-gerai ritel di dekat lingkungan Anda. Setidaknya, ada lebih dari 200 produk kecantikan dan perawatan tubuh Unilever yang kemasannya akan diubah dan tidak lagi mencantumkan istilah “normal” pada deskripsi produk.

Juru bicara Unilever Jessie Kramer mengatakan kepada The Washington Post bahwa deskripsi normal akan diganti dengan deskripsi yang menonjolkan manfaat atau kegunaan produk.

“Kami ingin lebih menekankan manfaat apa yang dapat diberikan produk itu, bukan untuk siapa produk itu diciptakan, tanpa menggunakan istilah ‘normal’. Misalnya, kami akan menjelaskan bahwa suatu suatu produk dapat melembabkan kulit atau membantu memenuhi suatu kebutuhan tertentu,” jelas Kramer.

Ada Apa Dengan Istilah “Normal”?

Deskripsi “normal” biasanya mudah kita temui pada berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh, mulai dari skincare wajah, losion tubuh, sampo, hingga sabun. Roshida Khanom dari firma riset pasar Mintel mengatakan kepada BBC, normal adalah istilah yang bias.

“Kata ‘normal’ mengindikasikan adanya kelompok yang ‘abnormal’ dan itu sebenarnya tidak benar-benar mendeskripsikan apapun. Memang sudah saatnya istilah ini ditinggalkan,” kata Roshida Khanom seperti dikutip BBC.

Apalagi, generasi muda saat ini tidak lagi menganut gagasan kecantikan tradisional. Diskursus bahkan sudah bergeser dari soal kecantikan ke penerimaan atas ketidaksempurnaan diri.

Hal ini senada dengan ungkapan Presiden International Center for Research on Women Sarah Degnan Kambou. Dalam rilisan Unilever, Kambou mengatakan, sering kali orang-orang berusaha “menyesuaikan diri” agar dirinya dapat disebut atau memenuhi definis normal. Itu artinya, definisi itu terlalu sempit dan justru membelenggu seseorang.

“Sebagai upaya memperjuangkan kesetaraan, kami merasa perlu menantang norma-norma yang membatasi masyarakat untuk merayakan keragaman dan keunikan dari setiap orang. Kecantikan tidak memiliki pengecualian,” kata Kambou.

Lalu, bagaimana penjelasan mengenai normal dalam kerangka medis?

Menurut Haekal Anshari—dokter estetik, anti-aging, dan seksolog, yang dimaksud normal pada produk kecantikan mengacu pada jenis kulit yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit masalah kulit. Meski begitu, Haekal menekankan bahwa semua jenis kulit—normal, berminyak, kering, hingga kombinasi—dapat dikatakan sebagai kulit sehat jika tidak memiliki masalah kulit yang signifikan.

“Kulit tidak tampak kusam, memiliki persebaran warna yang merata, dan pori-pori yang tidak terlalu besar serta tidak mudah mengalami iritasi. Jenis ini dapat dikategorikan sebagai kulit sehat,” jelas dr. Haekal kepada Tirto pada Selasa (16/03/2021).

Lebih jauh lagi, suatu jenis kulit dapat dikatakan sebagai kulit sehat jika memenuhi beberapa parameter. Pertama, warna kulit yang merata dan tidak selalu putih, tidak ada hiper atau hipopigmentasi. Kedua, kulit terasa kenyal, lembut, dan halus—juga tidak ditemui benjolan-benjolan kecil, keriput, atau kendur.

Ketiga, kulit terasa lembap karena terhidrasi dan produksi minyak tidak berlebihan. Keempat, kulit tidak gatal, tidak ada sensasi panas terbakar, atau kencang seperti tertarik.

Menurut Haekal, konsumen juga harus paham bahwa produk kecantikan tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai produk kesehatan. Produk kecantikan memiliki fungsi sebatas perawatan harian yang bertujuan untuk menjaga kesehatan kulit. Sebuah produk dapat dikatakan sebagai produk kesehatan bila ia mampu mengatasi masalah atau penyakit kulit dan meningkatkan kesehatan kulit tersebut.

“Produk yang digunakan harian seperti produk kecantikan, belum tentu dapat memenuhi kriteria ini sehingga produk ini masih dikategorikan sebagai produk kecantikan,” kata Haekal.

Infografik Unilever

Infografik Unilever. tirto.id/Quita

Upaya Merespons Tren Pasar

Nilai-nilai keragaman dan inklusivitas kini bukan lagi barang asing bagi banyak perusahaan kecantikan dan perawatan tubuh. Beragam merek kosmetik sudah melangkah ke arah inklusif dengan menawarkan produk shades dengan spektrum warna kulit yang sangat luas.

Perusahaan kecantikan juga mulai menampilkan model dari berbagai umur dan bentuk tubuh pada iklan mereka. Selain itu, semakin banyak perusahaan perawatan kulit yang meluncurkan lini perawatan untuk pria, bahkan juga menghapus keterangan gender dari produk mereka.

Berbagai langkah yang dilakukan industri kecantikan itu merupakan cara mereka merespons pergeseran nilai-nilai konsumen. Survei Unilever menunjukkan bahwa 52 persen responden lebih memerhatikan sikap perusahaan terhadap masalah sosial sebelum membeli produk.

Hasil riset Unilever juga menunjukkan, sekira 69 persen responden mengatakan akan merekomendasikan suatu merek kecantikan kepada teman dan keluarga jika ia memiliki spektrum jenis kulit dan rambut yang luas. Setengah dari responden juga bersedia membayar lebih untuk produk serupa.

“Dengan lebih banyak konsumen yang menghargai merek yang peduli terhadap masalah sosial dan lingkungan, kami percaya bahwa Positive Beauty akan membuat bisnis kami menjadi lebih kuat dan sukses,” tutur Jain dalam rilis Unilever.

Selain Unilever, beberapa perusahaan multinasional raksasa juga pernah melakukan hal serupa. Pada Juni 2020, kala gerakan Black Lives Matter tengah memanas di Amerika Serikat, Johnson & Johnson menyatakan tidak lagi menjual produk tertentu yang ditujukan untuk mencerahkan kulit wajah—khususnya pada merek dagang Neutrogena dan Clean & Clear yang didistribusikan di Asia dan Timur Tengah.

Sebagaimana dikutip The New York Times, pihal Johnson & Johnson menyatakan, “Kami berencana untuk menawarkan berbagai produk yang ditujukan untuk beragam warna kulit.”

Sementara itu, Fair & Lovely—salah satu merek dagang Unilever—pernah mendapatkan penolakan keras dari khalayak luas. Fair & Lovely pernah memproduksi losion yang bertujuan untuk mencerahkan warna kulit. Lalu, lebih dari 11.000 orang menandatangani petisi agar Unilever berhenti memasarkan produk ini di India dan Timur Tengah.

Kata “Fair” juga menjadi permasalahan karena dianggap membangun standar kecantikan tertentu dan menciptakan stereotip akan warna kulit di India. Kata “Fair” akhirnya diganti dengan “Glow”.

“Ancaman akan boikot dan penyerangan dari khalayak membuat perusahaan sebesar Unilever perlu menghidari kekacauan kehumasan. Masalah seperti itu bisa saja membawa konsekuensi buruk, seperti penurunan penjualan atau merusak citra merek,” kata Sophie Lund-Yates, analis kesetaraan dari Hargreaves Lansdown, kepada BBC.

Baca juga artikel terkait PRODUK KECANTIKAN atau tulisan lainnya dari Hasya Nindita

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Hasya Nindita
Editor: Fadrik Aziz Firdausi