tirto.id - Mantan Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Markas Besar Polisi RI, Iskandar Mz, ditanya soal kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, saat tes wawancara Calon Dewan Pengawas (cadewas) KPK.
Awalnya, panelis undangan, Ningrum Natasya Sirait, yang merupakan Guru Besar Universitas Sumatra Utara (USU), menanyakan soal latar belakang Iskandar dan alasannya ingin menjadi Dewas KPK.
"Pertama tentu background pengalaman kami dari bidang aparat hukum. Kami juga banyak berkecimpung di reserse pendidikan. Karena background lebih banyak ke fungsi pengawasan, maka kami tertarik dengan Dewas. Saya pernah menjabat sebagai pengawas penyidik," kata Iskandar saat tes wawancara di gedung 3 Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (20/9/2024).
Kemudian, Ningrum menanyakan bagaimana apabila nantinya Iskandar bersinggungan dengan kasus yang pelakunya berasal dari korps yang sama.
Ningrum mencontohkan kasus dugaan pemerasan oleh Firli terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang hingga saat ini mandek ditangan Kepolisian. Diketahui, Firli memiliki background sebagai polisi sebelum bertugas di KPK.
"Saya kira kita atau Dewas harus memiliki sifat integritas yang kuat, kemudian harus transparans. Itu bisa menghindari hal-hal yang mengintervensi," jelas Iskandar.
Lebih lanjut, Iskandar mengungkapkan bahwa dirinya akan terus berpegang kuat pada integritas dan independensi, serta transparansi pada media.
Iskandar mengatakan, hal tersebut dilakukan guna memberikan pemahaman pada awak media saat membuat sebuah berita.
"Kita menjelaskan supaya media ikut mengerti dan paham pada perkara yang ditangani, jadi media pun ikut paham dan memberitakan," sambungnya.
Kemudian, Ningrum mengatakan bahwa Dewas KPK tidak diperbolehkan turut menangani kasus korupsi tetapi bertugas untuk mengawasi para pimpinan KPK.
"Bapak bilang perkara ditangani, Dewas tidak boleh ikut, tidak boleh cawe-cawe, mengawasi," ujar Ningrum.
Dalam kesempatan yang sama, panelis undangan lainnya, Laode M Syarif, yang merupakan mantan Wakil Ketua KPK, menanyakan kepada Iskandar soal cara menghadapi intervensi jika terpilih sebagai Dewas KPK.
"Ada beberapa kasus di KPK, banyak orang-orang di KPK yang diancam, bahkan kalau kasusnya Novel [Baswedan] jelas buta dia, sekarang yang satu itu masih bisa, rabun dia. Tapi banyak banget ancaman-ancaman lain termasuk yang buang bom di rumah saya, syukur alhamdulilllah hanya satu botol meledak. Jadi saya pikir yang menyelamatkan itu doa ibu saya bukan saya," ujar Laode.
Laode menanyakan pada Iskandar, hukuman apa yang pantas didapatkan oleh orang-orang yang melakukan intervensi terhadap KPK.
"Ada yang pasang bom di rumah Pak Agus dan banyak lagi yang lain cuma kita ga sebutin, yang siram air keras, dan setelah kita teliti ini bukan bagian dari aparat. Dan yang lanjut di pengadilan Novel, kalau kasus saya tidak lanjut. Jadi menurut bapak itu hukuman yang setimpal apa untuk orang yang melakukan itu?" tambahnya.
Iskandar mengatakan para pelaku teror tersebut harus di hukum berat. Karena, kata Iskandar, tindakan tersebut telah mengancam nyawa seseorang.
"Secara proses tentu saja hasil investigasi, saksi cukup, barang bukti cukup, tentu saja yang menentukan pengadilan. Tetapi kita menetapkan pasal sesuai dengan yang paling berat. Saya kira patut diberikan hukuman yang berat karena sudah berbeda sifatnya, karena mengancam jiwa," pungkasnya.
Panitia Seleksi (Pansel) Dewas KPK menggelar tes wawancara terhadap 10 orang Cadewas KPK hari ini.
Selain 9 orang Pansel yang dipimpin oleh Muhammad Yusuf Ateh, Pansel juga mengundang dua orang panelis undangan yaitu,mantan pimpinan KPK, Laode M Syarif dan Guru Besar Universitas Sumatra Utara (USU), Ningrum Natasya Sirait.
Tes wawancara dilakukan secara terbuka dengan mempersilahkan awak media dan 40 orang perwakilan masyarakat sipil untuk masuk ruangan. Meski begitu, Pansel tidak mengizinkan untuk melakukan live streaming karena banyaknya informasi pribadi para kandidat.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Irfan Teguh Pribadi