Menuju konten utama

Menguji Klaim Trump: Parasetamol Picu Autisme pada Janin?

Trump sebut paracetamol picu autisme pada janin jika dikonsumsi ibu hamil. Benarkah?

Menguji Klaim Trump: Parasetamol Picu Autisme pada Janin?
Presiden AS Donald Trump memberikan pidato pada pengarahan pemulihan pasca Badai Helene di hanggar Bandara Regional Asheville di Fletcher, North Carolina, pada 24 Januari 2025. Trump mengatakan ia mungkin akan "menyingkirkan FEMA," jika dianggap perlu. Badan Penanggulangan Bencana Federal Badan Penanggulangan Bencana (FEMA) bertugas mengoordinasikan respons terhadap bencana. (Foto oleh Mandel NGAN / AFP)

tirto.id - Baru-baru ini, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyatakan bahwa konsumsi acetaminophen oleh wanita hamil dapat meningkatkan risiko autisme pada anak yang dikandung.

Pernyataan tersebut disampaikan Trump dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Putih pada Senin (22/9/2025) waktu setempat. Dalam kesempatan tersebut, ia didampingi oleh Menteri Kesehatan Amerika Serikat, Robert Kennedy, untuk mengumumkan perubahan kebijakan pemerintah terkait isu autisme.

Acetaminophen, yang lebih dikenal di Indonesia sebagai paracetamol, merupakan bahan aktif yang berfungsi sebagai pereda nyeri dan penurun demam. Zat ini menjadi komponen utama dalam berbagai obat flu dan demam yang digunakan secara luas di seluruh dunia.

Trump mengungkapkan bahwa para dokter di Amerika Serikat dan juga di negara lain seperti Inggris, dalam waktu dekat akan dianjurkan untuk tidak lagi merekomendasikan penggunaan obat tersebut kepada wanita hamil.

Sebagai bagian dari kebijakan baru, Trump akan mewajibkan pencantuman label peringatan pada obat-obatan yang mengandung paracetamol, guna menginformasikan potensi kaitan antara konsumsi obat tersebut selama kehamilan dengan risiko autisme.

Ilustrasi sakit kepala

Ilustrasi sakit kepala.FOTO/Istockphoto

Di Amerika Serikat, paracetamol dikenal luas dengan nama merek Tylenol.

“Saya ingin bicara terus terang: jangan minum Tylenol. Jangan minum itu,” ujar Trump, menyebut nama merek dari paracetamol yang umum digunakan di AS.

“Hal lain yang kami rekomendasikan — atau setidaknya saya rekomendasikan — adalah... jangan biarkan mereka menyuntikkan bayi Anda dengan tumpukan zat terbanyak yang pernah Anda lihat dalam hidup Anda,” lanjutnya, merujuk pada vaksin.

Lantas, bagaimana kebenaran klaim Trump yang menyebut bahwa konsumsi parasetamol pada ibu hamil dapat meningkatkan resiko autisme pada anak yang dikandung?

Ramai Ahli Bantah Klaim Trump

Sejumlah peneliti, pakar kesehatan, hingga lembaga kesehatan dunia, secara tegas membantah klaim Trump terkait peningkatan risiko autisme pada anak akibat penggunaan paracetamol oleh wanita hamil. Pernyataan Trump itu dinilai tidak sejalan dengan bukti ilmiah yang tersedia saat ini.

Dikutip dari BBC, memang terdapat beberapa penelitian terbaru berupa tinjauan terhadap sejumlah studi yang menunjukkan adanya asosiasi antara penggunaan paracetamol selama kehamilan dan peningkatan risiko autisme. Namun, para peneliti menegaskan bahwa asosiasi ini tidak cukup untuk menyimpulkan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas).

Dengan kata lain, belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa paracetamol secara langsung menyebabkan autisme. Bahkan, sejumlah peneliti lain tidak menemukan kaitan apa pun antara penggunaan paracetamol dan autisme.

HARI PEDULI AUTIS SEDUNIA

sejumlah simpatisan memegang poster saat memperingati hari peduli autis sedunia di anjungan pantai losari, makassar, sulawesi selatan, sabtu (2/4) malam. dalam aksi tersebut mereka mengajak masyarakat agar lebih peduli dan memberikan perhatian terhadap penyandang autis. antara foto/abriawan abhe/ama/16

Menanggapi hal ini, otoritas kesehatan di Inggris menegaskan bahwa paracetamol masih dianggap sebagai obat pereda nyeri yang paling aman bagi ibu hamil. Namun, mereka tetap menyarankan agar penggunaannya dilakukan dalam dosis serendah dan durasi sesingkat mungkin. Obat lain seperti aspirin dan ibuprofen biasanya tidak dianjurkan karena dapat memengaruhi sirkulasi darah pada janin.

Selain itu, para ahli juga mengingatkan bahwa demam yang tidak diobati selama kehamilan dapat membahayakan kesehatan ibu maupun janin, sehingga penggunaan paracetamol tetap diperlukan dalam kondisi tertentu.

Sementara itu, seperti dilaporkan oleh Reuters, badan-badan kesehatan di Uni Eropa dan Inggris juga menolak klaim Trump. Pada hari Selasa (23/9/2025), Badan Obat Eropa (European Medicines Agency/EMA) menyatakan bahwa tidak ada bukti baru yang mendukung perlunya perubahan terhadap rekomendasi penggunaan paracetamol selama kehamilan.

EMA menegaskan bahwa “bukti yang tersedia tidak menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan paracetamol saat hamil dengan autisme,” seraya menambahkan bahwa obat ini tetap bisa digunakan selama kehamilan jika diperlukan, dengan dosis dan frekuensi terendah yang efektif.

Dress Ibu Hamil

Dress Ibu Hamil. FOTO/iStockphoto

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Viktor Ahlqvist, peneliti utama dalam studi ilmiah terbesar yang pernah dilakukan mengenai hubungan antara penggunaan paracetamol selama kehamilan dan autisme. Dalam studinya dipublikasikan pada tahun 2024, yang melibatkan data dari 2,5 juta kehamilan di Swedia, dari anak-anak yang lahir pada 1995 hingga 2019, Ahlqvist menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim Trump.

“Kami tidak menemukan dukungan bahwa penggunaan paracetamol saat kehamilan menyebabkan autisme,” kata Ahlqvist, merujuk pada studinya yang menganalisis 2,5 juta kehamilan di Swedia, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (23/9/2025).

Ahlqvist menjelaskan bahwa paparan terhadap obat apa pun selama kehamilan memang sering dikaitkan dengan hasil negatif pada anak biasanya bukan karena obatnya, melainkan karena masalah kesehatan mendasar yang membuat sang ibu membutuhkan obat tersebut.

Secara terpisah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bukti tentang adanya hubungan antara paracetamol dan autisme masih tidak konsisten dan menyarankan untuk berhati-hati dalam menarik kesimpulan.

Dikutip dari Al Jazeera, dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (24/9/2025), WHO menegaskan bahwa “saat ini tidak ada bukti ilmiah yang konklusif” yang menunjukkan adanya kaitan antara gangguan autisme dan penggunaan obat pereda nyeri populer tersebut.

“Penelitian ekstensif telah dilakukan selama dekade terakhir, termasuk studi berskala besar, yang menyelidiki kemungkinan hubungan antara penggunaan acetaminophen [juga dikenal sebagai paracetamol] selama kehamilan dan autisme. Saat ini, belum ditemukan hubungan yang konsisten,” demikian pernyataan WHO, seperti dikutip dari Al-Jazeera.

Manfaat Parasetamol Lebih Besar Dibanding Risikonya

Tirto juga menghubungi langsung dokter sekaligus pakar Global Health Security dari Griffith University, dr. Dicky Budiman, untuk mengonfirmasi terkait kebenaran klaim Trump ini. Kepada Tirto, ia menegaskan bahwa klaim tersebut tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat.

Dicky menjelaskan, hingga saat ini, berbagai hasil riset menunjukkan bahwa paracetamol tetap merupakan obat analgesik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun demam) lini pertama yang relatif aman digunakan selama kehamilan, asalkan diberikan sesuai dengan indikasi medis, dosis efektif terendah, dan durasi pemakaian tersingkat.

Sakit Punggung Saat hamil

Sakit Punggung Saat hamil. foto/istockphoto

“Paracetamol (juga dikenal sebagai acetaminophen atau Tylenol) jadi pilihan utama yang relatif aman pada kehamilan bila digunakan sesuai indikasi. Tentu dosis dan durasi terendah yang efektif,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (26/9/2025).

Ia menjelaskan bahwa demam selama kehamilan justru diketahui dapat membahayakan janin, termasuk meningkatkan risiko cacat bawaan jika terjadi pada trimester pertama. Namun, yang menjadi perhatian utama bukan hanya demam itu sendiri, melainkan infeksi sebagai penyebab demam.

“Sebetulnya bukan demamnya, tapi umumnya infeksi demam itu. Sehingga mengobati orang demam itu menjadi penting untuk mengetahui tentu penyebabnya. Meredakan demamnya yang paling aman di masa kehamilan umumnya adalah paracetamol itu dan artinya manfaatnya lebih besar daripada risikonya,” ujarnya.

Dicky, yang saat ini juga menjabat sebagai Penanggung Jawab Mutu di Program Magister Administrasi Rumah Sakit (MARS), Sekolah Pascasarjana Universitas Yarsi, mengatakan bahwa manfaat penggunaan paracetamol selama kehamilan jauh lebih besar daripada potensi risikonya.

Ia menjelaskan, studi observasional maupun studi kausalitas memang melaporkan adanya hubungan lemah hingga sedang antara paparan paracetamol dan beberapa gangguan perkembangan saraf, termasuk gejala yang menyerupai autisme. Namun, temuan ini sangat rentan terhadap berbagai bentuk bias, seperti recall bias dan bias pengukuran.

“Temuan-temuan ini rentan sangat rentan bias. Miisalnya demam atau infeksi atau nyeri ibu itu bukan obatnya yang berkontribusi pada risiko tapi penyakitnya yang berkontribusi pada risiko. Jadi ini perlu disadari ada potensi recall bias, juga pengukurannya bias,” ujarnya.

Selain itu, konsistensi dan kekuatan efek yang dilaporkan tidak stabil, sehingga tidak memenuhi kriteria ilmiah sebagai penyebab yang meyakinkan. Temuan-temuan tersebut juga sering kali tidak dapat direplikasi secara konsisten, baik lintas metodologi maupun lintas kelompok studi (cohort).

Ibu hamil minum susu

Ibu hamil minum segelas susu. (FOTO/iStockphoto)

Penelitian yang lebih kuat seperti uji klinis acak (randomized controlled trial) secara etis hampir tidak mungkin dilakukan pada ibu hamil. Oleh karena itu, penilaian hubungan sebab-akibat harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

“Sampai saat ini konsensus klinis dunia termasuk di Indonesia itu paracetamol masih direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk demam penyakit pada kehamilan. Oleh banyak otoritas klinis baik itu internasional atau nasional dengan prinsip tentu dosis paling rendah yang masih efektif termasuk juga durasi yang paling singkat,:” ujarnya.

Sebaliknya, Dicky menambahkan obat seperti ibuprofen atau naproxen justru memiliki risiko yang lebih tinggi, terutama jika digunakan pada trimester kedua kehamilan. Risiko tersebut antara lain gangguan fungsi ginjal pada janin dan penutupan prematur duktus arteriosus, sehingga obat-obat tersebut bukan pilihan yang aman untuk penggunaan rutin pada kehamilan.

“WHO tetap memasukkan paracetamol sebagai antipiretik andalan pada kehamilan. Kalau ada indikasi klinis dan artinya mengaitkan paracetamol dengan gangguan perkembangan saraf ini sangat spekulatif dan biasanya itu muncul dari model hewan atau dosis tinggi yang pada hewan yang artinya tidak mencerminkan pemakaian klinis pada manusia,” ujarnya.

Ilustrasi Paracetamol

Ilustrasi Paracetamol. foto/Istockphoto

Dicky menegaskan mencegah demam tinggi pada wanita hamil terutama di awal kehamilan jauh lebih penting dan bermanfaat dari pada tidak diobati. Sebab, demam tinggi khususnya diatas 38 derajat berisiko pada gangguan dari janin. Artinya, penggunaan paracetamol jauh lebih besar manfaatnya.

“Intinya paracetamol boleh digunakan jika memang perlu. Demam lebih dari 38 derajat Celcius, atau nyeri yang mengganggu fungsi, dengan dosis efektif terendah dan durasi sesingkat mungkin,” pungkasnya.

Pemerintah, melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), pun juga menegaskan bahwa parasetamol aman dikonsumsi oleh ibu hamil dan keamanannya sudah terbukti sejak lama.

"Justru parasetamol ini yang paling aman untuk ibu hamil dan anak-anak," kata Direktur Pengawasan Keamanan, Mutu, Ekspor Impor Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Nova Emelda di Jakarta, Kamis (25/9/2025), dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty