Menuju konten utama

Mengapa SBY "Mengalah" pada Kader-Kader yang Membangkang?

Pembiaran Demokrat terhadap kader yang membangkang dinilai menunjukkan ada persoalan serius antara kader pusat dan daerah yang tidak terselesaikan.

Mengapa SBY
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta, Senin (30/7/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Kebijakan DPP Partai Demokrat membiarkan kadernya di beberapa daerah mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin menuai kritik dari elite Gerindra dan PKS. Partai berlambang mercy itu dinilai gagal menyolidkan kadernya mendukung Prabowo-Sandiaga seperti yang dua partai itu lakukan.

“Jadi harusnya satu komando kalau sudah ambil keputusan. Kalau sudah ambil A, semuanya harus A," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin (10/9/2018).

Fadli meminta Ketua Umum Partai Demokrat Susillo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyolidkan kader-kadernya di daerah tanpa terkecuali.

“Sudah semestinya begitu ya [SBY menyolidkan kadernya]. Keputusan yang diambil oleh DPP [Demokrat] pasti akan mengikat. Tidak mungkin keputusan itu ada pengecualian-pengecualian. Saya kira pastinya akan mengikat," kata Fadli.

Fadli pun mencontohkan Gerindra yang sudah solid mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga dari pusat sampai bawah sejak partainya meyatakan mengusung pasangan ini.

Hal senada diungkapkan Direktur Pencapresan DPP PKS, Suhud Alyudin. Ia meminta Demokrat menyolidkan kadernya agar tak menggangu proses pemenangan Prabowo-Sandiaga.

“Kalau kami bagian dari koalisi sih berharap bisa solid dan tak mengganggu upaya pemenangan secara umum,” kata Suhud kepada Tirto, Senin (10/9/2018).

Tak cuma itu, kebijakan Demokrat tersebut juga memunculkan respons dari Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno yang membandingkan dengan soliditas partainya mengusung Jokowi-Ma'ruf Amin. Bahkan, ia menyatakan sistem di PDIP lebih baik ketimbang Demokrat dalam menyolidkan kader.

“PDIP itu demokrasinya demokrasi terpimpin. Sehingga begitu ada keputusan selalu tegak lurus," kata Hendrawan, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin (10/9/2018).

Hendrawan mengklaim hal itu sudah terbukti dari survei-survei politik yang menyatakan kader PDIP hampir selalu solid mendukung keputusan pusat.

"Exit poll selalu membuktikan bahwa pilihan warga, anggota PDIP terhadap pilihan partainya, minimal 93 persen. Ada deviasi sedikit tetapi tidak signifikan. Itu selalu lho. Coba exit poll di pilgub, di pilpres," kata Hendrawan.

SBY Gagal Solidkan Kader

Peneliti Populi Centre Rafif Pamenang Imawan menilai wajar bila Gerindra dan PKS sebagai partai koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga mendesak SBY menyolidkan kadernya di daerah. “Karena ini memang berpotensi meluas. Bisa jadi banyak kader di daerah lain mengambil sikap sama dengan Lukas mendukung Jokowi-Ma'ruf," kata Rafif kepada Tirto.

Lukas yang dimaksud Rafif adalah Lukas Enembe, gubernur Papua yang juga kader Partai Demokrat. Selain Lukas nama kader Demokrat lain yang menyatakan diri mendukung Jokowi-Ma'ruf ialah, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Gubernur NTB TGB Zainul Majdi, dan mantan Wagub Jabar Deddy Mizwar.

Rafif menilai dispensasi yang diberikan DPP Demokrat kepada para kadernya yang menjabat sebagai kepala daerah menunjukkan tanda pamor kepemimpinan SBY di mata kadernya meredup. SBY, menurut Rafif, tak bisa membuat kadernya seiya sekata dengan keputusan partai yang memilih mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga S. Uno.

“Ini menunjukkan persoalan serius antara kader pusat dan daerah yang tidak terselesaikan,” kata Rafif.

Mengapa kader membangkang? Rafif bilang: “Kalau kami lihat SBY ini cenderung ingin membuat Demokrat sebagai partai keluarga. Itu membuat aspirasi kader di daerah tidak terwadahi.”

Maka, menurut Rafif, sudah saatnya bagi Demokrat untuk mengevaluasi kepemimpinan SBY dan menggantinya dengan kepemimpinan baru yang dipilih lewat cara demokratis.

"Saya rasa SBY harus melepaskan dominasi patron kliennya dan mendorong semua mekanisme di partai secara kelembagaan. Garis keluarganya harus dikesampingkan. Karena itu yang membuat organisasi terus berjalan sebagai partai modern," kata Rafif.

Berbeda dengan Rafif, Direktur Eksekutif Kedai Kopi Institute, Hendri Satrio menilai keputusan Demokrat ini bukan sepenuhnya menunjukkan pamor SBY di mata kader sudah meredup. "Saya rasa Demokrat ambil keputusan itu juga sudah atas dasar evaluasi. Langkah SBY sudah tepat. Justru dia memperhatikan kelangsungan karier politik kadernya di daerah," kata Hendri kepada Tirto.

Menurut Hendri, dalam pemilu serentak seperti pada 2019 mendatang strategi win win solution antara memenangi pilpres dan pileg perlu dilakukan. "Apa juga artinya bikin Prabowo-Sandi menang kalau mereka [Demokrat] enggak masuk parlemen?” kata dia.

Demokrat Pastikan Solid dalam Kepemimpinan SBY

Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Syarifudin Hasan membantah kalau partainya gagal menyolidkan kadernya di bawah kepemimpinan SBY. "Pak SBY tetap tegas [menyolidkan kader] dalam hal ini," kata Syarifudin kepada Tirto.

Lagi pula, menurut Syarifudin, keputusan pemberian dispensasi tersebut belum final, melainkan masih dalam tahap pembahasan di tingkat Majelis Kehormatan Demokrat.

"Hari ini mereka [Majelis Kehormatan] sedang rapat. Kami yang jelas tetap serius memperhatikan hal ini. Apakah nanti ada sanksi etik ke kader membelot atau dispensasi khusus, tunggu saja hasilnya," kata Syarifudin.

Pada Minggu (9/9/2018), Ketua DPP Demokrat Ferdinand Hutahaean menyatakan, partainya akan memberi dispensasi khusus kepada beberapa kadernya yang mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019, termasuk Deddy Mizwar dan Gubernur Papua, Lukas Enembe. Namun, Demokrat meminta agar para kadernya itu tidak masuk secara resmi di tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf.

Menurut Ferdinand, keringanan kepada Deddy diberikan karena yang bersangkutan mengaku tidak mungkin tidak mendukung Ma'ruf Amin. Deddy, kata Ferdinand, sudah menganggap Amin sebagai guru.

Sementara, kepada Lukas karena di Papua 92 persen masyarakatnya dan kader Demokrat di sana menginginkan mendukung Jokowi. Agar tidak disebut bermain dua kaki di Pilpres 2019 ini, Partai Demokrat akan mencari jalan tengah yang bisa diterima semua pihak tanpa merugikan satu sama lain.

"Ya mungkin kami akan meminta kader kami untuk tidak usah masuk secara resmi di tim pemenangan (Jokowi-Ma'ruf). Mungkin itu salah satu cara kami nanti," kata Ferdinand, di Jakarta, Minggu (9/9/2018).

Sementara itu, Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief mengatakan, kebijakan partainya memberikan kebebasan kepada sejumlah kadernya di daerah untuk mendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai strategi pemilu yang bersamaan antara pileg dan pilpres, bukan politik dua kaki.

“Kedua-duanya sama pentingnya, tidak ada yang lebih utama. Kalau Demokrat berstrategi menang pileg sekaligus menangkan Prabowo, itu kedaulatan partai kami,” cuit Andi Arief di akun Twiternya @AndiArief__

Andi mengklaim, dalam koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga, justru yang memiliki catatan politik dua kaki adalah PAN dan PKS. “PAN mengusung Prabowo Pilpres namun ikut menteri Jokowi. PKS ikut dalam kabinet SBY namun di Parlemen melawan. Demokrat tidak ada catatan, jangan khawatir,” demikian cuit Andi, pada 9 September 2018.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz