tirto.id - "Dibanding dengan yang lain, (Jokowi) rugi jika tidak mengajak Anda (menjadi wakil presiden)?" tanya Najwa Shihab kepada Muhaimin Iskandar.
Pertanyaan Najwa di program "Mata Najwa", Rabu (14/3/2018), itu menimpali klaim Muhaimin yang menganggap dirinya merupakan calon wakil presiden (cawapres) Joko Widodo dengan pengalaman paling lengkap. Muhaimin memang pernah menjabat baik di ranah eksekutif maupun legislatif.
Menanggapi Najwa, laki-laki yang akrab disapa Cak Imin itu berkata, "Saya sering mengingatkan pendukung Pak Jokowi di organ-organ yang resmi maupun yang tidak resmi. Saya ingatkan bahwa Jokowi elektabilitasnya bahaya di 2019. Kalau sampai milih wapres yang salah, (Jokowi) bisa kalah."
Sebagai Ketua Umum PKB dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), modal politik dan sosial yang dimiliki Cak Imin tentu patut diperhitungkan.
Memimpin PKB melewati Pemilu 2014, Cak Imin berhasil menaikkan perolehan suara PKB yang sempat anjlok di Pemilu 2009 karena—salah satunya—dualisme kepemimpinan. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan PKB mendapat 4,95 persen suara di Pemilu 2009. Sedangkan dalam Pemilu 2014 PKB memeroleh sekitar 11 juta suara nasional atau setara 9,04 persen.
Dalam Pemilu 2019, sosok Cak Imin pun dinilai sebagai perwakilan kelompok Islam. Itu sekaligus mengimbangi sosok Jokowi yang sekuler.
Beberapa bulan terakhir, di sejumlah ruas jalan terpasang sejumlah reklame, baliho, dan spanduk yang memuat wajah Cak Imin. Lewat berbagai medium, laki-laki kelahiran 24 September 1966 itu gencar berkampanye. Bukan dalam rangka menjadi calon presiden (capres), melainkan cawapres.
Tapi bagaimanapun juga, klaim seorang politisi harus diuji dengan kenyataan. Benarkah elektabilitas Jokowi bakal memasuki zona "berbahaya" jika tidak menggandeng Cak Imin sebagai cawapresnya?
Hitung Dulu Sebelum Bicara
Soal peluang kandidat dalam Pilpres 2019, salah satu faktor yang mulai diuji lembaga survei sebulan terakhir ini adalah elektabilitas Jokowi jika dipasangkan dengan sejumlah tokoh sebagai cawapresnya.
Lembaga survei menyebut itu dengan istilah simulasi. Dalam simulasi tersebut, biasanya mereka menentukan jumlah pasangan calon yang akan maju. Setelah itu, komposisi tokoh yang mengisi pos, baik capres maupun cawapres, ditentukan.
Untuk Pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo masih bercokol di urutan teratas daftar kandidat capres dengan elektabilitas tertinggi. Sedangkan daftar kandidat cawapres diisi tokoh beragam latar belakang, dari militer (Gatot Nurmantyo, Moeldoko) sampai kepolisian (Budi Gunawan, Tito Karnavian); dari profesional (Sri Mulyani, Mahfud MD) hingga politisi (Anies Baswedan, Cak Imin, Agus Harimurti Yudhoyono, Romahurmuzy).
Pada kenyataanya, beberapa sosok tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap elektabilitas Jokowi dalam skema simulasi. "Zona berbahaya" yang disebut Cak Imin pun tampak sebagai isapan jempol belaka.
Survei Poltracking Indonesia digelar pada 27 Januari-3 Februari 2018. Salah satu simulasinya mempertarungkan Jokowi versus AHY sebagai capres. Cawapres Jokowi dibongkar pasang dengan kandidat: Kapolri Tito Karnavian, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan Cak Imin.
Hasilnya, Jokowi-Tito memeroleh suara 45,3 persen melawan 15,5 persen yang didapat AHY-Anies. Angka yang tidak jauh berbeda juga didapat Jokowi-Budi Gunawan, yakni 45 persen, melawan 12,8 persen yang diperoleh AHY-Zulkifli Hasan. Sedangkan Jokowi-Cak Imin menggondol 47,6 persen menghadapi 12,6 persen yang dikantongi AHY-Ahmad Heryawan.
Karena Poltracking Indonesia memasang Margin of Error +/- 2,8 persen, tentu selisih elektabilitas Jokowi-Tito, Jokowi-Budi Gunawan, dan Jokowi-Cak Imin tidak signifikan.
Simulasi serupa juga dibuat Populi Center dalam survei pada 7-16 Februari 2018. Populi Center mempertarungkan tiga kandidat capres: Jokowi, Prabowo, dan Gatot Nurmantyo. Sedangkan untuk cawapres Jokowi, lembaga survei itu menempatkan Sri Mulyani, Moeldoko, Airlangga Hartarto, AHY, dan Cak Imin.
Dari lima kandidat cawapres yang disigi, elektabilitas Jokowi-Cak Imin menempati urutan ketiga dengan perolehan sebesar 50,6 persen melawan 27,8 persen yang didapat Prabowo-Anies. Perolehan itu juga membuat Cak Imin mesti bersaing ketat dengan AHY. Jokowi-AHY meraup 50,8 persen melawan 27,8 persen milik Prabowo-Anies.
Elektabilitas pasangan Jokowi, baik dengan Cak Imin maupun AHY, pun hanya sedikit lebih besar dari 49,1 persen yang diperoleh Jokowi-Moeldoko saat dihadapkan dengan Prabowo-Anies yang mendapat 28,8 persen.
Sementara itu, survei Populi Center juga menyatakan Jokowi-Sri Mulyani memeroleh suara 57,3 persen melawan 15,8 persen yang didapat Gatot-Anies. Sedangkan Jokowi-Airlangga mendapat 54,3 persen melawan 14,8 persen yang diperoleh Anies-AHY.
Karena Populi Center menetapkan Margin of Error +/- 2,89 persen, lagi-lagi bongkar pasang kandidat tidak memengaruhi elektabilitas Jokowi secara signifikan.
Hasil lain juga dapat disimak dalam survei Alvara Research Center yang digelar pada 27 Januari-3 Februari 2018. Survei ini menetapkan Margin of Error sebesar +/- 2,13 peren. Salah satu simulasinya memasangkan Jokowi dengan AHY, Gatot, dan Cak Imin sebagai cawapresnya.
Sigi Alvara menyebutkan Jokowi-Cak Imin memeroleh suara 57,6 persen melawan 30,6 persen yang didapat Anies-AHY. Angka itu tidak jauh berbeda dengan yang didapat Jokowi-AHY, yakni 56,4 persen melawan 31,8 persen yang diperoleh Gatot-Anies. Sementara Jokowi-Gatot mendapat 54,8 persen mengungguli Prabowo-Anies yang dapat 33,7 persen.
Dari semua hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa siapapun yang jadi pendamping Jokowi, elektabilitasnya tetap stabil.
Tidak Mudah bagi Cak Imin
Latar belakang sebagai perwakilan kelompok Islam memang bisa menjadi daya jual utama Cak Imin untuk Jokowi. Puan Maharani, politisi sekaligus putri Ketua Umum PDIP Megawati, mengatakan kriteria agamis dan berasal dari kalangan religius adalah salah satu faktor dalam mempertimbangkan sosok cawapres pendamping Jokowi.
Namun, melihat banyaknya kandidat cawapres, tidak mustahil bukan Cak Imin saja yang ingin bersanding dengan Jokowi.
Lagi pula, Cak Imin mesti mendapat restu dari partai politik yang kini secara resmi sudah mendukung Jokowi untuk maju sebagai capres di Pilpres 2019, yakni PDIP, Hanura, Golkar, Nasdem, dan PPP. Menariknya, sampai sekarang PKB belum mendeklarasikan capres yang bakal diusung.
Sekjen DPP PPP Arsul Sani mengatakan, selain Cak Imin, ada tiga sosok berlatar belakang Nahdlatul Ulama yang cocok menjadi cawapres Jokowi: Ketua Umum PPP Romahurmuziy, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan bekas Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As'ad Said Ali.
"Selain Romahurmuziy dan Muhaimin, maka Mahfud dan As'ad Said Ali merupakan cawapres potensial dari kalangan Nahdliyin," ujar Arsul kepada Tirto, Kamis (15/3/2018).
Arsul juga mengatakan lebih baik partai pendukung Jokowi menentukan kriteria sosok cawapres sebelum menyampaikan orang yang tepat mengisi pos tersebut.
Sedangkan Ahmad Basarah, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP, menyebut sejumlah nama yang masuk daftar kandiat cawapres Jokowi yang sedang dikaji partainya. Mereka antara lain Puan Maharani, Cak Imin, AHY, Zulkifli Hasan, dan Romahurmuzy.
Hanura pun telah mendeklarasikan Wiranto sebagai cawapres pendamping Jokowi.
Sementara itu, Willy Aditia, Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik DPP Partai Nasdem, menyatakan partainya tidak ingin ada pemaksaan dalam penentuan cawapres pendamping Jokowi.
Kepada Tirto, Kamis (15/3/2018), Willy mengatakan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh menginginkan Jokowi memilih cawapresnya sendiri dengan syarat tanpa mahar. "Kami sami'na wa atho'na dengan pilihan Pak Jokowi," ujar Willy.
Melihat hasil survei, Jokowi memang cukup leluasa untuk menentukan tokoh mana yang bakal menjadi pendamping. Di atas kertas, latar belakang cawapres pun tidak terlalu berpengaruh terhadap elektabilitasnya.
Karena itu, Cak Imin mesti berpikir puluhan kali untuk menyebut elektabilitas Jokowi "berbahaya" jika tidak menggandeng dirinya. Ia pun masih harus mengetuk pintu partai-partai pendukung Jokowi yang belum menentukan pilihan. Jalan yang tak mudah bagi orang Jombang ini.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan