tirto.id - Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi negara berkembang maupun maju. Ketimpangan pendapatan di suatu negara biasanya dilihat dengan 2 indikator atau alat ukur, yakni koefesien gini (gini ratio) dan kurva lorenz.
Ketimpangan pendapatan menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi di antara penduduk yang memiliki penghasilan tinggi dan mereka yang berpendapatan rendah.
Besarnya tingkat kesenjangan tersebut sekaligus memperlihatkan rendahnya keberhasilan negara dalam mengurangi angka kemiskinan. Kesenjangan ekonomi juga berisiko memicu banyak problem sosial, termasuk angka kriminalitas.
Meski begitu, konsep ketimpangan lebih luas daripada kemiskinan. Sebab, ketimpangan merujuk pada kondisi semua populasi, tidak terbatas pada masyarakat miskin.
Tri Wibowo di artikelnya, "Ketimpangan Pendapatan dan Middle Income Trap" dalam Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan (Vol 20, 2016) menerangkan, cara mengukur ketimpangan pendapatan paling sederhana adalah dengan mengurutkan populasi dari termiskin sampai terkaya berdasarkan pengeluaran atau pendapatan.
Pengurutan itu diikuti pengelompokan populasi dalam 5-10 kelompok (kuintil). Kemudian dilakukan penghitungan persentase dari masing-masing kuintil (kelompok) terhadap total pengeluaran di suatu wilayah/negara.
Dalam konteks penggolongan 5 kelompok (kuintil), biasanya kategori populasi termiskin menjadi representasi dari 6-10 persen total pengeluaran. Sementara itu, kelompok yang terkaya berkisar 35-50 persen.
Indikator untuk Ukur Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan pendapatan di suatu negara umumnya dilihat dengan 2 indikator atau alat ukur. Keduanya adalah koefisien gini (gini ratio) dan kurva lorenz.
Berikut penjelasan singkat tentang dua indikator untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan tersebut:
1. Koefisien Gini (Gini Ratio)Teori koefisien gini dikembangkan Corrado Gini, ahli statistik dari Italia pada 1912 silam. Hingga kini, gini ratio (rasio gini) kerap dipakai untuk menunjukkan tingkat ketimpangan.
Koefisien gini adalah ukuran statistik yang menunjukkan distribusi pengeluaran per kapita penduduk di suatu wilayah. Maka itu, gini ratio bisa menjadi tolok ukur ketimpangan.
Nilai dalam koefisien gini berkisar dari angka 0 (0 persen) hingga 1 (100 persen). Deret angka itu menunjukkan tinggi-rendahnya ketimpangan distribusi pendapatan.
Jika nilai koefisien gini mendekati angka nol, berarti distribusi pendapatan terjadi secara merata. Dalam konteks ini, tingkat ketimpangan pendapatan bisa dikatakan rendah.
Sebaliknya, jika nilai koefisien gini mendekati angka 1, berarti distribusi pendapatan tidak terjadi secara merata. Artinya, ketimpangan pendapatan bisa disebut tinggi.
Meski demikian, koefisien gini tidak dapat menjadi ukuran mutlak untuk mengukur angka pendapatan atau kekayaan negara. Negara dengan pendapatan tinggi dan rendah, dapat memiliki nilai koefisien gini yang sama apabila distribusi pendapatannya tidak berbeda.
2. Kurva LorenzKurva Lorenz merupakan kurva yang digunakan untuk mengukur hubungan persentase pendapatan dan penerimaan selama kurun waktu tertentu.
Kurva lorenz biasa dipakai untuk memperlihatkan tingkat ketimpangan distribus kekayaan atau pendapatan di suatu wilayah/negara.
Bentuk kurva lorenz berupa segi empat. Di dalamnya ada garis diagonal dan 1 kurva riel yang menghubungkan dua titik diagonal.
Di Kurva Lorenz, ada sumbu horizontal dan vertikal. Sumbu horizontal menunjukkan data bagian kumulatif penduduk dari 0-100%. Sumbu vertikal menjadi indikator dari kumulatif kekayaan/pendapatan dari populasi termiskin sampai paling kaya.
Kurva lorenz menyatakan, semakin jauh kurva dari garis diagonal, distribusi pendapatan berarti tidak merata. Begitu pun sebaliknya, pendapatan merata ketika kurva mendekati garis diagonal.
Maka itu, cara membaca kurva lorenz adalah dengan melihat garis diagonalnya. Semakin jauh kurva lorenz dari garis diagonal, berarti ketimpangan distribusi pendapatan di suatu negara cukup tinggi.
Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Pendapatan
Dalam melaksanakan pembangunan, upaya negara meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita kerap tidak selaras dengan proses pemerataan kekayaan.
Akibatnya, ketimpangan pendapatan terjadi. Proses pembangunan bisa saja memajukan ekonomi suatu negara, tetapi mayoritas hasilnya dinikmati oleh segelintir orang.
Ketimpangan ditandai oleh pemusatan kekayaan/kemakmuran di sebagian kecil populasi, atau di wilayah tertentu dari suatu negara.
Sejumlah faktor penyebab ketimpangan pendapatan di setiap wilayah bisa saja berbeda. Hal ini karena kondisi perekonomian di setiap wilayah tidak sama.
Namun, mengutip ulasan M. Farhan dan Sugianto di Jurnal Sibatik (Vol 1, 2022), secara umum ada beberapa faktor yang memengaruhi ketimpangan pendapatan, yakni:
- Jumlah penduduk (pertumbuhan populasi tinggi bisa meningkatkan ketimpangan)
- Inflasi (inflasi tak terkendali bisa meningkatkan ketimpangan)
- Pengangguran (Besarnya angka pengangguran bisa meningkatkan ketimpangan)
- Kemiskinan (tingginya angka kemiskinan bisa meningkatkan ketimpangan)
- Kebijakan fiskal (Kebijakan fiskal tidak tepat bisa meningkatkan ketimpangan)
- Indeks Pembangunan Manusia/IPM (IPM rendah bisa meningkatkan ketimpangan).
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom