Menuju konten utama

Mengapa Kasus Narkoba Semakin Marak hingga Polisi Jadi Pemakai?

Peneliti ICJR menilai jumlah kasus maupun penggunaan narkotika meningkat karena pemerintah tak menyelesaikan masalah dasar narkotika.

Mengapa Kasus Narkoba Semakin Marak hingga Polisi Jadi Pemakai?
Polisi menghadirkan sejumlah tersangka saat pemusnahan barang bukti narkoba dan ungkap Operasi Tumpas Narkoba Semeru di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Jumat (24/9/2021). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.

tirto.id - Penyebaran narkoba semakin mengkhawatirkan. Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan mereka telah menyita sekitar 115,1 ton ganja, 3,3 ton sabu, 50,5 hektar lahan ganja, dan 191.575 butir ekstasi sepanjang 2021.

Kepala BNN Komjen Polisi Petrus R. Golose mengatakan, temuan tersebut berdasarkan barang bukti dari pengungkapan 85 jaringan sindikat narkoba. Dari jaringan tersebut, BNN mengungkapkan 760 kasus tindak pidana narkoba dan menangkap 1.109 tersangka.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan kasus 2020. Selama 2020, ada 833 kasus dengan jumlah tersangka 1.307 tersangka. Namun angka sitaan sepanjang 2020 lebih kecil daripada 2021. Sebagai contoh, angka ganja hanya 2,4 juta ton, 30,5 hektar ganja, dan 55 batang pohon ganja serta 1,05 ton sabu. Sementara itu, angka penggunaan ekstasi di angka 342.055 butir atau lebih rendah daripada 2021.

Pihak BNN mengaku angka peredaran pada 2021 jauh lebih tinggi dibandingkan 2020. Petrus mencontohkan BNN menyita barang bukti sabu-sabu sejumlah 808,68 kilogram, atau sudah mencapai 70,19 persen dari jumlah yang disita selama 2020 yang sebesar 1.152,2 kilogram dalam periode Januari-Maret 2021.

“Atau 70,19 persen dibandingkan dengan jumlah barang bukti tahun 2020 sebanyak 1.152,2 kilogram. Jadi baru tiga bulan kita melaksanakan operasi ini, barang bukti yang bisa kami sita itu sudah 70,19 persen,” kata Petrus dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Maret 2021 lalu.

Petrus mengatakan, barang bukti ganja yang disita BNN selama Januari-Maret 2021 juga mengalami peningkatan yaitu meningkat 143,64 persen dibandingkan barang bukti pada 2020.

Peredaran narkoba tidak hanya menyasar warga. Aparat penegak hukum pun menjadi pengguna. Pada 2020, kepolisian memecat 113 anggota dari kesatuan dengan mayoritas adalah kasus narkoba. Sementara tahun ini, anggota masih ada yang terjerat kasus narkoba.

Sebagai contoh Kapolsek Sepatan AKP Oky Bekti Wibowo kehilangan jabatan sebagai kapolsek gegara ketahuan menggunakan narkoba berjenis sabu-sabu. Ia lantas dimutasi ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.

Hal menyedihkan lain adalah Kapolsek Astanaanyar Kompol Yuni yang melakukan pesta narkoba bersama anggotanya. Yuni lantas dipecat secara tidak hormat bersama anggotanya.

Mengapa Narkoba Sulit Diberantas & Polisi Jadi Pengguna?

Peneliti Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari menilai jumlah kasus maupun penggunaan narkotika meningkat karena pemerintah tidak menyelesaikan masalah dasar narkotika. Hal ini tidak lepas dari logika pemerintah dalam penanganan pengguna narkoba dengan pemenjaraan daripada upaya rehabilitasi.

“Jadi selama supply-nya ada, bandar peredaran gelap masih terus ada, dan demand dari pengguna gak diintervensi pakai rehabilitasi, pakai pendekatan kesehatan, tapi pakai penjara, dia nggak akan menyelesaikan masalah," kata perempuan yang akrab disapa Tita itu kepada Tirto, Kamis (30/12/2021).

Tita mengatakan, pemerintah tidak mengontrol siapa pengguna yang layak secara legal dan tidak, serta mengedepankan pemenjaraan membuat warga diam-diam mencari narkotika. Polisi pun menggunakan narkoba karena barang tersebut mudah diperoleh di publik.

“Kalau itu masalahnya, itu polisi atau masalahnya pejabat ya memang akses narkotika sudah sebebas itu dan nggak bisa dikontrol itu. Kita nggak tahu beli bisa di mana saja. Mau dia polisi, mau dia pejabat," kata Tita.

Di sisi lain, regulasi di Undang-Undang Narkotika sangat 'karet' karena tidak bisa membedakan antara pengguna biasa dengan pengedar dengan baik. Ia mencontohkan bagaimana Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, dan Pasal 115 UU Narkotika sebagai upaya pemidanaan. Kemudian ada ruang gelap yang bernama rehabilitasi sesuai Pasal 127 UU Narkotika yang menjadi 'ruang negosiasi' polisi dan pengguna yang terjerat hukum.

“Sebenarnya ada pasal yang dia bisa rehabilitasi, tapi karena pasalnya karet dalam praktik banyak dijual beli, di dalam praktiknya dia pengguna mau bayar polisi buat transaksional, buat lahan polisi. Kalau mau direhabilitasi lu harus bayar segala macam nanti dikenakan Pasal 127," kata Tita.

Tita menambahkan, proses rehabilitasi pun rumit dan kompleks karena ada syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi. Kemudian dokumen yang dipenuhi harus di fasilitas kesehatan (faskes) khusus sehingga sulit terpenuhi di daerah terpencil.

Oleh karena itu, Tita menilai permasalahan peredaran narkotika harus dilakukan secara komprehensif. Pertama, pemerintah harus merevisi UU Narkotika dengan menghapus pasal karet. Kedua, negara harus menyediakan fasilitas kesehatan memadai untuk menjaga para pengguna agar tidak terjerumus lebih jauh sebagai pengguna narkoba.

“Jelas revisi Undang-Undang Narkotika pasti harus kita tempuh. Nah yang di bagian keduanya di faskesnya jadi jaminan fasilitas layanan untuk orang-orang pengguna, kemudian bagaimana mereka kontrol dan dibantu tenaga kesehatan profesional jadi mereka bisa tahu takaran dan sebagainya," kata Tita.

Ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi melihat lebih jauh dalam polemik narkoba ini. Menurut Fachrizal, kasus narkoba yang semakin marak menandakan upaya penanganan narkoba perlu dievaluasi. Ia menilai, konsep War on Drugs yang diterapkan Amerika saja sudah mulai dievaluasi padahal Indonesia meniru konsep tersebut.

“Misalkan soal ganja. Ganja itu masih masuk golongan 1 padahal itu masih debatable, banyak negara juga sudah mulai tidak termasuk yang dikriminalisasi. Makanya undang-undang narkoba ini juga perlu, Undang-Undang Narkotika harus dievaluasi, narkotika mana saja yang bisa dikriminalisasi. Jadi ada yang harus dievaluasi nih," kata Fachrizal kepada reporter Tirto.

Fachrizal mengaitkan dengan banyaknya polisi yang juga menjadi pengguna. Ia mengatakan, tidak sedikit polisi membeli dan mengkonsumsi narkoba dengan dalih penyitaan atau mengambil sebagian bukti untuk konsumsi sendiri.

“Jadi polisi kan bisa nyita apalagi ada pembelian terselubung. Seolah-olah misalkan menangkap narkotik pura-pura jadi pembeli, gitu. Kalau ketahuan alasannya pembelian terselubung, tapi kalau nggak dipakai sendiri. Kan bisa jadi modus," kata Fachrizal.

Semua masalah penanganan narkoba bermuara dari regulasi yang karet dan pengawasan pelaksanaan penindakan oleh penegak hukum dalam kasus narkoba, kata dia. Hal tersebut dibuktikan dengan mayoritas napi saat ini merupakan kasus narkotika dan memicu overcrowding di lapas.

Oleh karena itu, Fachrizal menyarankan, pertama agar regulasi karet dalam UU Narkotika diperbaiki. Ia menyarankan tidak ada lagi pasal karet sehingga tidak ada prosedur hukum yang disalahgunakan, apalagi Indonesia mulai menerapkan restorative justice (RJ) pada pengguna narkoba.

Kedua, Fachrizal menyarankan agar peran pengawasan diperkuat di lingkungan penegak hukum. Dengan demikian, tidak ada aksi kongkalikong atau upaya mencari untung dari aparat penegak hukum dalam penanganan narkotika.

“Pengawasan check and balances antaraktor pengadilan jaksa harus diperkuat, jadi tidak pengawasan vertikal. Di mana-mana yang namanya sistem pengawasannya harusnya horizontal. Kenapa horizontal? agar check and balance ya agar mempersulit untuk kongkalikong," kata Fachrizal.

Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz