Menuju konten utama

Mengapa Kebebasan Berekspresi di Era Presiden Jokowi Rendah?

Salah satu solusi agar kebebasan berekspresi publik bisa membaik adalah memperbaiki UU ITE sesegera mungkin.

Mengapa Kebebasan Berekspresi di Era Presiden Jokowi Rendah?
Ilustrasi UU ITE. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kebebasan berekspresi di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjadi sorotan. Hal tersebut terungkap dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia periode 11-21 Februari 2022 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi dengan angka margin of error 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. [PDF]

“Mayoritas masyarakat kita takut menyatakan pendapatnya,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam kanal Youtube Indikator Politik.

Berdasarkan hasil survei, angka masyarakat yang sepakat bahwa publik semakin takut menyampaikan pendapat mencapai 62,9 persen. Angka ini terdiri atas masyarakat yang sangat setuju 6,8 persen dan setuju 56,1 persen. Sementara masyarakat yang kurang setuju 16,8 persen dan tidak setuju sama sekali 4,6 persen.

“Alasannya memang terutama sejak pilpres yang membelah 2014-2019 ada fenomena kadrun vs cebong kemudian saling melaporkan. Jadi iklim ketakutan itu muncul, kemudian mungkin ada fenomena kriminalisasi. Itu yang kemudian memunculkan masalah,” kata Burhanuddin.

Burhanuddin lantas mengaitkan dengan isu revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia menangkap informasi bahwa publik ingin agar UU ITE segera direvisi.

“Kita tanya yang setuju-tidak setuju terhadap revisi Undang-Undang ITE untuk segera disahkan baik yang tahu atau yang tidak tahu, di antara yang mengikuti isu ini itu tingkat persetujuannya jauh lebih tinggi,” kata Burhanuddin.

Ia menambahkan “Kalau kita total, itu 84 persen masyarakat yang tahu berita tadi [rencana revisi UU ITE] setuju.”

Dalam data survei tersebut, total semua sampel yang setuju revisi UU ITE mencapai 59,5 persen (sangat setuju 4,7 persen dan setuju 54,8 persen). Sementara itu, khusus untuk sampel yang tahu, total mencapai 84,6 persen (angka sangat setuju 9,3 persen dan setuju 74,3 persen). Sementara itu, angka yang tidak tahu isu tersebut menilai revisi UU ITE tetap diperlukan dengan angka total 47,2 persen (sangat setuju 2,4 persen dan setuju 44,8 persen).

Respons Istana

Staf Khusus Mensesneg, Faldo Maldini menilai, persepsi bisa saja berubah tergantung kondisi. Ia mengakui bahwa ada masalah kebebasan berpendapat di Indonesia, tetapi semua masih dalam koridor hukum.

“Persepsi bisa macam-macam, bisa berubah kapan saja. Memang ada beberapa kasus berkaitan dengan kebebasan berpendapat yang menjadi pembicaraan publik, bukan berarti ada pembungkaman, semuanya tetap berjalan sesuai koridor hukum," kata Faldo dalam keterangan, Senin (4/4/2022).

Faldo menegaskan, pemerintah tengah berupaya memperbaiki iklim demokrasi dengan mengkaji ulang keberadaan UU ITE. Di sisi lain, penegakan hukum oleh kepolisian sudah berupaya menggunakan restorative justice. Pemerintah pun menegaskan dialog akan menjadi upaya utama.

“UU ITE juga dikaji ulang. Kapolri berkali-kali menyampaikan restorative justice. Kita kedepankan pendekatan dialog dalam penyelesaian kasus-kasus, terutama terkait dengan hak bicara," kata Faldo.

Di sisi lain, Faldo mengungkit soal kebijakan Jokowi yang memberikan amnesti dalam kasus kebebasan berpendapat seperti yang dialami Saiful Mahdi, akademisi dari Aceh.

Faldo menegaskan, "Negara berkomitmen melindungi hak politik warga, semua kritikus pemerintah masih bicara sampai hari ini. Yang terpenting, pemerintah bekerja dan hadir.”

Masyarakat Takut Meski Ada Upaya Revisi UU ITE

Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar mengakui bahwa publik takut untuk berekspresi saat ini. Ia menilai masyarakat takut meski sudah ada upaya perbaikan revisi UU ITE.

Ia mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa publik takut menyatakan pendapatnya. Pertama adalah kemunculan aksi doxing, labelisasi hingga stigmatisasi kepada masyarakat yang mengeluarkan ekspresi.

“Yang kedua parameter yang tidak terukur untuk menindaklanjuti sebuah perkara yang berkaitan dengan penghinaan atau kritik. Jadi tidak ada parameter yang jelas. Oleh karena itu, polisi seolah-olah jadi mudah untuk melanjutkan perkara tersebut," kata Rivanlee kepada reporter Tirto.

“Itu dua hal yang menjadi kebiasaan belakangan ini dan membuat orang menjadi takut untuk berekspresi," kata Rivanlee menegaskan.

Kemudian, dua hal tersebut didukung dengan isi UU ITE yang bermasalah. Ia melihat pemerintah tidak serius untuk merevisi dengan mengeluarkan SKB 3 menteri, membuat pedoman Kemenkominfo dan lain-lain, tetapi tidak kunjung merevisi UU ITE. Hal ini diperparah dengan upaya kriminalisasi yang dilakukan pejabat dengan menggunakan UU ITE yang bermasalah hingga saat ini.

Sebagai catatan, sejumlah pejabat seperti Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko maupun Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan melaporkan sejumlah aktivis ke polisi. Luhut melaporkan aktivis KontraS Fatia Maulidiyanti dan aktivis Lokataru Haris Azhar ke polisi karena tudingan keterlibatan Luhut di Blok Wabu. Sementara itu, Moeldoko melaporkan aktivis ICW Egy Primayoga dalam tudingan mencari rente dalam ekspor beras.

“Jadi trigger-nya selain Undang-Undang ITE adalah kelakuan pejabat publik yang satu membiarkan peristiwa ini terus terjadi yang kedua pejabat publik yang menggunakan Undang-Undang ITE itu sendiri. yang ketiga adalah aparat penegak hukum yang dengan mudah melanjutkan pelaporan pasal Undang-Undang ITE ini," kata Rivanlee.

Selain itu, KontraS juga melihat pemerintahaan Jokowi sengaja tidak kunjung merevisi UU ITE agar menimbulkan ketakutan. Publik akhirnya dipaksa untuk dibuat menerima keputusan pemerintah meski keputusan tersebut buruk.

“Dugaan saya lambatnya atau didiamkannya revisi UU ITE ini lama-kelamaan menjadi terlihat seperti by design untuk melakukan pembungkaman terhadap publik dan memberikan ketakutan kepada masyarakat yang lebih luas lagi," kata Rivanlee.

Ia menambahkan, “Jadi seolah-olah kita dipaksa untuk menerima apa kebijakan, apa keputusan yang keluar dari negara sekalipun posisinya itu merugikan bagi masyarakat.”

Kriminalisasi dalam Berekspresi Makin Nyata

Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar berbicara lebih jauh. Ia mengatakan situasi Indonesia memang sudah mengarah pada kekhawatiran chilling effect akibat kriminalisasi ekspresi semakin nyata.

Ia menilai, intensitas upaya kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah yang menguat membuat chilling effect semakin nyata. Hal tersebut terlihat dari bagaimana Saiful Mahdi dihukum karena mengkritik kebijakan kampus.

“Itu (kasus Saiful Mahdi) kan sebenarnya pernyataan dia bagian dari legitimate expression, ekspresi yang sah, tapi dia tetap dilakukan tindak pemidanaan meski pada akhrinya mendapat amnesti dari presiden, tapi pada dasarnya dia sudah menjalani proses pidana dengan sistem pengadilan, putusannya ada dan pengadilan menyatakan dia bersalah," kata Wahyudi kepada Tirto.

Wahyudi mengatakan, “Akibat itu, chilling effect semakin membesar. Efek ketakutan itu menjadi semakin membesar. Publik menjadi takut kemudian mengeluarkan ekspresi, menyatakan pandangan pendapat dan seterusnya terutama yang kaitannya dengan pendapat-pendapat atau pandangan yang sifatnya politik atau ekspresi politik.”

Faktor kedua adalah kemunculan virtual police. Hal ini kerap mengirimkan peringatan sambil menyertakan pasal. Hal itu membuat publik khawatir dirinya dipantau. Kekhawatiran tersebut akhirnya menimbulkan ketakutan dalam berekspresi.

“Nah ini yang menjadi semacam pembenar hasil survei [Indikator Politik] ini yang kemudian mengatakan bahwa ada penurunan terhadap kenikmatan kebebasan berpendapat dan berekspresi karena memang situasinya demikian," kata Wahyudi.

Situasi tersebut kemudian diperparah dengan pasal-pasal bermasalah UU ITE seperti Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. Pasal-pasal multitafsir itu kemudian disalahgunakan oleh aparat baik lewat upaya memperingatkan dalam bentuk virtual police atau penegakan hukum pidana meski sudah ada SKB 3 menteri maupun hal lain.

“Jadi ada masalah pada dasarnya dengan UU ITE yang kemudian dia berdampak pada naiknya tindakan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi yang pada akhirnya tadi menciptakan chilling effect dan terjadi penurunan dalam penikmatan kebebasan berekspresi," kata Wahyudi.

Wahyudi memandang, solusi agar kebebasan publik bisa membaik adalah memperbaiki UU ITE sesegera mungkin. Kedua, Jokowi selaku presiden perlu mengeluarkan kepastian bahwa polisi dan jaksa yang berada di bawah komandonya untuk berhati-hati dalam penerapan UU ITE.

Ketiga, ia menyarankan agar Mahkamah Agung turun tangan dengan mengeluarkan fatwa pembekuan sementara penerapan UU ITE dalam konteks pelaporan pencemaran nama baik. Penegakan hukum bukan dengan menggunakan UU ITE, tetapi menggunakan KUHP.

"Yang pasti adalah bagaimana agar aparat penegak hukum itu menahan diri menggunakan ketentuan ini ketika menerima laporan dari masyarakat dan lebih selektif ketika mendapatkan laporan dari masyarakat, dari publik," kata Wahyudi.

Di sisi lain, masyarakat harus diedukasi agar tidak menggunakan hukum pidana dalam penyelesaian masalah-masalah ITE. Pemerintah dan masyarakat harus bersama mendorong penerapan pemidanaan lewat UU ITE dikesampingkan dan lebih mengedepankan upaya dialog maupun sanksi secara administratif.

“Jadi kalau misalnya ada pernyataan di media, dia dahulukan mekanisme-mekanisme klarifikasi dan kemudian belum ada klarifikasi apa pun langsung kemudian menggunakan dilaporkan, menggunakan instrumen pidana. Ini juga penting untuk diedukasi ke publik dan itu mesti menjadi pekerjaan bersama baik pemerintah sendiri maupun juga penyedia platform juga sebaiknya turut membantu di dalam proses mengedukasi penggunanya juga," kata Wahyudi.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN BEREKSPRESI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz