tirto.id - Semua Presiden Indonesia pernah mengucapkan Selamat Natal. Tanpa kecuali. Akan tetapi, tidak ada yang paling artikulatif berbicara tentang Natal selain Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Sebelum menjadi presiden, Gus Dur sudah sangat sering berbicara tentang pentingnya menjaga toleransi antarumat beragama—imbauan yang sebenarnya bersifat umum. Namun Gus Dur tak hanya berhenti dalam mengimbau, ia bahkan sangat aktif berbicara, bertindak, dan berperilaku yang merealisasikan imbauan toleransi itu.
Saat masih menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Gus Dur bahkan terjun langsung dalam upaya mengamankan malam Natal di berbagai gereja. Ia memerintahkan Barisan Serbaguna Gerakan Pemuda Ansor atau Banser, organisasi kepemudaan di lingkungan NU, untuk menjaga gereja di malam Natal.
Hal itu terjadi pada Hari Raya Natal 25 Desember 1996, tepat hari ini 24 tahun lalu. Latar belakangnya adalah peristiwa kerusuhan massa yang berakhir dengan pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur. Walau tidak dinyatakan secara implisit, perintah Gus Dur kepada Banser untuk mengamankan gereja di Situbondo dapat dibaca sebagai pertanggungjawaban Gus Dur atas perusakan gereja di Situbondo, di tapal kuda Jawa Timur yang notabene adalah basis nahdliyin.
Sebelum Natal 1996 itu, Gus Dur sempat ditanyai oleh seorang anggota Ansor Jawa Timur soal hukumnya seorang muslim menjaga gereja. Gus Dur kira-kira menjawab begini:
“Kamu niatkan jaga Indonesia bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab gereja itu ada di Indonesia, tanah air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apa pun di bumi Indonesia,” kata Gus Dur ditirukan oleh Nusron Wahid, yang saat itu masih kuliah di Universitas Indonesia, dan di kemudian hari menjadi Ketua Umum GP Ansor, kepada Detik.
Berdasarkan itulah maka Choirul Anam, atau Cak Anam, selaku Ketua Ansor Jawa Timur, langsung memerintahkan seluruh anggota Banser Jawa Timur untuk aktif menjaga gereja di malam Natal.
Tak urung tragedi pun muncul. Di malam Natal 2000, persisnya pada 24 Desember 2000, seorang anggota Banser, namanya Riyanto, tewas karena melindungi gereja Eben Haezer, Mojokerto. Saat itu gereja dihebohkan oleh bingkisan, yang setelah dibuka ada kabel-kabel. Bom!
Riyanto berinisiatif menjauhkan bom dari gereja yang dijaganya. Ia pun berlari sembari membawa bom tersebut. Nahas, bom meledak tak lama setelah dibuang ke selokan, dan tubuh Riyanto pun terlempar hingga ke atas gereja. Riyanto tewas seketika. Dia menjadi martir yang mengorbankan tubuhnya sendiri untuk menjaga kebhinekaan.
Saat itu Gus Dur telah menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam statusnya sebagai pemimpin tertinggi Indonesia, ia melakukan banyak sekali gebrakan untuk memulihkan kebhinekaan Indonesia. Dua di antaranya adalah: mengakui Konghucu sebagai agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Assalamualaikum di Hari Natal
Beberapa bulan setelah dilantik menjadi presiden, Gus Dur datang sendiri pada malam perayaan Natal tingkat nasional yang digelar di Balai Sidang Senayan pada Senin, 27 Desember 1999. Dalam acara Natal yang disiarkan secara langsung oleh seluruh televisi itu, Gus Dur menyampaikan pidato di hadapan 10 ribu peserta.
T.B. Silalahi, mantan menteri di era Orde Baru sekaligus panitia pelaksana acara, menganggap pidato Gus Dur itu sangat penting. “Pidato Gus Dur terhadap umat Kristiani tidak ternilai harganya,” kata T.B. Silalahi.
Gus Dur membuka pidatonya dengan ucapan “Assalamualaikum”. Ia berargumen: “Saya sengaja tidak mengucapkan selamat malam, karena kata ‘Assalamualaikum’ berarti kedamaian atas kalian.”
Tanpa keraguan, Gus Dur mengatakan bahwa ia merasa senang dan berbahagia bisa hadir pada perayaan Natal tersebut.
“Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya. Tetapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia. Sejak kecil itu saya rasakan, walaupun saya tinggal di lingkungan pondok pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai. Tetapi tidak pernah sedetik pun saya merasa berbeda dengan yang lain," kata Gus Dur seperti dikutip harian Kompas (28/12/1999).
Ia melanjutkan bahwa bangsa Indonesia harus terus merawat persaudaraan dan hal itu menjadi tugas semua umat beragama.
“Karena itu kita memohon kepada Tuhan kita semua, kepada Tuhan yang kita yakini, dengan cara masing-masing, mudah-mudahan kita tetap diberi kekuatan untuk menjadi bangsa yang satu, tetap diberi kemampuan untuk memelihara persaudaraan yang sangat besar ini," urai Gus Dur.
Natal dan Maulid
Gus Dur memang tidak mau ambil pusing dengan pengharaman mengikuti upacara Natal bagi umat Islam. Jangankan ikut merayakan, mengucapkan selamat Natal saja diharamkan. Namun bagi Gus Dur, umat Islam hendaknya diberi kemerdekaan untuk menghormati Natal atau tidak. Ia bahkan mengatakan, kalau perlu umat Islam turut bersama merayakan Natal.
Hal itu disampaikan Gus Dur dalam artikel berjudul “Harlah, Natal dan Maulid” yang tayang di Suara Pembaruan. Dalam artikel yang ditulisnya di Yerusalem pada 20 Desember 2003 itu, Gus Dur mencoba menjelaskan perbedaan dan persamaan antara Natal dan Maulid, dua peristiwa besar bagi umat Kristiani dan Islam.
Hari Natal, jelas Gus Dur, memiliki makna khusus yang tidak bisa disamakan dengan yang lain. Ia merujuk peristiwa teologis dalam iman Kristen yang merujuk kelahiran anak manusia bernama Yesus untuk menebus dosa manusia. Jadi Natal tidak semata-mata hari kelahiran fisik, namun juga peristiwa teologis. Karena makna teologis itulah Natal berbeda dengan Maulid walau sama-sama merujuk kelahiran fisik, dalam hal ini kelahiran Yesus dan Muhammad Saw.
“Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus tersebut tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apa pun juga alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu masing-masing berbeda dari yang lain,” tulis Gus Dur.
Namun Gus Dur menganggap jika ada muslim ikut merayakan Natal maka hal itu untuk menghormati kelahiran seorang utusan Allah yang juga diakui oleh Al-Qur’an. Dalam Islam, sosok Yesus dipercaya adalah Isa Al-Masih.
“Natal, dalam kitab suci Al-Qur’an disebut sebagai yauma wulida (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai kelahiran Nabi Isa). … Bahwa kemudian Nabi Isa ‘dijadikan’ Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang lain lagi. Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci Al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga,” urai Gus Dur masih dalam artikel yang sama.
Untuk itulah ia tak merasa aneh jika ada umat Islam ikut merayakan Natal. “Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah Swt,” lanjut Gus Dur.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 25 Desember 2016 dengan judul "Natalan Bersama Gus Dur". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Ivan Aulia Ahsan