tirto.id - Ratusan santri dari Ciamis melakukan long march untuk menghadiri Aksi Bela Islam 2 Desember 2016. Di tengah perjalanan, rombongan ini disambut dan disumbang. Tak satu-dua akun Facebook yang memajang gambar rombongan ini, entah di Cileunyi, Cimahi, dan banyak titik lokasi lain. Rata-rata menyatakan simpati dan dukungan, tak lupa merujuk para pejalan dengan sebutan “para mujahid.”
Beberapa foto dan keterangannya menggambarkan orang-orang berdiri di pinggir jalan untuk sekadar melambaikan tangan, memekikkan takbir, memberi sandal jepit, menyerahkan sandal gunung, menyumbang air minum kemasan, juga uang. Seorang ibu di Jatinangor, sebuah kecamatan di Sumedang yang berbatasan dengan Bandung, mengaku memborong sepatu-sandal di beberapa toko untuk santri-santri itu.
“Ketika di Ciamis ada kabar muncul aksi long march ke Jakarta untuk aksi umat Islam Seri III pada 2 Desember 2016, mestinya tak perlu kaget. Long march adalah metode perjuangan memenangkan opini. Itu pertunjukan sosial yang jika bukan karena isu yang kuat sulit sekali terlaksana; bahkan dibayar berlipat-lipat sekali pun,” kata Muhidin M Dahlan dalam kolomnya.
60 tahun silam, aksi semacam ini pun pernah dilakukan. Pagi dini hari 17 November 1956, segerombolan pasukan baret merah yang bertangsi di Batujajar, dekat Bandung, pun bersiap bergerak ke Jakarta. Pasukan baret merah bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus), kala itu sedang dilibatkan dalam kekacauan politik antarperwira di Angkatan Darat. Pasukan itu rencananya digerakkan ke Jakarta.
“Kami meninggalkan Batujajar dengan berjalan melewati sawah. Kemudian naik ke atas truk yang sudah menunggu, menuju Jakarta lewat Karawang,” kata Nicholas Sulu, kala itu RPKAD. Tapi rupanya mereka tidak jalan kaki sampai Jakarta. Mereka hanya gerak jalan dari tangsi ke Padalarang saja. Dari Padalarang, mereka menumpang truk.
Rencananya, mereka akan bersama-sama dengan kesatuan militer lain untuk memasuki Jakarta dengan maksud hendak melakukan unjuk kekuatan saja. Mereka akan bertemu pasukan-pasukan dari unit lain selain RPKAD di Kranji sebelum masuk Jakarta. Tapi apa daya, pasukan-pasukan yang mereka tunggu tak muncul.
Tiba-tiba datang seorang kurir menemui perwira RPKAD di situ, lalu gerakan diinstruksikan untuk ditunda. Pasukan itu terpaksa kembali ke barak dan kecewa.
Ternyata, gerakan yang didalangi kelompok eks Kolonel Zulkifli Lubis ini digembosi oleh Letnan Kolonel Ahmad Sukendro. Suasana pasukan baret merah menjadi kelabu. Di tangsi, kekacauan terjadi. Prajurit-prajurit itu merasa dikecewakan oleh Mayor Djaelani, komandan yang mereka anggap telah memperalat mereka.
Tapi, cerita kegagalan perjalanan di atas bukan satu-satunya cerita long march.
Di Jawa Barat, long march bukanlah hal baru. Pada 1948, divisi yang belakangan jadi Komando Daerah Militer (KODAM) bernama Siliwangi pun melakukan long march. Mereka berjalan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Penyebabnya bukanlah untuk aksi unjuk kekuatan, tapi memprotes tuntutan politik hasil diplomasi Perundingan Renville yang ditandatangani Amir Syarifudin.
Long march Siliwangi ini dikenal juga sebagai Hijrah. Menurut bule Belanda pelarian tentara Belanda yang menyebrang ikut Indonesia, Poncke Princen, jarak tempuh ketika ia ikut long march Siliwangi itu sekitar 500 kilometer.
Jika dibandingkan, 500 km tentu jauh lebih panjang dibanding perjalanan Ciamis-Jakarta yang berjarak sekitar 250 km. Tapi itu masih belum apa-apa dibanding long march kaum komunis Tiongkok yang dipimpin Mao Ze Dong.
Saat itu, Mao dan pengikutnya melakukan long march karena kejaran dan gempuran Kuomintang atau Nasionalis Tiongkok yang dipimpin Chiang Kay Shek. Jarak tempuhnya sungguh gila: 9.000 kilometer. Kisah long march kaum komunis pimpinan Mao tersebut tak akan dilupakan dalam sejarah Tiongkok.
Long march membuat mereka makin kuat. Setelah long march kekuatan mereka bertambah. Tak hanya untuk menghalau Kuomintang, tapi juga menghadapi Jepang. Bahkan kaum komunis itu sukses mendepak Kuomintang ke Formasa, sehingga muncul Taiwan. Hasil long march kaum komunis itu juga tak hanya memojokkan satu orang bernama Chiang Kay Shek saja.
Long march ini jugalah yang ujungnya membuat daratan Tiongkok menjadi teritori kaum komunis bernama Republik Rakyat Tiongkok.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani